peraturan:0tkbpera:83dd3f9f97ef6533766c39d5b2e5e565
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
12 Januari 2004
SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S - 12/PJ.313/2004
TENTANG
PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS JASA DRILLING YANG DILAKUKAN OLEH BENTUK USAHA TETAP
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 1 Oktober 2003 perihal tersebut di atas, dengan ini
disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Dalam surat tersebut, Saudara mengemukakan permasalahan bahwa:
a. BUT XYZ melakukan kerja sama dengan PT ABC untuk melaksanakan pekerjaan pengeboran
minyak dan/atau pengeboran ulang (drilling) dalam rangka kontrak bagi hasil dengan
PERTAMINA. Sesuai perjanjian antara BUT XYZ dengan PT ABC, pekerjaan fisik pengeboran
dan pengeboran ulang termasuk penyediaan peralatan drilling (rig) dilaksanakan sepenuhnya
oleh BUT XYZ, sedangkan PT ABC hanya bertindak sebagai perantara kontrak pengeboran
minyak yang akan memperoleh imbalan berupa komisi sebesar 9% dari imbalan jasa
pengeboran minyak yang diterima oleh BUT XYZ dari PERTAMINA;
b. Tagihan atas imbalan jasa pengeboran minyak dan/atau pengeboran ulang (drilling) kepada
PERTAMINA dilakukan dengan penerbitan faktur komersial oleh PT ABC sebagai pihak
penagih di mana instruksi pembayaran ditujukan langsung ke rekening BUT XYZ. Kemudian,
PT ABC akan menagih komisinya kepada BUT XYZ;
c. Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas, Saudara mohon penegasan:
1) Apakah pada saat imbalan jasa pengeboran minyak (drilling) yang dibayarkan oleh
PERTAMINA kepada BUT XYZ tidak perlu dipotong PPh Pasal 23, karena jasa drilling
tersebut dilakukan oleh BUT?
2) Apakah atas komisi yang dibayarkan oleh BUT XYZ kepada PT ABC harus dipotong
PPh Pasal 23 sebesar 6% dari jumlah imbalan komisi yang diterima?
2. Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2000 (UU PPh), diatur antara lain bahwa:
a. Pasal 15, Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan neto dari Wajib Pajak
tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3)
ditetapkan Menteri Keuangan;
b. Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 1), atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa
teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah
dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 yang dibayarkan atau
terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk
usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam
negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar
15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto.
3. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 628/KMK.04/1991 tanggal 26 Juni 1991 tentang
Norma Penghitungan Khusus Penghitungan Netto Bagi Wajib Pajak Badan yang Melakukan Kegiatan
Usaha di Bidang Pengeboran Minyak dan Gas Bumi serta Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun
Berjalan Oleh Wajib Pajak Sendiri, diatur antara lain bahwa:
a. Pasal 1 ayat (1), Penghasilan Neto Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap dari kegiatan usaha
pengeboran minyak dan gas bumi dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Khusus
sebesar 15% (lima belas persen) dari penghasilan bruto;
b. Pasal 1 ayat (2), penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah penghasilan
bruto dari jenis-jenis penghasilan yang tercantum dalam kontrak pengeboran minyak dan gas
bumi yang bersangkutan.
4. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 170/PJ./2002 tanggal 2/8 Maret 2002
tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat
(1) Huruf C Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah
Diubah Terakhir Dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2000, diatur antara lain bahwa:
a. Lampiran II angka 2 huruf m, termasuk jenis jasa lain yang dikenakan PPh Pasal 23 adalah
jasa perantara;
b. Lampiran II angka 2 huruf m, besarnya perkiraan penghasilan neto atas jasa perantara
adalah sebesar 40% (empat puluh persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN;
c. Pasal 1 ayat (2), yang dimaksud dengan jumlah bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi
dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya
saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa
dengan material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak.
5. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dengan ini dapat ditegaskan bahwa:
a. Atas pembayaran imbalan jasa pengeboran (drilling) oleh PERTAMINA kepada BUT XYZ tidak
dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 melainkan BUT XYZ berkewajiban membayar angsuran
PPh Pasal 25 dan Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun berdasarkan Norma
Penghitungan Khusus Penghasilan Neto sebesar 15% dari jumlah bruto imbalan jasa
pengeboran yang diterima/diperoleh;
b. Atas imbalan jasa perantara yang diterima/diperoleh PT ABC dari BUT XYZ dikenakan
pemotongan PPh Pasal 23 oleh BUT XYZ sebesar 15% x 40% atau 6% (enam persen) dari
jumlah bruto imbalan jasa perantara tidak termasuk PPN.
Demikian agar Saudara maklum.
A.n. DIREKTUR JENDERAL
DIREKTUR
ttd
SURJOTAMTOMO SOEDIRDJO
peraturan/0tkbpera/83dd3f9f97ef6533766c39d5b2e5e565.txt · Last modified: by 127.0.0.1