peraturan:0tkbpera:5ef99d16d1954578b0df2f38b866449b
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 10 September 1996 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 169/PJ.312/1996 TENTANG PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan surat Saudara tanggal 15 Agustus 1996 perihal tersebut pada pokok surat di atas, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut : 1. Dalam surat Saudara, dikemukakan hal-hal sebagai berikut : a. PT XYZ adalah perusahaan PMDN yang bergerak dibidang pengeboran minyak dan gas bumi (drilling contractor), mendapat kontrak untuk melakukan pengeboran minyak dan gas bumi dari perusahaan minyak ABC di lapangan Tanjung, Kalimantan, selama kurang lebih 2 tahun yang berakhir pada bulan Mei 1996. b. Selama masa kontrak berlangsung pihak ABC tidak memotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 sehubungan adanya surat Dirjen Pajak Nomor : S-12/PJ.531/1984 tanggal 7 April 1984, dan pembayaran terakhir yang seharusnya direalisasi oleh pihak ABC pada bulan Juni 1996 ditahan dengan alasan adanya instruksi BPKP untuk memotong PPh Pasal 23 sebesar 6% terhitung mulai awal kontrak. c. Berkenaan dengan hal tersebut, Saudara mohon penegasan : - apakah surat Dirjen Pajak No. S-12/PJ.531/1984 tanggal 7 April 1984 masih berlaku sampai tanggal 5 Agustus 1996; - apabila harus dipotong PPh Pasal 23, sebesar beberapa persen, dan apakah berlaku surut terhitung sejak awal kontrak; - apabila pembayaran imbalan jasa tersebut dilaksanakan setelah tanggal 5 Agustus 1996 apakah dikenakan Peraturan PPh Pasal 23 yang baru. 2. Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 antara lain diatur bahwa imbalan yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, badan usaha milik negara dan daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun atau oleh Wajib Pajak dalam negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri, yang merupakan obyek Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah imbalan yang dibayarkan untuk jasa teknik, jasa manajemen yang dilakukan di Indonesia. Dalam Surat Dirjen Pajak Nomor : SE-21/PJ.31/1991 tanggal 31 Desember 1991 antara lain ditegaskan bahwa apabila kontraktor drilling hanya semata-mata melakukan jasa pengeboran, maka atas imbalan yang dibayarkan tidak perlu dipotong oleh pihak Pertamina maupun Kontraktor Kontrak Bagi Hasil/ Kontrak Karya karena jasa tersebut bukan merupakan obyek PPh Pasal 23. 3. Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994, diatur bahwa atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, subyek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15 % dari perkiraan penghasilan neto atas imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. 4. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf f jo Pasal 2 huruf h Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-59/PJ./1996 tanggal 5 Agustus 1996, disebutkan bahwa jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994 adalah jasa pengeboran dan jasa penunjang dibidang penambangan migas, dengan perkiraan penghasilan neto yang digunakan sebagai dasar pemotongan pajak adalah sebesar 30% dari jumlah bruto. 5. Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut : a. Mengingat bahwa sampai berlakunya Keputusan Dirjen Pajak Nomor : KEP-59/PJ./1996 tanggal 5 Agustus 1996, jasa pengeboran dan jasa penunjang di bidang penambangan migas bukan merupakan obyek PPh Pasal 23, maka atas imbalan sehubungan dengan jasa tersebut yang diterima atau diperoleh oleh PT XYZ sebelum tanggal 5 Agustus 1996 tidak terutang PPh Pasal 23. Oleh karenanya pihak ABC tidak perlu memotong PPh Pasal 23. Dengan demikian, surat Dirjen Pajak Nomor : S-12/PJ.531/1984 tanggal 7 April 1984 hanya berlaku sampai tanggal 5 Agustus 1996. b. Sedangkan atas imbalan sehubungan dengan jasa pengeboran dan jasa penunjang di bidang penambangan migas yang diterima atau diperoleh oleh PT XYZ sejak berlakunya Keputusan Dirjen Pajak Nomor : KEP-59/PJ./1996 tanggal 5 Agustus 1996 merupakan objek PPh Pasal 23, sehingga ABC wajib memotong imbalan yang dibayarkan tersebut sebesar 15% x 30% (4,5%) dari jumlah bruto. Demikian untuk dimaklumi. A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK Pgs. DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN, ttd Drs. MOCH. SOEBAKIR
peraturan/0tkbpera/5ef99d16d1954578b0df2f38b866449b.txt · Last modified: (external edit)