peraturan:0tkbpera:49ef08ad6e7f26d7f200e1b2b9e6e4ac
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
19 April 1999
SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S - 107/PJ.313/1999
TENTANG
PENGENAAN PPh ATAS PEMBAYARAN KOMISI EKSPOR KE LUAR NEGERI
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sehubungan dengan surat Saudara tanpa nomor tanggal 5 Januari 1999 dan 5 April 1999 perihal tersebut
di atas, dengan diberikan penjelasan sebagai berikut :
1. Dalam surat Saudara dijelaskan hal-hal sebagai berikut :
a. Berdasarkan surat jawaban KPP PMA No. S-254/WPJ.06/KP.0204/1990 tanggal 18 Mei 1990,
dijelaskan bahwa :
(1) PPh yang dibayarkan kepada orang atau badan di luar negeri sebagai imbalan jasa
karena yang bersangkutan telah membantu memasarkan atau mendapatkan kontrak
penjualan hasil Saudara tidak dipotong PPh Pasal 26 sepanjang jasa tersebut tidak
dilakukan di Indonesia.
(2) Apabila antara Indonesia dan negara di mana pemberi jasa tersebut berkedudukan/
berdomisili terdapat tax treaty, maka perlakuan perpajakannya mengikuti ketentuan
yang diatur dalam tax treaty dimaksud.
b. Berdasarkan surat jawaban KPP Pasuruan No. S-20/WPJ.09/KP.1506/1998 tanggal 14 Mei
1998, dijelaskan bahwa Indonesia tidak berhak mengenakan PPh atas imbalan jasa yang
dilakukan di luar negeri oleh penduduk negara treaty partner sesuai dengan Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-03/PJ.101/1996 tanggal 29 Maret 1996
c. Perusahaan saudara telah membayar komisi ekspor kepada XYZ Corporation Jepang atas
bantuan memasarkan produk perusahaan Saudara atau mendapatkan kontrak sebesar
US $ 2,210.44.
2. Berdasarkan uraian di atas, Saudara menanyakan :
a. Apabila XYZ Corporation Jepang mempunyai perwakilan di Indonesia (Jakarta Representation
Office yang bukan BUT), apakah pembayaran komisi ekspor tersebut di atas tidak dipotong
PPh Pasal 26 (10%) ?
b. Bagaimana kasusnya untuk pembayaran jasa yang dilakukan oleh perusahaan Saudara ?
3. Berdasarkan butir 4 huruf d angka 3 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-03/PJ.101/1996
tanggal 29 Maret 1996 tentang Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B),
ditegaskan bahwa atas jasa yang dilakukan di luar negeri oleh penduduk negara treaty partner,
Indonesia tidak dapat mengenakan PPh atas imbalan jasa tersebut.
4. Dalam Pasal 7 ayat (1) P3B RI-Jepang diatur bahwa penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh
perusahaan Jepang akan dikenakan pajak di Jepang kecuali ia menjalankan usaha melalui BUT di
Indonesia.
5. Dalam Pasal 5 ayat (1) P3B RI-Jepang diatur bahwa BUT berarti suatu tempat usaha tertentu dimana
seluruh atau sebagian usaha suatu perusahaan dijalankan. Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) P3B
RI-Jepang, BUT terutama meliputi :
a. suatu tempat ketatalaksanaan;
b. suatu cabang;
c. suatu kantor;
d. suatu pabrik;
e. suatu tempat kerja;
f. suatu pertanian atau perkebunan;
g. suatu pertambangan, suatu sumur minyak atau gas, suatu tempat penggalian atau tempat
lainnya untuk pengambilan sumber kekayaan alam.
Selanjutnya dalam Pasal 5 ayat (3) P3B RI-Jepang diatur bahwa suatu lokasi bangunan atau tempat
pekerjaan konstruksi atau proyek instalasi merupakan suatu pendirian tetap jika kegiatannya
berlangsung lebih dari 6 (enam) bulan.
6. Berdasarkan hal tersebut di atas dengan ini ditegaskan bahwa atas penghasilan yang diterima dari
Indonesia oleh XYZ Corporation dari kegiatan memberikan jasa pemasaran barang yang dilakukan
di luar negeri tidak dikenakan pajak di Indonesia, sehingga PT ABC tidak berkewajiban untuk
memotong PPh Pasal 26 atas pembayaran tersebut. Namun apabila berdasarkan P3B RI-Jepang, XYZ
Corporation mempunyai BUT di Indonesia maka atas penghasilan tersebut dikenakan pajak di
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Demikian untuk dimaklumi.
A.n. DIREKTUR JENDERAL
DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN
ttd
IGN MAYUN WINANGUN
peraturan/0tkbpera/49ef08ad6e7f26d7f200e1b2b9e6e4ac.txt · Last modified: by 127.0.0.1