peraturan:0tkbpera:48df7b8e8d586a55cf3e7054a4c85b30
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 13 Januari 2003 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 12/PJ.43/2003 TENTANG PERMOHONAN PENEGASAN ATAS PENCATATAN BIAYA BUNGA PINJAMAN YANG MASIH HARUS DIBAYAR (ACCRUED INTEREST) DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan surat Saudara tanpa nomor tanggal 23 Agustus 2002 perihal sebagaimana tersebut di atas, dengan ini diberitahukan hal-hal sebagai berikut: 1. Dalam surat tersebut Saudara mengemukakan beberapa hal sebagai berikut: a. Klien Saudara, PT ABC, perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berlokasi di propinsi Jambi, mendapatkan pinjaman US$ 28.000.000 untuk pembiayaan perusahaannya dari XYZ, yang berdomisili di Mauritius. b. XYZ memiliki 51% saham PT ABC. Sedangkan XYZ dimiliki sepenuhnya oleh Commonwealth Development Corporation (yang dimiliki oleh pemerintah Kerajaan Inggris). c. Dalam loan agreement disebutkan bahwa PT ABC diwajibkan membayar bunga atas pinjaman kepada XYZ sebesar 18% per tahun dan harus dibayar dengan US Dollar. Bunga pinjaman terutang pada setiap akhir tahun. Pembayaran bunga pinjaman kepada XYZ wajib dilakukan apabila terdapat cukup operating cash flow bagi PT ABC yang dibuktikan dengan laporan keuangan yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik yang independen. d. Untuk tujuan pembukuan, PT ABC mencatat biaya bunga secara akrual setiap bulan sesuai dengan Pedoman Standar Akuntansi Keuangan Indonesia (PSAK) yang berlaku. Jumlah bunga yang dicatat di tahun 2000 adalah sebesar US$ 5,4 juta. e. Sampai dengan saat ini PT ABC belum membayar bunga pinjaman kepada XYZ karena kondisi cash flow keuangan PT ABC belum memungkinkan untuk melakukan pembayaran dan dalam keadaan rugi. f. Sehubungan dengan hal tersebut, Saudara mohon penegasan perlakuan perpajakan atas pencatatan akrual biaya bunga tersebut. 2. Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2000, antara lain diatur bahwa bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan pengembalian jaminan utang, yang dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan dan bersifat final. 3. Berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Pemerintah Indonesia- Pemerintah Mauritius diatur bahwa: a. Pasal 11 ayat (1) Bunga yang berasal dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dan dibayarkan kepada penduduk Negara pihak pada Persetujuan lainnya dapat dikenakan Pajak di Negara lain tersebut. b. Pasal 11 ayat (2) Namun demikian, menyimpang dari ketentuan pada paragraf 3, bunga tersebut dapat juga dikenakan di Negara pihak pada Persetujuan di mana bunga tersebut berasal dan sesuai dengan perundang-undangan negara tersebut, akan tetapi apabila penerima bunga adalah pemilik pinjaman yang menikmati bunga tersebut, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 10 persen dari jumlah kotor bunga. 4. Berdasarkan Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 138 TAHUN 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan dan penjelasannya diatur sebagai berikut: a. Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi lebih dahulu. b. Saat terutangnya penghasilan tersebut lazimnya adalah saat jatuh tempo (seperti : bunga dan sewa), saat tersedia untuk dibayarkan (seperti : gaji dan dividen), saat yang ditentukan dalam kontrak/perjanjian atau faktur (seperti : royalty, imbalan jasa teknik/jasa manajemen/ jasa lainnya), atau saat tertentu lainnya. c. Saat terutangnya penghasilan tersebut juga ditentukan berdasarkan saat pengakuan biaya sesuai dengan metode pembukuan yang dianut oleh pihak yang berkewajiban memotong atau memungut Pajak Penghasilan. 5. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-16/PJ.22/1987 tanggal 21 April 1987 tentang Pengertian "Terhutang" yang Dimaksud Dalam Pasal 23 dan Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 disebutkan antara lain bahwa pengertian kata "dibayarkan atau terhutang" sebagaimana dimaksud Pasal 23 dan Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan haruslah dikaitkan dengan metode pembukuan pihak pemotong pajak, apakah mempergunakan metode "cash basis" atau "accrual basis". Pengertian "dibayarkan atau terhutang" tersebut adalah kebalikan dari pengertian "diterima atau diperoleh", yaitu yang satu dilihat dari yang mendapatkan penghasilan dan yang lain dilihat dari yang memberikan penghasilan. 6. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.101/1996 tanggal 29 Maret 1996 tentang Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara lain diatur sebagai berikut: b. Wajib Pajak luar negeri wajib menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili (SKD) kepada pihak yang membayarkan penghasilan dan menyampaikan fotokopi SKD tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat pihak yang membayar penghasilan terdaftar. SKD asli tersebut menjadi dasar bagi pihak yang membayarkan penghasilan untuk menerapkan PPh Pasal 26 sesuai ketentuan yang ditegaskan dalam P3B yang berlaku antara Indonesia dengan negara tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri tersebut. c. Surat Keterangan Domisili diterbitkan oleh Competent Authority atau wakilnya yang sah di negara treaty partner. Namun demikian, Surat Keterangan Domisili yang dibuat oleh pejabat pada Kantor Pajak tempat Wajib Pajak luar negeri yang bersangkutan terdaftar dapat diterima dan dipersamakan dengan Surat Keterangan Domisili yang dibuat Competent Authority. 7. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, diberikan penegasan sebagai berikut: a. Pada prinsipnya saat yang menentukan kapan kewajiban untuk melaksanakan pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan dilaksanakan adalah mana yang lebih dahulu terjadi, saat pembayaran atau saat terutangnya penghasilan. Saat terutangnya penghasilan tersebut khususnya dalam hal bunga ditentukan berdasarkan saat jatuh tempo atau saat pengakuan biaya sesuai metode pembukuan yang dianut oleh pihak yang berkewajiban memotong atau memungut PPh. Dalam hal klien Saudara (PT ABC) menggunakan pembukuan dengan metode "akrual", dimana biaya bunga tersebut telah dicatat pada setiap akhir bulan, maka atas pencatatan biaya bunga tersebut telah terutang PPh Pasal 26 dengan tarif sesuai P3B yang berlaku. b. Sesuai dengan ketentuan P3B yang berlaku, pihak XYZ wajib menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili (SKD) yang diterbitkan dan ditandatangani oleh pejabat Competent Authority dari Mauritius kepada PT ABC sebagai pihak yang membayarkan penghasilan dan menyerahkan fotokopinya kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PT ABC terdaftar. Demikian agar Saudara maklum. A.n. DIREKTUR JENDERAL DIREKTUR, ttd SUMIHAR PETRUS TAMBUNAN
peraturan/0tkbpera/48df7b8e8d586a55cf3e7054a4c85b30.txt · Last modified: (external edit)