peraturan:0tkbpera:44fd3d54368ffe700c4d10c32fc61112
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 24 Agustus 2006 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 701/PJ.331/2006 TENTANG PENANGANAN WAJIB PAJAK YANG TIDAK MELAPORKAN SPT MASA/TAHUNAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan surat Kepala Kantor Pelayanan Pajak Badan Usaha Milik Negara Nomor XXX tanggal 22 Mei 2006 perihal dimaksud pada pokok di atas, yang ditujukan kepada saudara dan salah satu tindasannya disampaikan ke Direktur Peraturan Perpajakan, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut : 1. Dalam surat tersebut, antara lain dikemukakan : a. Terdapat beberapa Wajib Pajak yang sampai saat ini belum melaksanakan kewajiban pelaporan baik SPT Masa maupun SPT Tahunan (Daftar terlampir). b. Berdasarkan keterangan dari Wajib Pajak tersebut diketahui bahwa tidak terlaksananya kewajiban pelaporan SPT tersebut dikarenakan ketidakmampuan likuiditas untuk membayar pajak terutang sesuai dengan SPT-nya. c. Kepada para Wajib Pajak tersebut telah diterbitkan Surat Teguran sesuai ketentuan yang berlaku. d. Kepala KPP BUMN mohon penegasan tentang tindakan lebih lanjut dan mengusulkan untuk dilakukan pemeriksaan atau penyidikan terhadap Wajib Pajak dimaksud. 2. Dasar hukum a. Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, antara lain diatur bahwa : Pasal 3 (1) Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan. (3) Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah : a. untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak; b. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak. (5a) Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), diterbitkan Surat Teguran. Pasal 9 (2) Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan harus dibayar lunas paling lambat tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan itu disampaikan. (2a) Apabila pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), atau ayat (2) dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. (4) Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) paling lama 12 (dua belas) bulan, yang pelaksanaannya ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Pasal 13 (1) Dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat terutangnya pajak, atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut : b. apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; Pasal 19 (2) Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak, juga dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. (3) Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan dan ternyata penghitungan sementara pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang, maka atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari saat berakhirnya kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Pasal 29 (1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. b. Dalam Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2000, antara lain diatur : Pasal 28 ayat (1) : Bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan, berupa : a. pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; b. pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; c. pemotongan pajak atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah, dan penghargaan, dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23; d. pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; e. pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25; f. pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5). Pasal 29 Apabila pajak yang terutang untuk satu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka kekurangan pajak yang terutang harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 (dua puluh lima) bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan. c. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 545/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak, antara lain diatur bahwa : Pasal 2 (1) Tujuan Pemeriksaan adalah untuk : a. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka memberikan kepastian hukum, keadilan, dan pembinaan kepada Wajib Pajak; (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dapat dilakukan dalam hal : c. Surat Pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan tidak pada waktu yang telah ditetapkan; d. Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 325/PJ./2001 tentang Tata Cara Pemberian Angsuran atau Penundaan Pembayaran Pajak, antara lain diatur : Pasal 1 (1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis untuk mengangsur atau menunda pembayaran : b. kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2000, kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, apabila Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya, sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban pajaknya pada waktunya. (2) Permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus diajukan secara tertulis paling lambat 15 (lima belas) hari sebelum saat jatuh tempo pembayaran utang pajak berakhir kecuali dalam hal Wajib Pajak mengalami keadaan di luar kekuasaannya, dapat diajukan setelah batas waktu tersebut, disertai alasan dan jumlah pembayaran pajak yang dimohon diangsur atau ditunda dan dilampiri dengan bukti-bukti untuk menguatkan alasan permohonannya. 3. Dalam aturan pelaksanaan pemeriksaan, sebagaimana dimaksud pada Butir II.C Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.7/2005 tentang Kebijakan Pemeriksaan Rutin, antara lain disebutkan bahwa pemeriksaan rutin dilaksanakan dalam hal Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan tidak menyampaikan SPT Tahunan/Masa dalam jangka waktu yang telah ditentukan dan setelah ditegur secara tertulis tidak menyampaikan SPT pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran. Pemeriksaan ini agar diprioritaskan terhadap Wajib pajak yang melakukan transaksi perpajakan yang mempunyai potensi perpajakan pada tahun tersebut. 4. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut : a. Apabila Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban pajaknya (PPh Pasal 29) pada waktunya, pada dasarnya dapat mengajukan permohonan secara tertulis untuk mengangsur atau menunda pembayaran paling lambat 15 (lima belas) hari sebelum saat jatuh tempo pembayaran. Dengan demikian, Wajib Pajak tersebut tetap dapat melaksanakan kewajiban menyampaikan SPT tanpa harus melunasi kekurangan pembayaran PPh Pasal 29-nya terlebih dahulu. b. Namun demikian, Wajib Pajak dimaksud tidak menyampaikan permohonan untuk mengangsur atau menunda pembayaran dan tidak menyampaikan SPT. Dengan telah terlampauinya batas waktu pengajuan permohonan untuk mengangsur atau menunda pembayaran kekurangan pembayaran PPh Pasal 29 dan telah diterbitkannya Surat Teguran, maka apabila Wajib Pajak tidak mengalami keadaan di luar kekuasaannya, kesempatan Wajib Pajak untuk mengajukan permohonan dimaksud telah hilang dan kepadanya dapat dilakukan pemeriksaan apabila Wajib Pajak tersebut dapat dikategorikan sebagai Wajib Pajak yang melakukan transaksi perpajakan yang mempunyai potensi perpajakan pada tahun tersebut. c. Dengan demikian perlu diadakan penelitian yang cukup memadai untuk mengetahui apakah para Wajib pajak tersebut sedang mengalami keadaan di luar kekuasaannya, sehingga apabila Wajib Pajak sedang mengalami keadaan di luar kekuasaannya maka Kepala KPP BUMN dapat memberikan kesempatan mengangsur kewajiban PPh Pasal 29 yang menjadi kewajibannya berdasarkan ketentuan. d. Apabila ternyata para Wajib Pajak tersebut tidak mengalami keadaan di luar kekuasaannya, dan menurut informasi yang kita miliki Wajib Pajak tersebut mempunyai potensi penerimaan pajak yang belum tergali, maka terhadap para Wajib Pajak tersebut dapat diprioritaskan untuk dilakukan pemeriksaan. Demikian untuk dimaklumi. A.n. Direktur Jenderal Pjs. Direktur, ttd. Ichwan Fachruddin NIP 060044568 Tembusan : Direktur Jenderal Pajak;
peraturan/0tkbpera/44fd3d54368ffe700c4d10c32fc61112.txt · Last modified: (external edit)