peraturan:0tkbpera:8466f9ace6a9acbe71f75762ffc890f1
                          DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
                       DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
                                                             24 Juni 2005

                           SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
                        NOMOR S - 514/PJ.332/2005

                             TENTANG

              PEMERIKSAAN SPT PPh BADAN TAHUN 2001 PT. ABC

                        DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : XXX Tanggal 17 Mei 2005 perihal pada pokok di atas kepada 
Direktur Jenderal Pajak, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:

1.  Dalam surat tersebut antara lain dikemukakan:
    a.  Inspektorat Bidang Investigasi Departemen Keuangan menerima pengaduan dari PT. ABC 
        melalui surat Nomor : XXX tanggal 6 Desember 2004 perihal pemeriksaan SPT PPh Badan 
        Tahun 2001 PT. ABC yang salah satu tembusannya disampaikan kepada Direktur Jenderal 
        Pajak.
    b.  PT. ABC dengan kontrak Nomor : XXX tanggal 8 Mei 2005 memperoleh pekerjaan sebagai 
        konsultan dengan ketua asosiasi (lead firm) adalah PT. XYZ dengan nilai kontrak porsi 
        PT. ABC adalah sebesar Rp 986.083.497,-.
    c.  Dalam pelaksanaan kontrak, PT. XYZ sebagai lead firm telah memotong dan menyetorkan 
        PPh Pasal 23 porsi PT. ABC sebesar Rp 51.548.548,- namun berdasarkan perhitungan 
        PT. ABC, yang bersangkutan melaporkan Lebih Bayar sebesar Rp 40.483.587,- dalam SPT 
        2001.
    d.  KPP Serpong telah melakukan pemeriksaan tahun pajak 2001 atas PT. ABC yang 
        menghasilkan SKPKB Nomor XXX tanggal 25 Maret 2003 dengan nilai kurang bayar pajak 
        sebesar Rp 194.626.640,-.
    e.  PT. ABC dengan surat Nomor : XXX tanggal 10 Juli 2003 meminta PT. XYZ untuk memberikan 
        surat keterangan tentang pemotongan PPh a.n. PT. ABC oleh PT. XYZ, namun PT. XYZ dengan 
        surat nomor : XXX tanggal 8 Agustus 2003 menolak permintaan PT. ABC tersebut dengan 
        alasan bahwa bukti asli pemotongan PPN dan PPh Pasal 23 masih di KPP PND Kalibata. 
        PT. XYZ menyatakan bahwa pemotongan pajak yang telah dilakukan secara proporsional 
        adalah sesuai dengan kontrak kerja.
    f.  PT. ABC dengan surat nomor : XXX tanggal 12 Pebruari 2004 meminta KPP BUMN untuk 
        memberikan Bukti Potong PPh Pasal 23 dari PT. XYZ a.n. PT. ABC. Hal tersebut ditanggapi KPP 
        BUMN dengan surat nomor : XXX tanggal 8 April 2004 yang meminta PT. XYZ untuk 
        menyerahkan bukti potong PPh Pasal 23 a.n. PT. ABC karena dalam SPT Masa PPh Pasal 23 
        Tahun 2001 PT. XYZ tidak melampirkan pemotongan dan bukti pemotongan penghasilan a.n. 
        PT. ABC.
    g.  PT. ABC mengajukan keberatan sebanyak 6 (enam) kali pada bulan Mei, Juni, September, 
        Oktober 2003 dan Mei 2004 yang ditanggapi KPP Serpong dengan surat nomor : XXX tanggal 
        6 Oktober 2003 dengan meminta PT. ABC untuk melengkapi dokumen pemecahan Bukti 
        Pemotongan PPh pasal 23.
    h.  Selain itu KPP Serpong dengan surat Nomor : XXX tanggal 16 Oktober 2003 meminta 
        konfirmasi kepada KPP PND tentang pemecahan bukti potong PPh Pasal 23 a.n. PT. ABC yang 
        dijawab KPP PND dengan surat nomor : XXX tanggal 14 Januari 2004 dengan menyatakan 
        bahwa permohonan pemecahan bukti potong PPh Pasal 23 a.n. PT. ABC tidak pernah diterima.
    i.  Atas dasar fakta tersebut KPP Serpong menolak keberatan PT. ABC dengan surat nomor : 
        XXX tanggal 19 April 2004 karena PT. ABC tidak dapat menunjukan bukti potong PPh Pasal  23 
        dari PT. XYZ dan bukti pendukung lainnya.
    j.  KPP Serpong dengan XXX tanggal 18 Juni 2004 memberikan ijin kepada PT. ABC untuk 
        mengangsur pembayaran pajak. Hal tersebut disanggupi PT. ABC meskipun tidak setuju 
        dengan ketetapan kurang bayar tersebut.
    k.  PT. ABC dengan surat yang nomor : XXX tanggal 15 April 2005 ditujukan kepada Inspektorat 
        Bidang Investigasi menyatakan bahwa:
        1)  cicilan PT. ABC tersebut telah mencapai jumlah sebesar Rp 36.188.533,- dan pada 
            saat melaporkan pembayaran pajaknya ke KPP Serpong, file utang pajaknya di 
            komputer sudah tidak ada;
        2)  PT. ABC minta agar pemotongan PPh Pasal 23 yang dilakukan oleh PT. XYZ sebesar 
            Rp 51.548.548,- dapat diakui dan kurang bayar pajak menjadi nihil serta kelebihan 
            bayar akibat Kep DJP Nomor : XXX tanggal 18 Juni 2004 dapat dikreditkan.
    l.  Terhadap hal tersebut di atas Tim Audit Inspektorat Jenderal dalam hal ini Inspektorat Bidang 
        I telah melakukan pemeriksaan terhadap kasus dimaksud dan menyimpulkan bahwa 
        keputusan KPP Serpong menolak keberatan PT. ABC dapat dibenarkan karena PT. ABC tidak 
        dapat menunjukkan bukti pemotongan PPh Pasal 23 dan dokumen pendukung lainnya.
    m.  Tim Audit Inspektorat Jenderal menyimpulkan:
        1)  bahwa pemotongan PPh Pasal 23 Tahun 2001 sebesar Rp 51.548.548,- yang harus 
            dibayar PT. ABC secara formal telah dilakukan oleh PT. XYZ, namun secara 
            prosedural tidak dapat dibuktikan kebenarannya karena:
            a)  bukti potong tersebut tidak diberikan oleh PT. XYZ kepada PT. ABC sebagai 
                wajib bayar PPh Pasal 23 dimaksud.
            b)  Menunjuk Surat Direktur Pajak Penghasilan Nomor : S-238/PJ.42/2003 
                tanggal 29 April 2003, hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan dalam 
                Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-44/PJ./1994 tanggal 24 
                Oktober 2004 tentang Pemecahan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 
                23. Dalam surat edaran tersebut antara lain dinyatakan bahwa:
                (1) Joint Operation (JO) harus mengajukan permohonan pemecahan 
                    Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada Kantor Pelayanan Pajak 
                    dimana JO terdaftar dengan melampirkan fotokopi dokumen 
                    pendirian JO;
                (2) Berdasarkan hasil penelitian oleh KPP, akan diterbitkan Surat 
                    Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak (SKKPP) PPh Pasal 23 yang 
                    seharusnya tidak terutang (oleh JO);
                (3) Selanjutnya KPP akan melakukan pemindahbukuan atau Pbk dari 
                    PPh Pasal 23 atas nama JO menjadi PPh pasal 23 atas nama masing-
                    masing anggota JO untuk dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak 
                    dalam SPT Tahunan PPh Badan masing-masing anggota JO.
        2)  Ketidakmampuan PT. ABC untuk menunjukkan bukti potong PPh pasal 23 di atas telah 
            menimbulkan beban kewajiban yang tidak semestinya bagi PT. ABC karena pajak 
            yang secara formal telah dipotong oleh PT. XYZ selaku Wajib Pungut tersebut tidak 
            diakui oleh KPP Serpong.
        3)  Kewajiban PT. ABC yang tidak seharusnya tersebut dapat mencerminkan 
            ketidakadilan bagi PT. ABC sebagai Wajib Pajak, karena hal tersebut bukan semata-
            mata kesalahan PT. ABC, melainkan akibat kekhilafan pihak lain yaitu PT. XYZ yang 
            tidak bersedia memberikan bukti potong PPh pasal 23 yang seharusnya menjadi 
            dokumen milik PT. ABC.
    n.  Pihak Inspektorat Jenderal Inspektorat Bidang Investigasi mengharapkan Direktur Jenderal 
        Pajak dapat memberikan jalan keluar atas masalah dimaksud dan dapat menyampaikan 
        tindak lanjutnya kepada Inspektorat Jenderal.

2.  Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara 
    Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 
    2000 menyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak 
    dapat membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat 
    Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan atau 
    Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar, atau Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan 
    Kelebihan Pajak, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau 
    kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

3.  Penjelasan Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 Tentang Ketentuan Umum dan 
    Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang 
    Nomor 16 TAHUN 2000 menyatakan bahwa Pembetulan ketetapan pajak menurut ayat ini dilaksanakan 
    dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan yang baik, sehingga apabila terdapat kesalahan atau 
    kekeliruan yang bersifat manusiawi dalam suatu ketetapan pajak perlu dibetulkan sebagaimana 
    mestinya. Sifat kesalahan atau kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus 
    dengan Wajib Pajak.

4.  Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata 
    Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 
    Tahun 2000 menyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan atau membatalkan 
    ketetapan pajak yang tidak benar.

5.  Penjelasan Pasal 36 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata 
    Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 
    Tahun 2000 menyatakan bahwa "# Demikian juga Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya, dan 
    berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan Ketetapan Pajak yang tidak 
    benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi 
    persyaratan formal (memasukkan Surat Keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan 
    material terpenuhi".

6.  Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 542/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000 tentang Tata Cara 
    Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan 
    Pajak.

    Pasal 2 ayat (1)    :   Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib 
                Pajak dapat mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak 
                benar.

        ayat (2)    :   Setiap permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak 
                sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan untuk suatu surat ketetapan 
                pajak.

        ayat (3)    :   Setiap permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang 
                tidak benar sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan 
                jumlah pajak yang menurut penghitungan Wajib Pajak seharusnya terutang.

    Pasal 3 ayat (2)    :   Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas permohonan 
                pengurangan atau pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 
                (2) paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal permohonan diterima.

        ayat (3)    :   Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) 
                telah lewat, Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka 
                permohonan yang diajukan tersebut dianggap diterima.

    Pasal 4 ayat (2)    :   Terhadap keputusan yang diterbitkan Direktur Jenderal Pajak yang berkaitan 
                dengan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat 
                diajukan permohonan kembali kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 
                (tiga) bulan sejak tanggal diterbitkan keputusan tersebut.

7.  Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-44/PJ./1994 tanggal 24 Oktober 1994 tentang 
    Pemecahan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23:

    Angka 1     :   Telah dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas nama joint operation.

                Apabila telah dilakukan pemotongan PPh Ps. 23 atas nama J.O. maka 
                prosedurnya:
                1.1.    J.O. mengajukan permohonan pemecahan Bukti Pemotongan PPh 
                    Ps. 23 kepada KPP dimana J.O. terdaftar/berkedudukan, dilampiri 
                    foto copy dokumen pendirian J.O.
                1.2.    KPP tersebut pada butir 1.1. minta konfirmasi kepada KPP dimana 
                    pemotong PPh Pasal 23 terdaftar, mengenai pemotongan terhadap 
                    J.O., dengan menggunakan formulir Konfirmasi Lampiran 
                    SE-19/PJ.41.2/1993 tanggal 2 September 1993;
                1.3.    Apabila benar telah dilakukan pemotongan terhadap J.O. maka KPP 
                    tersebut pada butir 1.1. menerbitkan SKKPP PPh Pasal 23 Yang 
                    Seharusnya Tidak Terutang dengan menggunakan formulir 
                    KP PPh 3.46 sesuai Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : 
                    KEP-09/PJ./1992, sebesar seluruh jumlah pemotongan;
                1.4.    Atas dasar SKKPP tersebut pada butir 1.3 dilakukan 
                    pemindahbukuan dari PPh Pasal 23 ke PLB;
                1.5.    Dilakukan pemindahbukuan dari PLB tersebut pada butir 1.4. ke 
                    PPh Ps. 25 atas nama para anggotanya dengan jumlah pajak sebesar 
                    bagian masing-masing dengan tahun pajaknya sesuai dengan yang 
                    tercantum pada Bukti Pemotongan PPh Ps. 25 dilakukan karena bukti 
                    Pbk. Itu diperhitungkan sebagai kredit pajak dalam SPT PPh Badan 
                    para anggotanya, bukan dalam SPT PPh Ps. 23; Pada bukti 
                    pemindahbukuan (di bawah Nomor dan Tanggal SKKPP) supaya 
                    diketik : (Dalam rangka pemecahan Bukti Pemotongan PPh Ps. 23 
                    atas nama joint operation...........);

8.  Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disampaikan bahwa:
    a.  Kami sependapat dengan kesimpulan Tim Audit Inspektorat Jenderal bahwa keputusan KPP 
        Serpong menolak keberatan PT. ABC dapat dibenarkan karena PT. ABC tidak dapat 
        menunjukkan bukti pemotongan PPh Pasal 23 dan dokumen pendukung lainnya, meskipun 
        PT. ABC bersikeras telah dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 oleh PT. XYZ sebagai lead firm 
        dari JO tersebut.
    b.  Kami berpendapat bahwa kasus ini terjadi karena adanya kelalaian PT. XYZ (sebagai lead 
        firm) dalam mengajukan permohonan pemecahan bukti potong PPh Pasal 23 dan adanya 
        kelalaian PT. ABC dalam menuntut haknya. Seharusnya PT. ABC menolak pemotongan PPh 
        Pasal 23 atas pembayaran yang diterimanya apabila tidak disertai bukti pemotongan.
    c.  Menurut pendapat kami, penyelesaian masalah PT. ABC terbentur pada beberapa kendala 
        sebagai berikut:
        1). PT. ABC tidak dapat mengajukan permohonan pembetulan surat ketetapan pajak 
            yang dikeluarkan oleh KPP Serpong atas dasar kuasa Pasal 16 ayat (1) Undang-
            undang Nomor 6 TAHUN 1983 Tentang Ketentuan Umum dan tata Cara Perpajakan 
            sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 
            Tahun 2000, karena tidak memenuhi persyaratan tidak adanya unsur persengketaan 
            antara fiskus dengan Wajib Pajak. Dalam kasus ini terdapat unsur persengketaan 
            antara PT. ABC dengan Direktur Jenderal Pajak, yaitu dengan diajukannya 
            permohonan keberatan oleh PT. ABC.
        2). PT. ABC juga tidak dapat mengajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak 
            yang dikeluarkan oleh KPP Serpong atas dasar kuasa Pasal 36 ayat (1) huruf b 
            Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara 
            Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang 
            Nomor 16 TAHUN 2000, karena Wajib Pajak telah mengajukan keberatan atas SKPKB 
            yang diterbitkan KPP Serpong, dan atas permohonan keberatan ini KPP Serpong telah 
            memberikan keputusan keberatan. Sementara penjelasan Pasal 36 ayat (1) UU KUP 
            mensyaratkan Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak 
            memenuhi persyaratan formal (memasukkan Surat Keberatan tidak pada waktunya) 
            meskipun persyaratan material terpenuhi.
        3). PT. ABC tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung 
            karena syarat untuk mengajukan PK setelah adanya Putusan Banding dari Pengadilan 
            Pajak, sementara PT. ABC tidak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.
        4). Dalam hal bukti pemotongan PPh Pasal 23 telah diterima oleh PT. ABC dan bukti 
            potong tersebut dianggap adanya novum, maka bukti potong tersebut tidak bisa 
            dijadikan alasan untuk perbaikan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan 
            Keberatan yang dikeluarkan oleh KPP Serpong.
    d.  Mengingat adanya kendala-kendala tersebut di atas, kami sarankan agar permasalahan bukti 
        pemotongan PPh Pasal 23 tersebut diselesaikan secara internal oleh PT. ABC dan PT. XYZ.

Demikian untuk dimaklumi.




A.n. DIREKTUR JENDERAL
DIREKTUR,

ttd.

HERRY SUMARDJITO
peraturan/0tkbpera/8466f9ace6a9acbe71f75762ffc890f1.txt · Last modified: (external edit)