peraturan:0tkbpera:3c59dc048e8850243be8079a5c74d079
               UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                      NOMOR 18 TAHUN 1997

                        TENTANG

                 PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

                DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                       PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang   :   

a.  bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 
    Dasar 1945, dalam perkembangannya telah menghasilkan pembangunan yang pesat dalam kehidupan 
    nasional, yang perlu dilanjutkan dengan dukungan pemerintah dan seluruh potensi masyarakat, karena 
    itu menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan yang merupakan 
    sarana peran serta dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional;

b.  bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting guna 
    membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah untuk memantapkan 
    otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab dengan titik berat pada Daerah 
    Tingkat II;

c.  bahwa Undang-undang Nomor 11 Drt. 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah dan Undang-undang 
    Nomor 12 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah serta peraturan perundang-
    undangan dibidang perpajakan daerah dan retribusi daerah yang lama sudah tidak sesuai lagi dengan 
    perkembangan keadaan, oleh karena itu perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan daerah dan 
    retribusi daerah yang mengarah pada sistem yang sederhana, adil, efektif dan efisien, yang dapat 
    menggerakkan peran serta masyarakat dalam pembiayaan pembangunan daerah;

d.  bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu dibentuk Undang-
    Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;

Mengingat   :   

1.  Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

2.  Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara 
    Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);

                      Dengan persetujuan

            DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

                         MEMUTUSKAN :

Menetapkan  :   UNDANG-UNDANG TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.


                        BAB I
                      KETENTUAN UMUM

                        Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1.  Daerah Otonomi, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai 
    batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang, dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah 
    tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan 
    perundang-undangan yang berlaku;

2.  Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

3.  Kepala Daerah adalah Kepala Daerah Tingkat I atau Kepala Daerah Tingkat II;

4.  Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu dibidang perpajakan daerah dan/atau retribusi sesuai 
    dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

5.  Peraturan Daerah adalah peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan 
    Perwakilan Rakyat Daerah;

6.  Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi 
    atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan 
    berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai 
    penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah; 

7.  Badan adalah suatu bentuk badan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, 
    perseroan lainnya badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, 
    persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga, 
    dana pensiun, bentuk usaha tetap serta bentuk badan usaha lainnya;

8.  Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan pajak daerah;

9.  Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan 
    daerah diwajibkan untuk melakukan pembayaran pajak yang terutang, termasuk pemungut atau 
    pemotong pajak tertentu;

10. Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim kecuali ditentukan 
    lain;

11. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya satu tahun takwim kecuali bila Wajib Pajak 
    menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim;

12. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak pada suatu saat, dalam Masa 
    Pajak, dalam Tahun Pajak atau dalam Bagian Tahun Pajak menurut peraturan perundang-undangan 
    perpajakan daerah;

13. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan  mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak 
    atau retribusi, penentuan besarnya pajak atau retribusi yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak 
    atau retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya;

14. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang dapat disingkat SPTPD, adalah surat yang digunakan oleh 
    Wajib Pajak untuk Melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut peraturan 
    perundang-undangan  perpajakan daerah;

15. Surat Setoran Pajak Daerah, yang dapat disingkat SSPD, adalah surat yang digunakan oleh Wajib 
    Pajak untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke Kas Daerah atau ke 
    tempat lain yang ditetapkan oleh Kepala Daerah;

16. Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang dapat disingkat SKPD, adalah surat keputusan yang menentukan 
    besarnya jumlah pajak yang terutang;

17. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang dapat disingkat SKPDKB, adalah surat keputusan 
    yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan 
    pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar;

18. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang dapat disingkat SKPDKBT, adalah surat 
    keputusan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan;

19. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang dapat disingkat SKPDLB, adalah surat keputusan 
    yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar dari 
    pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang;

20. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang dapat disingkat SKPDN, adalah surat keputusan yang 
    menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak , atau pajak tidak 
    terutang dan tidak ada kredit pajak;

21. Surat Tagihan Pajak Daerah, yang dapat disingkat STPD, adalah surat untuk melakukan tagihan pajak 
    dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda;

22. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan kesalahan tulis, kesalahan 
    hitung dan/atau kekeliruan dalam penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang 
    terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat 
    Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat 
    Ketetapan Pajak Daerah Nihil atau Surat Tagihan Pajak Daerah;

23. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak 
    Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar 
    Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil atau 
    terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak;

24. Putusan Banding adalah putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak atas banding terhadap Surat 
    Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak;

25. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data 
    dan informasi yang meliputi keadaan harta, kewajiban atau utang, modal, penghasilan dan biaya serta 
    jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan 
    keuangan berupa neraca dan perhitungan rugi laba pada setiap Tahun Pajak berakhir;

26. Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut retribusi, adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas 
    jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah 
    untuk kepentingan orang pribadi atau badan;

27. Jasa adalah kegiatan Pemerintah Daerah berupa usaha dan pelayanan yang menyebabkan barang, 
    fasilitas, atau kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan;

28. Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan 
    kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan;

29. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial 
    karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta;

30. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada 
    orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan 
    pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, 
    sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan;

31. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan retribusi 
    diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau pemotongan retribusi 
    tertentu;

32. Masa Retribusi adalah suatu jangka waktu tertentu yang merupakan batas waktu bagi Wajib Retribusi 
    diwajibkan untuk memanfaatkan jasa dan perizinan tertentu dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan;

33. Surat Setoran Retribusi Daerah, yang dapat disingkat SSRD, adalah surat yang digunakan oleh Wajib 
    Retribusi untuk melakukan pembayaran atau penyetoran retribusi yang terutang ke Kas Daerah atau ke 
    tempat pembayaran lain yang ditetapkan oleh Kepala Daerah;

34. Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang dapat disingkat SKRD, adalah surat keputusan yang 
    menentukan besarnya jumlah retribusi yang terutang;

35. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, yang dapat disingkat SKRDLB, adalah surat keputusan 
    yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar 
    daripada retribusi yang terutang atau tidak seharusnya terutang;

36. Surat Tagihan Retribusi Daerah, yang dapat disingkat STRD, adalah surat untuk melakukan tagihan 
    retribusi dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda;

37. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, dan mengolah data dan/
    atau keterangan lainnya dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan 
    daerah dan retribusi berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah dan retribusi;

38. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi adalah serangkaian tindakan yang 
    dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya disebut Penyidik, untuk mencari serta 
    mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan daerah 
    dan retribusi yang terjadi serta menemukan tersangkanya.


                        BAB II
                        PAJAK

                         Bagian Pertama
                    Jenis, Bagi Hasil, Tarif, dan Tata Cara Penghitungan Pajak

                        Pasal 2

(1) Jenis Pajak Daerah Tingkat I terdiri dari :
    a.  Pajak Kendaraan bermotor;
    b.  Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
    c.  Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

(2) Jenis Pajak Daerah Tingkat II terdiri dari :
    a.  Pajak Hotel dan Restoran;
    b.  Pajak Hiburan;
    c.  Pajak Reklame;
    d.  Pajak Penerangan Jalan;
    e.  Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C;
    f.  Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.

(3) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan jenis pajak selain yang ditetapkan pada ayat (1) dan 
    ayat (2) yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
    a.  bersifat sebagai pajak dan bukan retribusi;
    b.  objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum;
    c.  potensinya memadai;
    d.  tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;
    e.  memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat;
    f.  menjaga kelestarian lingkungan.

(4) Ketentuan tentang objek, subjek, dan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
    dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(5) Hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor diserahkan kepada Daerah Tingkat II 
    setelah dikurangi 10% (sepuluh persen) untuk Daerah Tingkat I yang bersangkutan;

(6)     Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


                        Pasal 3

(1) Tarif pajak ditetapkan paling tinggi sebesar :
    a.  Pajak Kendaraan Bermotor 5% (lima persen);
    b.  Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor 10% (sepuluh persen);
    c.  Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 5% (lima persen);
    d.  Pajak Hotel dan Restoran 10% (sepuluh Persen);
    e.  Pajak Hiburan 35% (tiga puluh lima persen);
    f.  Pajak Reklame 25% (dua puluh lima persen);
    g.  Pajak Penerangan Jalan 10% (sepuluh Persen);
    h.  Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan galian Golongan C 20% (dua puluh persen);
    i.  Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan 20% (dua puluh persen).

(2) Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c ditetapkan seragam 
    diseluruh Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(3) Taraf pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i 
    ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

(4) Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan mengalikan tarif  pajak sebagaimana dimaksud pada 
    ayat (1) dengan dasar pengenaan pajak.


                            Bagian Kedua
                       Peraturan Daerah Tentang Pajak

                        Pasal 4

(1) Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

(2) Peraturan Daerah tentang Pajak tidak dapat berlaku surut.

(3) Peraturan Daerah tentang Pajak sekurang-kurangnya mengatur ketentuan mengenai :
    a.  nama, objek, subjek pajak;
    b.  dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;
    c.  wilayah pemungutan;
    d.  masa pajak;
    e.  penetapan.
    f.  tata cara pembayaran dan penagihan;
    g.  kedaluarsa;
    h.  sanksi administrasi;
    i.  tanggal mulai berlakunya.

(4) Peraturan Daerah tentang Pajak dapat mengatur ketentuan mengenai :
    a.  pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak 
        dan/atau sanksinya;
    b.  tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluarsa;
    c.  azas timbal balik.


                        Pasal 5

(1) Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan mengesahkan, menolak untuk 
    mengesahkan, atau meminta penyempurnaan terlebih dahulu Peraturan Daerah sebagaimana 
    dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).

(2) Pengesahan, penolakan untuk pengesahan, atau permintaan untuk penyempurnaan terlebih dahulu 
    Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 
    (tiga) bulan sejak diterimanya Peraturan Daerah dimaksud.

(3) Jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diperpanjang 3 (tiga) 
    bulan lagi, dengan memberitahukan kepada Pemerintah Daerah yang bersangkutan sebelum jangka 
    waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir.

(4) Apabila setelah jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana 
    dimaksud pada ayat (2) atau jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah 
    lewat, Menteri Dalam Negeri tidak mengambil keputusan, Peraturan Daerah tersebut dianggap telah 
    disahkan, berlaku, dan dapat dilaksanakan.

(5) Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan dapat membatalkan atau meminta 
    untuk menyempurnakan Peraturan Daerah yang telah atau dianggap telah disahkan apabila Peraturan 
    Daerah tersebut dikemudian hari ternyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang 
    lebih tinggi.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengesahan, penolakan untuk pengesahan, permintaan untuk 
    penyempurnaan, dan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (4), 
    dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


                           Bagian Ketiga
                            Tata Cara Pemungutan

                        Pasal 6

Pemungutan pajak tidak dapat diborongkan.


                        Pasal 7

(1) Pajak dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak.

(2) Wajib Pajak memenuhi kewajiban pajak yang dipungut dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak 
    Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan.

(3) Wajib Pajak memenuhi kewajiban pajak yang dibayar sendiri dengan menggunakan Surat 
    Pemberitahuan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar dan/atau Surat Ketetapan 
    Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan.

(4) Terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat diterbitkan Surat 
    Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan 
    Banding sebagai dasar pemungutan dan penyetoran pajak.


                        Pasal 8

(1) Tatacara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan, Surat 
    Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, dan Surat Keputusan Keberatan sebagaimana 
    dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan Kepala Daerah.

(2) Tatacara pengisian dan penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, penerbitan Surat Ketetapan 
    Pajak Daerah Kurang Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan 
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) diatur dengan Keputusan Kepala Daerah.


                        Pasal 9

(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Kepala Daerah dapat 
    menerbitkan :

    a.  Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar dalam hal :
        1)  apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang tidak 
            atau kurang dibayar;
        2)  apabila Surat Pemberitahuan Pajak Daerah tidak disampaikan kepada Kepala Daerah 
            dalam jangka waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis;
        3)  apabila kewajiban mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Daerah tidak dipenuhi, pajak 
            yang terutang dihitung secara jabatan.

    b.  Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan apabila ditemukan data baru dan/atau 
        data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang 
        terutang.

    c.  Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil apabila jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan 
        jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.

(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar 
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1) dan angka 2) dikenakan sanksi administrasi 
    berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar 
    untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.

(3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan 
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 
    100 % (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.

(4) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan apabila Wajib Pajak melaporkan 
    sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.

(5) Jumlah pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar sebagaimana 
    dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3) dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 
    25 % (dua puluh lima persen) dari pokok pajak ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 
    2 % (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu 
    paling lama 24 (dua puluh empat ) bulan dihitung sejak saat terhutangnya pajak.


                        Pasal 10

(1) Kepala Daerah dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak Daerah apabila :
    a.  pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang bayar;
    b.  dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan Pajak Daerah terdapat kekurangan pembayaran 
        sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
    c.  Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.

(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak Daerah sebagaimana dimaksud 
    pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua 
    persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak.

(3) Surat Ketetapan Pajak Daerah yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran 
    dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, dan ditagih melalui 
    Surat Tagihan Pajak Daerah.


                          Bagian Keempat
                   Tata Cara Pembayaran dan Penagihan

                        Pasal 11

(1) Kepala Daerah menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang 
    paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah saat terutangnya pajak.

(2) Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak 
    Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, Surat 
    Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar 
    bertambah harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.

(3) Kepala Daerah atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat 
    memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak, 
    dengan dikenakan  bunga sebesar 2% ( dua persen) sebulan.

(4) Tatacara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran pajak 
    diatur dengan Keputusan Kepala Daerah.


                        Pasal 12

(1) Pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah 
    Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Tagihan Pajak Daerah, 
    Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau 
    kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya, dapat ditagih dengan Surat Paksa. 

(2) Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan Peraturan perundang-undangan yang 
    berlaku.


                            Bagian Kelima
                      Keberatan dan Banding

                        Pasal 13

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk 
    atas suatu:
    a.  Surat Ketetapan Pajak Daerah ;
    b.  Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar;
    c.  Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan;
    d.  Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar;
    e.  Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil;
    f.  pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan 
        perpajakan daerah yang berlaku.

(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas.

(3) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas ketetapan pajak secara jabatan, Wajib Pajak harus 
    dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.

(4) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal 
    pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali apabila Wajib Pajak 
    dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.

(5) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak 
    dianggap sebagai Surat Keberatan, sehingga tidak  dipertimbangkan.

(6) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak 
    sesuai ketentuan yang berlaku.


                        Pasal 14

(1) Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan 
    diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.

(2) Keputusan Kepala Daerah atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, 
    atau menambah besarnya pajak yang terutang.

(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Kepala Daerah tidak 
    memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.


                        Pasal 15

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Badan Penyelesaian Sengketa 
    Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Kepala Daerah.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia, 

    dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan 
    dari surat keputusan tersebut.

(3) Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan 
    penagihan pajak.


                        Pasal 16

Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan 
pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan untuk 
jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.


                          Bagian Keenam
            Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan, dan Penghapusan 
                              atau Pengurangan Sanksi Administrasi

                        Pasal 17

(1) Kepala Daerah karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Ketetapan 
    Pajak Daerah atau Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Daerah 
    Kurang Bayar Tambahan atau Surat Tagihan Pajak Daerah yang dalam penerbitannya terdapat 
    kesalahan tulis, kesalahan hitung dan/atau kekeliruan dalam penerapan peraturan perundang-undangan 
    perpajakan daerah.

(2) Kepala Daerah dapat :
    a.  Mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan 
        pajak yang terutang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah, dalam hal 
        sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
    b.  Mengurangkan atau membatalkan Ketetapan Pajak yang tidak benar.

(3) Tatacara pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dan pengurangan atau pembatalan 
    ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Kepala Daerah.


                        BAB III
                              RETRIBUSI

                            Bagian Pertama
                         Objek dan Golongan Retribusi

                        Pasal 18

(1) Objek retribusi terdiri dari :
    a.  Jasa Umum;
    b.  Jasa Usaha;
    c.  Perizinan Tertentu.

(2) Retribusi dibagi atas tiga golongan :
    a.  Retribusi Jasa Umum;
    b.  Retribusi Jasa Usaha;
    c.  Retribusi Perizinan Tertentu.

(3) Jenis-jenis retribusi yang termasuk golongan Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan 
    Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan 
    Pemerintah.


                        Pasal 19

Jasa yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Daerah bukan merupakan objek retribusi.


                            Bagian Kedua
                         Cara Penghitungan Retribusi

                        Pasal 20

Besarnya retribusi yang terutang dihitung berdasarkan :
a.  Tingkat penggunaan jasa;
b.  Tarif retribusi.


                        Pasal 21

Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif ditentukan sebagai berikut :
a.  untuk Retribusi Jasa Umum, ditetapkan berdasarkan kebijaksanaan Daerah dengan 
    mempertimbangkan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, dan aspek 
    keadilan ;
b.  untuk Retribusi Jasa Usaha, didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak ;
c.  untuk Retribusi Perizinan Tertentu, didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau sama dengan 
    biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.


                        Pasal 22

Cara perhitungan besarnya retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 serta prinsip dan sasaran 
penetapan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 diatur dengan Peraturan Pemerintah.


                        Pasal 23

Tarif retribusi ditinjau kembali secara berkala dengan memperhatikan prinsip dan sasaran penetapan tarif 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.


                             Bagian Ketiga
                      Peraturan Daerah Tentang Retribusi

                        Pasal 24

(1) Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

(2) Peraturan Daerah tentang Retribusi tidak dapat berlaku surut.

(3) Peraturan Daerah tentang Retribusi sekurang-kurangnya mengatur ketentuan mengenai :
    a.  nama,objek, dan subjek retribusi ;
    b.  golongan retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2)
    c.  cara mengukur tingkat penggunaan jasa yang bersangkutan ;
    d.  prinsip yang dianut dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi ;
    e.  struktur dan besarnya tarif retribusi ;
    f.  wilayah pemungutan ;
    g.  tatacara pemungutan ;
    h.  sanksi administrasi;
    i.  tatacara penagihan ;
    j.  tanggal mulai berlakunya.

(4) Peraturan Daerah tentang retribusi dapat mengatur ketentuan mengenai :
    a.  masa retribusi ;
    b.  pemberian keringanan, pengurangan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok 
        retribusi dan/atau sanksinya ;
    c.  tatacara penghapusan piutang retribusi yang kedaluwarsa.


                        Pasal 25

(1) Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan mengesahkan, menolak untuk 
    mengesahkan, atau meminta penyempurnaan terlebih dahulu Peraturan Daerah sebagaimana 
    dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1).

(2) Pengesahan, penolakan untuk pengesahan, atau permintaan untuk penyempurnaan terlebih dahulu 
    Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 
    (tiga) bulan sejak diterimanya Peraturan Daerah dimaksud.

(3) Jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diperpanjang 3 (tiga) 
    bulan lagi, dengan memberitahukan kepada Pemerintah Daerah yang bersangkutan sebelum jangka 
    waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir.

(4) Apabila setelah jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana 
    dimaksud pada ayat (2) atau jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah 
    lewat, Menteri Dalam Negeri tidak mengambil keputusan, Peraturan Daerah tersebut dianggap telah 
    disahkan berlaku, dan dapat dilaksanakan.

(5) Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan dapat membatalkan atau meminta 
    untuk menyempurnakan Peraturan Daerah yang telah atau dianggap telah disahkan apabila Peraturan 
    Daerah tersebut dikemudian hari ternyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang 
    lebih tinggi.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengesahan, penolakan untuk pengesahan, permintaan untuk 
    penyempurnaan, dan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (4), 
    dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


                          Bagian Keempat
                     Tata Cara Pemungutan

                        Pasal 26

Pemungutan Retribusi tidak dapat diborongkan.
        

                        Pasal 27

(1) Retribusi dipungut dengan menggunakan Surat Ketetapan Retribusi Daerah atau Dokumen lain yang 
    dipersamakan.

(2) Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, 
    dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari retribusi yang 
    terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Retribusi 
    Daerah.


                           Bagian Kelima
                               Keberatan

                        Pasal 28

(1) Wajib Retribusi tertentu dapat mengajukan keberatan hanya kepada Kepala Daerah atau pejabat yang 
    ditunjuk atas Surat Ketetapan Retribusi Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan.

(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas.

(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal Surat Ketetapan 
    Retribusi Daerah diterbitkan, kecuali apabila Wajib Retribusi tertentu dapat menunjukkan bahwa jangka 
    waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.

(4) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar retribusi dan pelaksanaan penagihan 
    retribusi.


                        Pasal 29

(1) Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima 
    harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.

(2) Keputusan Kepala Daerah atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, 
    atau menambah besarnya retribusi yang terutang.

(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Kepala Daerah tidak 
    memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.


                        BAB IV
                       PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN

                        Pasal 30

(1) Atas kelebihan pembayaran pajak atau retribusi, Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dapat mengajukan 
    permohonan pengembalian kepada Kepala Daerah.

(2) Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan 
    kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.

(3) Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak diterimanya permohonan 
    kelebihan pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.

(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) telah dilampaui dan Kepala 
    Daerah tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran pajak atau 
    retribusi dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar atau Surat Ketetapan 
    Retribusi Daerah Lebih Bayar harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.

(5) Apabila Wajib Pajak atau Wajib Retribusi mempunyai utang pajak atau utang retribusi lainnya, 
    kelebihan pembayaran pajak atau retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung 
    diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak atau utang retribusi tersebut.

(6) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
    dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak 
    Daerah Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar.

(7) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau retribusi dilakukan setelah lewat jangka waktu 
    2 (dua) bulan, Kepala Daerah memberikan imbalan bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan atas 
    keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak atau retribusi.

(8) Tatacara pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat 
    (1) diatur dengan Peraturan Daerah.


                        BAB V
                         KEDALUWARSA PENAGIHAN

                        Pasal 31

(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak, kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun 
    terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana dibidang 
    perpajakan daerah.

(2) Kedaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila :
    a.  diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa, atau :
    b.  ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung.


                        Pasal 32

(1) Hak untuk melakukan penagihan retribusi, kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 3 (tiga) tahun 
    terhitung sejak saat terutangnya retribusi, kecuali apabila Wajib Retribusi melakukan tindak pidana 
    dibidang retribusi.

(2) Kedaluwarsa penagihan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila :
    a.  diterbitkan Surat Teguran, atau ;
    b.  ada pengakuan utang retribusi dari Wajib Retribusi baik langsung maupun tidak langsung.


                        Pasal 33

Pedoman tatacara penghapusan piutang pajak dan retribusi yang kedaluwarsa diatur dengan Peraturan 
Pemerintah.
    

                        BAB VI
                      PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN

                        Pasal 34

(1) Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu wajib menyelenggarakan pembukuan.

(2) Kriteria Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tatacara pembukuan diatur oleh Menteri 
    Dalam Negeri.


                        Pasal 35

(1) Kepala Daerah berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban 
    perpajakan daerah dan kewajiban retribusi dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan 
    perpajakan daerah dan retribusi.

(2) Wajib Pajak atau Wajib Retribusi yang diperiksa wajib :
    a.  memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya 
        dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek pajak atau objek retribusi yang terutang ; 
    b.  memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan 
        memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan ;
    c.  memberikan keterangan yang diperlukan.

(3) Tatacara pemeriksaan pajak dan retribusi diatur oleh Menteri Dalam Negeri.


                        BAB VII
                       KETENTUAN KHUSUS

                        Pasal 36

(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak, segala sesuatu yang 
    diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya 
    untuk menjalankan peraturan perundang-undangan perpajakan, daerah, kecuali sebagai saksi atau 
    saksi ahli dalam sidang pengadilan.

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap ahli-ahli yang ditunjuk oleh 
    Kepala Daerah untuk membantu dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan 
    daerah,  kecuali sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan.

(3) Untuk kepentingan daerah, Kepala Daerah berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat 
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga-tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), 
    supaya memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada 
    pihak yang ditunjuknya.

(4) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata atas permintaan 
    hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Kepala Daerah dapat memberi 
    izin tertulis untuk meminta kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli 
    sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.

(5) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyebutkan nama terdakwa atau 
    nama tergugat, keterangan-keterangan yang diminta serta kaitan antara perkara pidana atau perdata 
    yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta tersebut.


                        BAB VIII
                        KETENTUAN PIDANA

                        Pasal 37

(1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah atau 
    mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar 
    sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) 
    tahun dan /atau denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak yang terutang.

(2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah atau 
    mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar 
    sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 
    dan/atau denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang.


                        Pasal 38

Tindak pidana dibidang perpajakan daerah tidak dituntut setelah melampaui jangka waktu 10 (sepuluh) tahun 
sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau 
berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.


                        Pasal 39

Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan keuangan daerah diancam pidana 
kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah retribusi yang terutang.


                        Pasal 40

(1) Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana 
    dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 
    (enam ) bulan atau denda paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah).

(2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak 
    dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2), dipidana 
    dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun  atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima 
    Juta rupiah).

(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan 
    atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.

(4)     Besarnya denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat ditinjau kembali 
    dengan Peraturan Pemerintah.


                        Pasal 41

Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) merupakan 
penerimaan negara.

        
                        BAB IX
                            PENYIDIKAN

                        Pasal 42

(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus 
    sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan daerah atau retribusi 
    sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana .

(2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

    a.  menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan 
        tindak pidana dibidang perpajakan daerah dan retribusi agar keterangan atau laporan tersebut 
        menjadi lebih lengkap dan jelas ;

    b.  meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang 
        kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan daerah dan 
        retribusi ;

    c.  meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak 
        pidana dibidang perpajakan daerah dan retribusi ;

    d.  memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak 
        pidana dibidang perpajakan daerah dan retribusi ;

    e.  melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan 
        dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;

    f.  meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana 
        dibidang perpajakan daerah dan retribusi ;

    g.  menyuruh berhenti melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat 
        pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan/atau dokumen yang 
        dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e ;

    h.  memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan daerah dan retribusi ;

    i.  memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi ;

    j.  menghentikan penyidikan ;

    k.  melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana dibidang 
        perpajakan daerah dan retribusi menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan 
    menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum, sesuai dengan ketentuan yang diatur 
    dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.


                        BAB X
                    KETENTUAN PERALIHAN

                        Pasal 43

(1) Peraturan Daerah tentang Pajak yang telah ada dan yang terkait dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) 
    dan Peraturan Daerah tentang Retribusi yang telah ada dan yang terkait dalam Pasal 18 ayat (3), 
    masih tetap berlaku sebelum diberlakukannya Peraturan Daerah yang baru berdasarkan Undang-
    undang ini.

(2) Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang yang 
    terkait dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 18 ayat (2) huruf c yang ditetapkan dengan 
    Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (3) dinyatakan berlaku paling lama 
    3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-undang ini.

(3) Peraturan Daerah tentang Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang yang terkait 
    dengan Pasal 18 ayat (2)  huruf a dan huruf b dan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah 
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dinyatakan berlaku paling lama 5 (lima) tahun sejak 
    berlakunya Undang-undang ini.

(4) Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan 
    tetap berlaku selama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-undang ini.
                

                        Pasal 44

Pajak dan Retribusi yang masih terutang berdasarkan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
43 ayat (2) dan ayat (3) sepanjang tidak diatur dalam Peraturan Daerah yang bersangkutan masih dapat ditagih 
dalam jangka waktu selama 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutang.


                        BAB XI
                      KETENTUAN PENUTUP

                        Pasal 45

Dengan berlakunya Undang-undang ini ,dinyatakan tidak berlaku :

1.  Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor 1934 (Staatsblad Tahun 1934 Nomor 718 sebagaimana telah 
    ditambah dan diubah dengan Staatsblad Tahun 1939 Nomor 226 dan Staatsblad Tahun 1949 Nomor 
    376, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 8 Tahun 1959 dalam Lembaran Negara 
    Tahun 1959 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1857 ) ;

2.  Ordonansi Pajak Potong 1936 ( Staatsblad Tahun 1936 Nomor 671 ) sebagaimana telah ditambah dan 
    diubah, terakhir dengan Staatsblad Tahun 1949 Nomor 317 ;

3.  Undang-undang Nomor 12 Tahun 1947 tentang Pajak Radio sebagaimana telah ditambah dan diubah, 
    terakhir dengan Undang-undang Nomor 27 Drt. Tahun 1957, Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 84, 
    Tambahan Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 1402 ;

4.  Undang-undang Nomor 14 Tahun 1947 tentang Pajak Pembangunan I sebagaimana telah ditambah dan 
    diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor  27  Drt.  Tahun  1957  (Lembaran  Negara  Tahun  1957 
    Nomor 84,Tambahan Lembaran Negara Nomor 1402) ;

5.  Pasal 3 ayat (1) huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang 
    Perimbangan Keuangan antara Negara dan Daerah-daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya 
    Sendiri (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1442) ;

6.  Undang-undang Nomor 11 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah (Lembaran Negara 
    Tahun 1957 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1287 ) ;

7.  Undang-undang Nomor 12 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah (Lembaran 
    Negara Tahun 1957 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1288 ) ;

8.  Undang-undang Nomor 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing (Lembaran Negara Tahun 1958 
    Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1345) sebagaimana telah diubah dan ditambah 
    dengan Undang-undang Nomor 87 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 164, Tambahan 
    Lembaran Negara Nomor 1692 ) ;

9.  Undang-undang Nomor 27 Prp. Tahun 1959 tentang Bea Balik Nama Kendaran Bermotor (Lembaran 
    Negara Tahun 1959 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1911);

10. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1968 tentang Penyerahan Pajak-Pajak Negara, Bea Balik Nama 
    Kendaraan Bermotor, Pajak Bangsa Asing dan Pajak Radio Kepada Daerah (Lembaran Negara Tahun 
    1968 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2861).


                        Pasal 46

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya 
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




                                Disahkan Di Jakarta 
                                Pada tanggal 23 Mei 1997
                                PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

                                     ttd

                                SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Mei 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA 
REPUBLIK INDONESIA

      ttd

MOERDIONO



            LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997 NOMOR 41





                           PENJELASAN
                         ATAS

                UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                    NOMOR 18 TAHUN 1997

                        TENTANG

                 PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

UMUM

Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 yang menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan 
kewajiban kenegaraan, dalam penjelasan Pasal 23 ayat (2) ditegaskan bahwa penetapan belanja mengenai hak 
rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, maka segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat, 
seperti pajak dan lain-lain, harus ditempatkan dengan Undang-undang, yaitu dengan persetujuan Dewan 
Perwakilan Rakyat, oleh karena itu pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah harus didasarkan pada 
Undang-undang.

Sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, Pajak dan 
Retribusi merupakan sumber pendapatan daerah agar daerah dapat melaksanakan otonominya, yaitu mampu 
mengatur dan mengurus Rumah tangganya sendiri, disamping penerimaan yang berasal dari Pemerintah 
berupa subsidi/bantuan dan bagi hasil pajak dan bukan pajak. Sumber pendapatan daerah tersebut diharapkan 
menjadi sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan 
dan memeratakan kesejahteraan masyarakat.

Sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai dengan pembentukan Undang-undang ini, maka Undang-undang ini 
menetapkan ketentuan-ketentuan pokok yang memberikan pedoman kebijaksanaan dan arahan bagi daerah 
dalam pelaksanaan pemungutan pajak dan retribusi, sekaligus menetapkan pengaturan yang cukup rinci untuk 
menjamin penerapan prosedur umum perpajakan daerah dan retribusi .

Undang-undang Nomor 11 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah yang selama ini berlaku 
telah menyebabkan daerah berpeluang untuk memungut banyak jenis pajak, beberapa diantaranya mempunyai 
biaya administrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasilnya dan atau hasilnya tidak memadai. Disamping 
itu, terdapat beberapa jenis pajak yang tidak memadai untuk dipungut daerah karena tumpang tindih dengan 
pajak lain dalam arti terdapat pajak lain untuk jenis objek yang sama, menghambat efisiensi alokasi sumber 
ekonomi , bersifat tidak adil, atau tidak benar-benar bersifat pajak, tetapi bersifat retribusi.

Pungutan retribusi yang berkembang selama ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Drt. Tahun 1957 
tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah menunjukkan beberapa kelemahan, seperti :
a.  hasilnya kurang memadai jika dibandingkan dengan biaya penyediaan jasa oleh daerah ;
b.  biaya pemungutannya relatif tinggi ;
c.  kurang kuatnya prinsip dasar retribusi terutama dalam hal pengenaan, penetapan, struktur, dan 
    besarnya tarif ;
d.  adanya beberapa jenis retribusi yang pada hakekatnya bersifat pajak karena pemungutannya tidak 
    dikaitkan secara langsung dengan jasa pelayanan Pemerintah Daerah kepada Pembayar Retribusi ;
e.  adanya jenis retribusi perizinan yang tidak efektif dalam usaha untuk melindungi kepentingan umum 
    dan kelestarian lingkungan;
f.  adanya jenis retribusi yang mempunyai dasar pengenaan atau objek yang sama .

Untuk itu, jenis-jenis retribusi perlu diklasifikasikan dengan kriteria tertentu, agar memudahkan penerapan 
prinsip dasar retribusi sehingga mencerminkan hubungan yang jelas antara tarif retribusi dengan pelayanan 
dan jasa yang diberikan Pemerintah Daerah .

Dewasa ini besarnya penerimaan Daerah Tingkat I yang berasal dari pajak dan retribusi cukup memadai, 
sedangkan penerimaan Daerah Tingkat II dari pajak dan retribusi masih relatif kecil. Keadaan ini kurang 
mendukung perkembangan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab dengan titik berat pada Daerah 
Tingkat II. Oleh karena itu, perlu usaha peningkatan penerimaan daerah yang berasal dari sumber pajak dan 
retribusi yang potensial dan yang mencerminkan kegiatan ekonomi daerah . Sebagai salah satu upaya dalam 
meningkatkan penerimaan Daerah Tingkat II tersebut, diperkenalkan adanya jenis pajak baru, yaitu Pajak 
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang dibagi hasilkan dengan Daerah Tingkat I dengan imbangan sebagian 
besar untuk Daerah Tingkat II. Pajak ini dianggap sangat baik ditinjau dari segi potensinya karena konsumsi 
bahan bakar kendaraan bermotor cukup besar dan setiap tahun selalu meningkat . Konsumsi bahan bakar 
kendaran bermotor tersebut mencerminkan kegiatan ekonomi daerah dan erat kaitannya dengan produk 
domestik regional bruto, pembangunan dan pemeliharaan jalan sehubungan dengan banyaknya kendaraan 
bermotor pengguna jalan.

Dalam rangka menata kembali beberapa jenis retribusi yang pada hakekatnya bersifat pajak serta untuk lebih 
memberi perhatian pada pelestarian lingkungan, maka dalam undang-undang Retribusi Pengambilan dan 
Pengolahan Bahan Galian Golongan C dan Retribusi Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air 
Permukaan dinyatakan masing-masing menjadi Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C 
dan Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Kedua jenis pajak tersebut merupakan Pajak 
Daerah Tingkat II, dengan pertimbangan untuk lebih memperkuat upaya peningkatan penerimaan Daerah 
Tingkat II dan Mendukung perkembangan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab dengan titik berat 
pada Daerah Tingkat II.

Dewasa ini pengadministrasian beberapa jenis pajak dan retribusi belum dilakukan dengan baik sehingga 
realisasi penerimaannya lebih kecil dari yang semestinya. Dalam Undang-undang ini usaha perbaikan 
administrasi guna peningkatan efektifitas dan efisiensi pemungutan dalam rangka peningkatan penerimaan 
daerah cukup mendapat perhatian.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, Undang-undang ini bertujuan untuk menyederhanakan dan 
memperbaiki jenis dan struktur perpajakan daerah, meningkatkan pendapatan daerah, memperbaiki sistem 
administrasi perpajakan daerah dan retribusi sejalan dengan sistem administrasi perpajakan nasional, 
mengklasifikasikan retribusi, dan menyederhanakan tarif pajak dan retribusi.

Dalam rangka penyederhanaan jenis pajak dan retribusi, Undang-undang ini menetapkan jenis-jenis pajak dan 
retribusi yang dapat dipungut Daerah. Penyederhanaan tersebut diharapkan dapat meningkatkan penerimaan 
daerah dari sumber pajak dan retribusi, mengingat penetapan pajak dan retribusi yang dapat dipungut Daerah  
berdasarkan Undang-undang ini didasarkan, antara lain, pada potensinya yang cukup besar. Dengan 
penyederhanaan ini, sekaligus Daerah diharapkan mampu menutup hilangnya penerimaan yang berasal dari 
pajak dan retribusi yang kurang potensial, tetapi saat ini masih dipungut oleh Daerah. Oleh karena itu, 
Pemerintah Daerah diharapkan untuk menitikberatkan perhatiannya pada jenis-jenis pajak dan retribusi yang 
potensinya besarnya.

Pajak Daerah dan Pajak Nasional merupakan satu sistem perpajakan Indonesia, yang pada dasarnya 
merupakan beban masyarakat sehingga perlu dijaga agar kebijaksanaan perpajakan tersebut dapat 
memberikan beban yang adil. Sejalan dengan perpajakan nasional, maka pembinaan pajak daerah harus 
dilakukan secara terpadu dengan pajak nasional. Pembinaan ini harus dilakukan secara  terus-menerus, 
terutama mengenai objek dan tarif pajaknya supaya antara pajak pusat dan pajak daerah tersebut saling 
melengkapi.

Dalam sistem dan struktur perpajakan daerah dan retribusi yang lama, dasar hukum pemungutannya diatur 
dalam berbagai undang-undang/ordonansi, antara lain :
a.  Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor 1934;
b.  Ordonansi Pajak Potong 1936;
c.  Undang-undang Nomor 12 Tahun 1947 tentang Pajak Radio;
d.  Undang-undang Nomor 14 Tahun 1947 tentang Pajak Pembangunan I;
e.  Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dan Daerah-
    Daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri;
f.  Undang-undang Nomor 11 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah;
g.  Undang-undang Nomor 12 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah;
h.  Undang-undang Nomor 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing;
i.  Undang-undang Nomor 27 Prp. Tahun 1959 tentang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
j.  Undang-undang Nomor 10 Tahun 1968 tentang Penyerahan Pajak-Pajak Negara, Bea Balik Nama 
    Kendaraan, Pajak Bangsa Asing, dan Pajak Radio kepada Daerah.

Peraturan perundangan-undangan yang lama tersebut didasarkan pada situasi dan kondisi pada waktu itu yang 
sudah sangat berbeda dengan keadaan sekarang, dengan kemajuan di berbagai bidang dan lebih-lebih lagi 
peraturan perundangan-undangan tersebut tidak mungkin dapat menampung ataupun mengantisipasi 
perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat pada masa yang akan datang. Penyederhanaan ini juga 
dimaksudkan untuk mempermudah masyarakat memahami dan mematuhi peraturan perundangan-undangan 
sehingga pada akhirnya tumbuh kesadaran untuk memenuhi kewajiban perpajakan dan retribusi.

Dalam pembentukan Undang-undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini , diperhatikan, diacu, dan 
dikaitkan dengan Undang-undang lainnya, yaitu :

1.  Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 
    Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209);

2.  Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983  tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran 
    Negara Tahun  1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah 
    dengan Undang-undang Nomor 9 TAHUN 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan 
    Lembaran Negara Nomor 3566)

3.  Undang-undang Nomor 17 TAHUN 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (Lembaran Negara 
    Tahun 1997 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3684)


PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
    Pasal ini memuat pengertian istilah yang dipergunakan dalam Undang-undang ini. Dengan adanya 
    pengertian tentang istilah tersebut dimaksudkan untuk mencegah timbulnya salah tafsir dan salah 
    pengertian dalam memahami dan melaksanakan pasal-pasal yang bersangkutan sehingga baik Wajib 
    Pajak maupun Wajib Retribusi dan aparatur dalam menjalankan hak dan kewajibannya dapat berjalan 
    dengan lancar dan akhirnya dapat dicapai tertib administrasi. Pengertian ini diperlukan karena istilah-
    istilah tersebut mengandung pengertian yang baku dan teknis dalam bidang perpajakan daerah dan 
    retribusi.

Pasal 2
    Ayat (1)
        Jenis-jenis pajak Daerah Tingkat I ditetapkan sebanyak 3 (tiga) jenis pajak. Walaupun demikian 
        Daerah Tingkat I dapat tidak memungut salah satu atau beberapa jenis pajak yang telah 
        ditetapkan bagi Daerah Tingkat I tersebut, apabila potensi pajak didaerah tersebut dipandang 
        kurang memadai. Khusus untuk daerah yang setingkat dengan Daerah Tingkat I tetapi tidak 
        terbagi dalam Daerah Tingkat II, seperti Daerah Khusus Ibukota Jakarta, maka jenis pajak yang 
        dapat dipungut merupakan gabungan dari pajak untuk Daerah Tingkat I dan pajak untuk Daerah 
        Tingkat II.

        huruf a
            Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan 
            kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor adalah semua kendaraan beroda dua atau 
            lebih beserta gandengannya yang digunakan di jalan umum, dan digerakkan oleh 
            peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah 
            suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang 
            bersangkutan, tidak termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar.

        Huruf b
            Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penyerahan hak milik 
            kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau 
            keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan 
            ke dalam badan usaha.

        Huruf c
            Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah pajak atas bahan bakar yang 
            disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor.

    Ayat (2)
        Jenis-jenis Pajak Daerah Tingkat II ditetapkan sebanyak 6 (enam) jenis pajak. Walaupun 
        demikian Daerah Tingkat II dapat tidak memungut salah satu atau beberapa jenis pajak yang 
        telah ditetapkan bagi Daerah Tingkat II tersebut, apabila potensi pajak didaerah tersebut 
        dipandang kurang memadai. 

        Huruf a
            Pajak Hotel dan Restoran adalah pajak atas pelayanan hotel dan restoran. Hotel 
            adalah bangunan yang khusus disediakan bagi orang untuk dapat menginap / istirahat, 
            memperoleh pelayanan, dan/atau fasilitas lainnya dengan dipungut bayaran , termasuk 
            bangunan lainnya yang menyatu, dikelola dan dimiliki oleh pihak yang sama , kecuali 
            untuk pertokoan dan perkantoran. Restoran atau Rumah Makan adalah tempat 
            menyantap makanan dan/atau minuman yang disediakan dengan dipungut bayaran, 
            tidak termasuk usaha jasa boga atau katering.

        Huruf b
            Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Hiburan adalah semua 
            jenis pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian dengan nama dan bentuk apapun, 
            yang ditonton atau dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran, tidak 
            termasuk penggunaan fasilitas untuk berolah raga.

        Huruf c
            Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame. Reklame adalah benda, 
            alat, perbuatan atau media yang menurut bentuk susunan dan corak ragamnya untuk 
            tujuan komersial, dipergunakan untuk memperkenalkan , menganjurkan atau 
            memujikan  suatu barang, jasa atau orang, ataupun untuk menarik perhatian umum 
            kepada suatu barang, jasa atau orang yang ditempatkan atau yang dapat dilihat, 
            dibaca, dan/atau didengar dari suatu tempat oleh umum, kecuali yang dilakukan oleh 
            Pemerintah.

        Huruf d
            Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, dengan 
            ketentuan bahwa didaerah tersebut tersedia penerangan jalan, yang rekeningnya 
            dibayar oleh Pemerintah Daerah.

        Huruf e
            Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C adalah pajak atas 
            kegiatan eksploitasi bahan galian golongan C sesuai dengan peraturan perundang-
            undangan yang berlaku. 

        Huruf f
            Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah pajak atas 
            pengambilan air bawah tanah dan /atau air permukaan untuk digunakan bagi orang 
            pribadi atau badan , kecuali untuk keperluan dasar rumah tangga dan pertanian rakyat.

            Air bawah tanah adalah air yang berada diperut bumi, termasuk mata air yang muncul 
            secara alamiah diatas permukaan tanah . Air Permukaan adalah air yang berada 
            diatas permukaan bumi , tidak termasuk air laut. Oleh karena sumber daya air bawah 
            tanah dan air permukaan dikelola berdasarkan atas wilayah yang biasanya meliputi 
            beberapa Daerah Tingkat II, maka baik Pemerintah Daerah Tingkat I maupun 
            Pemerintah Pusat tetap berwenang mengatur koordinasi pengelolaannya, sesuai 
            dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku .

    ayat (3)
        Undang-undang ini menetapkan jenis-jenis pajak sebagaimana yang ditetapkan pada ayat (1) 
        dan ayat (2)  dan menetapkan kriteria-kriteria untuk jenis pajak selain yang ditetapkan pada
        ayat (1) dan ayat (2). Ayat (3) ini dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan 
        perekonomian daerah di masa mendatang yang mengakibatkan pergeseran potensi pajak 
        dengan tetap memperhatikan kesederhanaan jenis pajak dan aspirasi daerah. Jenis pajak baru 
        yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat ini 
        dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam 
        rangka pelaksanaan otonomi daerah.

        Huruf a
            Yang dimaksud dengan kriteria bersifat pajak dan bukan retribusi adalah bahwa pajak 
            yang ditetapkan harus sesuai dengan pengertian pajak , sebagaimana dimaksud 
            dalam Pasal 1 angka 6.

        Huruf b
            Yang dimaksud dengan kriteria objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan 
            dengan kepentingan umum berarti pajak tersebut dimaksudkan untuk kepentingan 
            bersama yang lebih luas antara Pemerintah dan masyarakat dengan memperhatikan 
            aspek ketenteraman, dan kestabilan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan 
            keamanan.

        Huruf c
            Yang dimaksud dengan kriteria potensinya memadai berarti bahwa hasil pajak cukup 
            besar sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dan laju pertumbuhannya 
            diperkirakan sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi daerah.

        Huruf d
            Yang dimaksud dengan kriteria tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif 
            berarti pajak tidak menunggu alokasi sumber-sumber ekonomi secara efisien dan tidak 
            merintangi arus sumber daya ekonomi antar daerah maupun kegiatan ekspor-impor.

        Huruf e
            Yang dimaksud dengan kriteria aspek keadilan antara lain adalah Objek dan Subjek 
            Pajak harus jelas sehingga dapat diawasi pemungutannya, jumlah pembayaran pajak 
            dapat diperkirakan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan, dan tarif pajak ditetapkan 
            dengan memperhatikan keadaan Wajib Pajak. Yang dimaksud dengan kriteria 
            kemampuan masyarakat adalah kemampuan Subjek Pajak untuk memikul tambahan 
            beban pajak.

        Huruf f
            Yang dimaksud dengan kriteria menjaga kelestarian lingkungan adalah bahwa pajak 
            harus bersifat netral terhadap lingkungan, yang berarti bahwa pengenaan pajak tidak 
            memberikan peluang kepada Pemerintah Daerah dan masyarakat untuk merusak 
            lingkungan yang akan menjadi beban bagi Pemerintah dan masyarakat.

    Ayat (4)
        Cukup jelas
        
    Ayat (5)
        Hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebesar 10% (sepuluh persen) 
        merupakan penerimaan Daerah Tingkat I dan 90% (sembilan puluh persen) merupakan 
        penerimaan Daerah Tingkat II yang dipergunakan untuk pemerataan dan merangsang 
        pembangunan Daerah Tingkat II. 

    Ayat (6)
        Cukup jelas

Pasal 3
    Ayat (1)
        Pasal ini mengatur tentang tarif pajak yang paling tinggi yang dapat dipungut oleh Daerah 
        untuk setiap jenis pajak . Penetapan tarif paling tinggi tersebut bertujuan memberi perlindungan 
        kepada masyarakat dari penetapan tarif yang terlalu membebani, sedangkan tarif paling rendah 
        tidak ditetapkan untuk memberi peluang kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur sendiri 
        besarnya tarif yang sesuai dengan kondisi masyarakat di daerahnya termasuk membebaskan 
        pajak bagi masyarakat yang tidak mampu.

        Huruf a
            Tarif Pajak Kendaraan Bermotor dikenakan atas nilai jual kendaraan bermotor serta 
            faktor-faktor penyesuaian yang mencerminkan biaya ekonomis yang diakibatkan oleh 
            penggunaan kendaraan bermotor, misalnya kerusakan jalan.

        Huruf b
            Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dikenakan atas nilai jual kendaraan 
            bermotor.

        Huruf c
            Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dikenakan atas nilai jual bahan bakar 
            kendaraan bermotor.

        Huruf d
            Tarif Pajak Hotel dan Restoran dikenakan atas jumlah pembayaran yang dilakukan 
            kepada Hotel dan/atau Restoran.

        Huruf e
            Tarif Pajak Hiburan dikenakan atas jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar 
            untuk menonton dan atau menikmati hiburan.

        Huruf f
            Tarif Pajak Reklame dikenakan atas nilai sewa reklame yang didasarkan atas nilai jual 
            objek pajak reklame yang nilai strategis pemasangan reklame.

        Huruf g
            Tarif Pajak Penerangan Jalan dikenakan atas nilai jual tenaga listrik yang terpakai. 

        Huruf h
            Tarif Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C dikenakan atas 
            nilai jual hasil eksploitasi bahan galian golongan C.

        Huruf i
            Tarif Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan dikenakan atas nilai 
            perolehan air yang dimanfaatkan, antara lain berdasarkan jenis, volume, kualitas, dan 
            lokasi sumber air.  

    Ayat (2)
        Penetapan tarif yang seragam untuk jenis-jenis pajak sebagaimana diatur pada ayat ini 
        dimaksudkan agar dalam pelaksanaannya bersifat netral terhadap Wajib Pajak, sehingga dapat 
        dihindarkan praktek pemanfaatan pengenaan tarif pajak yang lebih rendah pada suatu daerah 
        tertentu.

        Contoh :
        Tarif Pajak Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta sama dengan tarif Pajak Kendaraan Bermotor 
        di Jawa Barat seluruh daerah lainnya. Dalam hal demikian Wajib Pajak tidak dapat keuntungan 
        apakah akan mendaftarkan kendaraan bermotor di DKI Jakarta, Jawa Barat atau daerah 
        lainnya. 

    Ayat (3)
        Dengan memperhatikan kondisi masing-masing Daerah Tingkat II, tarif untuk jenis-jenis pajak 
        sebagaimana diatur dalam ayat ini dapat ditetapkan tidak seragam. Hal ini, antara lain dengan 
        mempertimbangkan bahwa tarif yang berbeda untuk jenis-jenis pajak yang diatur dalam ayat 
        ini, tidak akan mempengaruhi pilihan lokasi Wajib Pajak untuk melakukan kegiatan yang 
        dikenakan pajak.

    Ayat (4)
        Cukup jelas.

Pasal 4
    Ayat (1) 
        Cukup jelas

    Ayat (2)
        Cukup jelas

    Ayat (3)
        Cukup jelas

    Ayat (4) 
        Huruf a
            Pemberian  pengurangan,  keringanan  dan  pembebasan pajak dapat diberikan 
            dengan mempertimbangkan, antara lain, kemampuan membayar Wajib Pajak.

        Huruf b
            Cukup jelas.

        Huruf c
            Sesuai kelaziman internasional, Peraturan Daerah dapat memberikan pengurangan, 
            keringanan, dan pembebasan pajak, misalnya bagi korps diplomatik.

Pasal 5
    Ayat (1)
        Pertimbangan Menteri Keuangan diperlukan mengingat bahwa Pajak Daerah merupakan bagian 
        dari sistem perpajakan nasional yang memerlukan pembinaan secara terpadu.

    Ayat (2) 
        Cukup jelas

    Ayat (3)
        Cukup jelas

    Ayat (4)
        Ayat ini memberikan kepastian hukum kepada Pemerintah Daerah untuk menjalankan 
        Peraturan Daerah yang belum mendapat pengesahan Menteri Dalam Negeri dalam batas 
        waktu yang ditetapkan.

    Ayat (5)
        Cukup jelas.

    Ayat (6)
        Peraturan Pemerintah tentang ketentuan lebih lanjut mengenai pengesahan, penolakan untuk 
        pengesahan, permintaan untuk penyempurnaan, dan pembatalan Peraturan Daerah juga perlu 
        untuk memperhatikan dan mengatur prosedur yang diperlukan, khususnya demi kepentingan 
        nasional yang dihadapi.

Pasal 6
    Yang dimaksud dengan tidak dapat diborongkan adalah bahwa seluruh proses kegiatan pemungutan 
    pajak tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga. Namun, dimungkinkan adanya kerjasama dengan 
    pihak ketiga dalam rangka proses pemungutan pajak, antara lain, pencetakan formulir perpajakan, 
    pengiriman surat-surat kepada Wajib Pajak, atau penghimpunan data Objek dan Subjek Pajak. 
    Kegiatan yang tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga adalah kegiatan penghitungan 
    besarnya pajak terutang, pengawasan penyetoran pajak, dan penagihan pajak.

Pasal 7
    Ayat (1)
        Ayat ini mengatur tatacara pengenaan pajak, yaitu ditetapkan oleh Kepala Daerah atau dibayar 
        sendiri oleh Wajib Pajak.

        Cara pertama, pajak dibayar oleh Wajib Pajak setelah terlebih dahulu ditetapkan oleh Kepala 
        Daerah melalui Surat Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan.

        Cara kedua, pajak dibayar sendiri adalah pengenaan pajak yang memberikan kepercayaan 
        kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri 
        pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah.

    Ayat (2)
        Bagi Wajib Pajak yang jumlah pajaknya ditetapkan oleh Kepala Daerah, pembayarannya 
        menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah, atau dokumen lain yang dipersamakan yang 
        ditetapkan oleh Kepala Daerah.

        Yang dimaksud dokumen lain yang dipersamakan antara lain berupa karcis, nota perhitungan.

    Ayat (3)
        Bagi Wajib Pajak yang memenuhi kewajibannya dengan cara membayar sendiri, diwajibkan 
        melaporkan pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah,

        Apabila Wajib Pajak yang diberi kepercayaan menghitung, memperhitungkan, membayar, dan 
        melaporkan sendiri pajak yang terutang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya, 
        dapat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar dan/atau Surat Ketetapan Pajak 
        Daerah Kurang Bayar Tambahan yang menjadi sarana penagihan.

    Ayat (4)
        Cukup jelas.

Pasal 8
    Cukup jelas.

Pasal 9
    Pasal ini mengatur tentang penerbitan surat ketetapan pajak atas pajak yang dibayar sendiri. 
    Penerbitan surat ketetapan pajak ditujukan kepada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh 
    ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan Pajak Daerah atau karena ditemukan data fiskal 
    yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.

    Ayat (1)
        Ketentuan ayat ini memberi kewenangan kepada Kepala Daerah untuk  dapat menerbitkan 
        Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar 
        Tambahan atau  Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil hanya terhadap kasus-kasus tertentu 
        seperti tersebut dalam ayat ini, dengan perkataan lain hanya terhadap Wajib Pajak tertentu 
        yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan/
        atau kewajiban material.

        Contoh :
        1.  Seorang Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak  Daerah pada 
            tahun pajak 1998. Setelah ditegur dalam jangka waktu tertentu juga belum 
            menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, maka dalam jangka waktu paling 
            lama 5 (lima) tahun Kepala Daerah dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah 
            Kurang Bayar atas pajak yang terutang.

        2.  Seorang Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah pada tahun 
            pajak 1988. Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun, ternyata dari hasil 
            pemeriksaan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang disampaikan tidak benar.  Atas 
            pajak yang terutang yang kurang bayar tersebut, Kepala Daerah dapat menerbitkan 
            Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar ditambah dengan sanksi administrasi.

        3.  Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Contoh 2 yang telah diterbitkan Surat 
            Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun 
            sesudah pajak yang terutang ditemukan data baru dan./atau data yang semula belum 
            terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang, maka Kepala 
            Daerah dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan.

        4.  Wajib Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan Kepala Daerah ternyata jumlah pajak 
            yang terutang  sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang 
            dan tidak ada kredit pajak, maka Kepala Daerah dapat menerbitkan Surat Ketetapan 
            Pajak Daerah Nihil.

        Huruf a
            Angka 1) 
                Cukup jelas.

            Angka 2)
                Cukup jelas.

            Angka 3)
                Yang dimaksud dengan penetapan pajak secara jabatan adalah penetapan 
                besarnya pajak terutang yang dilakukan oleh Kepala Daerah atau pejabat 
                yang ditunjuk berdasarkan data yang ada atau keterangan lain yang dimiliki 
                oleh Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk.

        Huruf b 
            Cukup jelas.

        Huruf c
            Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Ayat ini mengatur sanksi terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya 
        yaitu mengenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % ( dua persen ) sebulan dari 
        pajak yang tidak atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat ) 
        bulan atas pajak yang tidak atau terlambat dibayar. Sanksi administrasi berupa bunga dihitung 
        sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Daerah 
        Kurang Bayar.

    Ayat (3)
        Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana dimaksud 
        pada ayat (1) huruf b, yaitu dengan ditemukannya data baru dan/atau data yang semula belum 
        terungkap yang berasal dari hasil pemeriksaan sehingga pajak yang terutang bertambah , 
        maka terhadap Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100 % 
        (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak. Sanksi administrasi ini tidak dikenakan apabila 
        Wajib Pajak melaporkannya sebelum diadakan tindakan pemeriksaan.

    Ayat (4)
        Cukup jelas.

    Ayat (5) 
        Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana dimaksud 
        pada ayat (1) huruf a angka 3), yaitu Wajib Pajak tidak mengisi Surat Pemberitahuan Pajak 
        Daerah yang seharusnya dilakukannya, maka dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan 
        pajak sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak yang terutang. Dalam kasus ini, 
        maka Kepala Daerah menetapkan pajak yang terutang secara jabatan melalui penerbitan Surat 
        Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar. Selain sanksi administrasi berupa  kenaikan sebesar 
        25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak yang terutang juga dikenakan sanksi 
        administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang 
        atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Sanksi 
        administrasi berupa bunga dihitung sejak saat terutangnnya pajak sampai dengan 
        diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar.

Pasal 10
    Ayat (1)
        Surat Tagihan Pajak Daerah diterbitkan baik terhadap Wajib Pajak yang melakukan kewajiban 
        pajak yang dibayar sendiri maupun terhadap Wajib Pajak yang melaksanakan kewajiban pajak 
        yang dipungut. Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan kepada Wajib Pajak yang tidak 
        atau kurang membayar pajak yang terutang, sedangkan sanksi administrasi berupa denda 
        dikenakan karena tidak dipenuhinya ketentuan formal, misalnya, tidak atau terlambat 
        menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Ayat ini mengatur pengenaan bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar pada saat jatuh 
        tempo pembayaran atau terlambat dibayar.

Pasal 11
    Ayat (1)
        Kepala Daerah menentukan jatuh tempo pembayaran atas jenis-jenis pajak, namun tidak 
        melebihi 30 (tiga puluh) hari setelah saat terutangnya pajak. Keterlambatan dalam pembayaran 
        masa tersebut berakibat dikenakannya sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan yang 
        berlaku.

        Contoh :
        Kepala /daerah dapat menentukan jatuh tempo pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor satu 
        hari setelah tanggal berakhirnya Pajak Kendaraan Bermotor atas suatu kendaraan bermotor.

    Ayat (2) 
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

    Ayat (4)
        Cukup jelas.

Pasal 12
    Ayat (1)
        Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Dasar hukum pelaksanaan Surat Paksa didasarkan pada peraturan perundang-undangan 
        perpajakan di bidang penagihan pajak.

Pasal 13
    Ayat (1)
        Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah pajak dalam surat ketetapan pajak dan 
        pemungutan tidak sebagaimana mestinya, maka Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan 
        hanya kepada Kepala Daerah yang menerbitkan surat ketetapan pajak.

        Keberatan yang diajukan adalah terhadap materi atau isi dari ketetapan dengan membuat 
        perhitungan jumlah yang seharusnya dibayar menurut perhitungan Wajib Pajak.

        Satu keberatan harus diajukan terhadap satu jenis pajak dan satu tahun pajak.

        Huruf a
            Cukup jelas.

        Huruf b
            Cukup jelas.

        Huruf c
            Cukup jelas.

        Huruf d
            Cukup jelas.

        Huruf e
            Cukup jelas.

        Huruf f
            Yang dimaksud dengan pihak ketiga adalah orang pribadi/badan yang ditunjuk oleh 
            Kepala Daerah sebagai pemotong/pemungut pajak.

    Ayat (2)
        Alasan-alasan yang jelas disini adalah mengemukakan dengan data atau bukti bahwa jumlah 
        pajak yang terutang atau pajak lebih bayar yang ditetapkan oleh fiskus tidak benar.

    Ayat (3)
        Ayat ini mengharuskan Wajib Pajak membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak, dalam hal 
        Wajib Pajak mengajukan keberatan terhadap pajak-pajak yang ditetapkan secara jabatan. 
        Surat Ketetapan Pajak secara jabatan tersebut diterbitkan karena Wajib Pajak tidak 
        menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah meskipun telah ditegur secara tertulis. 
        Apabila Wajib Pajak tidak membuktikan ketidakbenaran Surat Ketetapan Pajak secara jabatan 
        itu, maka keberatannya ditolak.

    Ayat (4)
        Yang dimaksud dengan keadaan diluar kekuasaannya adalah suatu keadaan yang terjadi diluar 
        kehendak/kekuasaan Wajib Pajak, misalnya, karena Wajib Pajak sakit atau terkena musibah 
        bencana alam.

    Ayat (5)
        Cukup jelas.

    Ayat (6)
        Ketentuan ini perlu dicantumkan dengan maksud agar Wajib Pajak tidak menghindarkan 
        kewajiban untuk membayar pajak yang telah ditetapkan dengan dalih mengajukan keberatan, 
        sehingga dapat dicegah terganggunya penerimaan daerah.

Pasal 14
    Ayat (1)
        ayat ini memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak maupun fiskus dan dalam rangka 
        tertib administrasi, oleh karena itu keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak harus diberi 
        keputusan oleh Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak 
        Surat Keberatan diterima.

    Ayat (2) 
        Cukup jelas.
    
    Ayat (3)
        Cukup jelas.

Pasal 15
    Cukup jelas.

Pasal 16
    Imbalan bunga dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak 
    Daerah Lebih Bayar.

Pasal 17
    Ayat (1)
        Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Huruf a
            Cukup jelas.

        Huruf b
            Kepala Daerah karena jabatannya, dan berlandaskan unsur keadilan dapat 
            mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar, misalnya Wajib 
            Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan 
            formal (memasukkan Surat Keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan 
            material terpenuhi.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

Pasal 18
    Ayat (1)
        Objek retribusi adalah berbagai jenis jasa tertentu yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. 
        Tidak semua jasa yang diberikan oleh Pemerintah Daerah dapat dipungut retribusinya, namun 
        hanya jenis-jenis jasa tertentu yang menurut pertimbangan sosial ekonomi layak untuk 
        dijadikan sebagai objek retribusi. Jasa tertentu tersebut dikelompokkan dalam tiga golongan, 
        yaitu Jasa Umum, Jasa Usaha, dan Perizinan Tertentu.

        Huruf a
            Jasa Umum, antara lain, pelayanan kesehatan dan pelayanan persampahan. Yang 
            tidak termasuk Jasa Umum adalah jasa urusan umum pemerintahan.

        Huruf b
            Jasa Usaha, antara lain, penyewaan aset yang dimiliki/dikuasai oleh Pemerintah  
            Daerah,  penyediaan  empat  penginapan,  usaha  bengkel

            kendaraan, tempat pencucian mobil dan penjualan bibit.

        Huruf c
            Mengingat fungsi perizinan dimaksudkan untuk mengadakan pembinaan, pengaturan, 
            pengendalian, dan pengawasan, maka pada dasarnya pemberian izin oleh Pemerintah 
            Daerah tidak harus dipungut retribusi. Akan tetapi untuk melaksanakan fungsi 
            tersebut, Pemerintah Daerah mungkin masih kekurangan biaya yang tidak selalu 
            dapat dicukupi dari sumber-sumber penerimaan daerah, sehingga terhadap perizinan 
            tertentu masih dipungut retribusi. Perizinan tertentu yang dapat dipungut retribusi, 
            antara lain, Izin Mendirikan Bangunan, Izin Peruntukkan Penggunaan Tanah. 
            Pengajuan izin tertentu oleh Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik 
            Daerah tetap dikenakan retribusi, karena badan-badan tersebut merupakan kekayaan 
            negara atau kekayaan daerah yang telah dipisahkan. Pengajuan izin oleh Pemerintah 
            baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah tidak dikenakan retribusi 
            Perizinan Tertentu.

    Ayat (2)
        Penggolongan jenis retribusi ini dimaksudkan guna menetapkan kebijaksanaan umum tentang 
        prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi yang ditentukan dalam Pasal 21.

    Ayat (3)
        Penetapan jenis-jenis Retribusi Jasa Umum dan Jasa Usaha dengan Peraturan Pemerintah 
        dimaksudkan agar tercipta ketertiban dalam penerapannya, sehingga dapat memberikan 
        kepastian bagi masyarakat dan disesuaikan dengan kebutuhan nyata daerah  yang 
        bersangkutan. Penetapan jenis-jenis Retribusi Perizinan Tertentu dengan Peraturan 
        Pemerintah karena perizinan tersebut walaupun merupakan kewenangan Pemerintah Daerah, 
        tetap memerlukan koordinasi dengan instansi-instansi teknis terkait. Sebagai contoh Izin 
        Mendirikan Bangunan memerlukan koordinasi dengan Departemen Pekerjaan Umum dan 
        Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.

        Dalam menetapkan jenis-jenis retribusi kedalam golongan Retribusi Jasa Umum digunakan 
        kriteria sebagai berikut :

        a.  jasa tersebut termasuk dalam kelompok urusan pemerintahan yang diserahkan kepada 
            daerah dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi;

        b.  selain melayani kepentingan dan kemanfaatan umum, jasa tersebut memberi manfaat 
            khusus bagi orang pribadi atau badan yang diharuskan membayar retribusi, misalnya 
            pelayanan pemungutan dan pembuangan sampah memenuhi kriteria dimaksud, 
            sedangkan pelayanan kebersihan jalan umum tidak memenuhi kriteria   tersebut ;

        c.  dianggap layak apabila jasa tersebut hanya disediakan atau diberikan kepada orang 
            pribadi atau badan yang membayar retribusi, contoh : Pelayanan kesehatan untuk 
            perseorangan adalah layak untuk dikenai retribusi dengan syarat orang yang tidak 
            mampu membayar retribusi diberikan keringanan, sedangkan pelayanan pendidikan 
            dasar tidak layak untuk dikenai retribusi ;

        d.  retribusi atas jasa tersebut tidak bertentangan dengan kebijaksanaan nasional 
            mengenai penyelenggaraan jasa tersebut 

        e.  retribusi tersebut dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta merupakan salah 
            satu sumber pendapatan daerah yang potensial;

        f.  memungkinkan penyediaan jasa tersebut dengan tingkat dan/atau kualitas pelayanan 
            yang memadai.

        Dalam menetapkan jenis-jenis retribusi kedalam golongan Retribusi Jasa Usaha digunakan 
        kriteria sebagai berikut :

        a.  Jasa tersebut adalah jasa yang bersifat komersial yang seyogyanya disediakan oleh 
            sektor swasta tetapi belum memadai, misalnya sarana pasar dan apotik ; atau

        b.  terdapatnya harta yang dimiliki/dikuasai Daerah yang belum dimanfaatkan secara 
            penuh oleh Pemerintah Daerah, misalnya, tanah, bangunan, dan alat-alat berat.

        Dalam menetapkan jenis-jenis retribusi ke dalam Retribusi Perizinan Tertentu digunakan 
        kriteria sebagai berikut :

        a.  perizinan tersebut termasuk  urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah 
            dalam rangka asas desentralisasi:

        b.  perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan umum ;

        c.  perizinan tidak bertentangan atau tumpang tindih dengan perizinan yang 
            diselenggarakan oleh tingkat pemerintahan yang lebih tinggi ;

        d.  biaya yang menjadi beban Daerah dalam penyelenggaraan perizinan tersebut cukup 
            besar sehingga layak dibiayai sebagian atau seluruhnya dari retribusi perizinan.

Pasal 19
    Jasa yang telah dikelola secara khusus oleh suatu Badan Usaha Milik Daerah tidak merupakan objek 
    retribusi, tetapi sebagai penerimaan Badan Usaha Milik Daerah sesuai dengan peraturan perundang-
    undangan yang berlaku.

    Apabila Badan Usaha Milik Daerah memanfaatkan jasa atau perizinan tertentu yang diberikan oleh 
    Pemerintah Daerah, maka Badan Usaha Milik Daerah wajib membayar retribusi.

Pasal 20
    Besarnya retribusi yang harus dibayar oleh orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa yang 
    bersangkutan dihitung dari perkalian antara tingkat penggunaan jasa dan tarif retribusi.

    Huruf a
        Tingkat penggunaan jasa dapat dinyatakan sebagai kuantitas penggunaan jasa sebagai dasar 
        alokasi beban biaya yang dipikul daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan, 
        misalnya berapa kali masuk tempat rekreasi , berapa kali/berapa kali/berapa jam parkir 
        kendaraan.

        Akan tetapi ada pula penggunaan jasa yang tidak dapat dengan mudah diukur. Dalam hal ini 
        tingkat penggunaan jasa mungkin perlu ditaksir berdasarkan rumus. Misalnya mengenai izin 
        bangunan, tingkat penggunaan jasa dapat ditaksir dengan rumus yang didasarkan atas luas 
        tanah, luas lantai bangunan, jumlah tingkat bangunan, dan rencana penggunaan bangunan.

    Huruf b
        Tarif retribusi adalah nilai rupiah atau persentase tertentu yang ditetapkan untuk menghitung 
        besarnya retribusi  yang terutang.

        Tarif dapat ditentukan seragam atau dapat diadakan pembedaan mengenai golongan tarif 
        sesuai dengan prinsip dan sasaran tarif tertentu, misalnya pembedaan retribusi tempat rekreasi 
        antara anak dan dewasa, retribusi parkir antara sepeda motor dan mobil, retribusi pasar antara 
        kios dan los, retribusi sampah antara rumah tangga dan industri. Besarnya tarif dapat 
        dinyatakan dalam rupiah per unit tingkat penggunaan jasa.

Pasal 21
    Huruf a
        Penetapan Tarif Retribusi Jasa Umum pada dasarnya disesuaikan dengan peraturan 
        perundang-undangan yang berlaku mengenai jenis-jenis retribusi yang berhubungan dengan 
        kepentingan nasional. Disamping itu tetap memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan 
        masyarakat.

    Huruf b
        Tarif Retribusi Jasa Usaha ditetapkan oleh Daerah sehingga dapat tercapai keuntungan yang 
        layak, yaitu keuntungan yang dapat dianggap memadai jika jasa yang bersangkutan 
        diselenggarakan oleh swasta.

    Huruf c
        Tarif Retribusi Perizinan Tertentu ditetapkan sedemikian rupa sehingga hasil retribusi dapat 
        menutup sebagian atau sama dengan perkiraan biaya yang diperlukan untuk menyediakan  
        jasa yang bersangkutan. Untuk pemberian izin bangunan, misalnya, dapat diperhitungkan 
        biaya pengecekan dan pengukuran lokasi, biaya pemetaan dan biaya pengawasan.

Pasal 22
    Cukup jelas.

Pasal 23
    Kewenangan Daerah untuk meninjau kembali tarif secara berkala dan jangka waktunya, dimaksudkan 
    untuk mengantisipasi perkembangan perekonomian daerah dari objek retribusi yang bersangkutan.

Pasal 24
    Ayat (1)
        Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Cukup jelas

    Ayat (3)
        Huruf a
            Cukup jelas.

        Huruf b
            Cukup jelas.

        Huruf c
            Cukup jelas

        Huruf d
            Ketentuan dalam huruf d ini ditujukan agar Pemerintah Daerah menyatakan 
            kebijaksanaan yang  dianut dalam menetapkan tarif sehingga kebijaksanaan tersebut 
            dapat diketahui oleh masyarakat. Mengenai jenis-jenis retribusi yang prinsip tarifnya 
            telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, maka Peraturan Daerah yang 
            bersangkutan mencantumkan prinsip tersebut. Terhadap jenis-jenis retribusi lainnya, 
            Peraturan Daerah menyatakan prinsip dan sasaran tarif sesuai dengan kebijaksanaan 
            daerah.

        Huruf e
            Cukup jelas.

        Huruf f
            Cukup Jelas.

        Huruf g
            Ketentuan dalam Huruf g ini termasuk mengatur tentang penentuan pembayaran, 
            tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran.

        Huruf h
            Cukup jelas.

        Huruf i
            Cukup jelas.

        Huruf j
            Cukup Jelas

    Ayat (4)
        Huruf a
            Cukup jelas

        Huruf b
            Dasar pemberian pengurangan dan keringanan dikaitkan dengan kemampuan Wajib 
            Retribusi, sedangkan pembebasan retribusi  dikaitkan dengan fungsi objek retribusi. 
            Misalnya retribusi tempat rekreasi diberikan keringanan untuk orang jompo, cacat, dan 
            anak sekolah. Untuk pembebasan retribusi, misalnya, pelayanan kesehatan bagi 
            korban bencana alam.

        Huruf c
            Cukup jelas

Pasal 25
    Ayat (1)
        Pertimbangan Menteri Keuangan diperlukan mengingat bahwa retribusi merupakan bagian dari 
        sistem fiskal dan moneter yang memerlukan pembinaan secara terpadu.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

    Ayat (4)
        Ayat ini memberikan kepastian hukum kepada Pemerintah Daerah untuk menjalankan 
        Peraturan Daerah yang belum mendapat pengesahan Menteri Dalam Negeri dalam batas waktu 
        yang ditetapkan.

    Ayat (5)
        Cukup jelas.

    Ayat (6)
        Peraturan Pemerintah tentang ketentuan lebih lanjut mengenai pengesahan, penolakan untuk 
        pengesahan, permintaan untuk penyempurnaan, dan pembatalan Peraturan Daerah juga perlu 
        memperhatikan dan mengatur prosedur yang diperlukan, khususnya demi kepentingan 
        nasional yang dihadapi.

Pasal 26
    Yang dimaksud dengan tidak dapat diborongkan adalah bahwa seluruh proses kegiatan pemungutan 
    retribusi tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga. Namun, dalam pengertian ini bukan berarti bahwa 
    Pemerintah Daerah tidak boleh bekerjasama dengan pihak ketiga. Dengan sangat selektif dalam 
    proses pemungutan retribusi, Pemerintah Daerah dapat mengajak bekerjasama badan-badan tertentu 
    yang karena profesionalismenya layak dipercaya untuk ikut melaksanakan sebagian tugas pemungutan 
    jenis retribusi secara lebih efisien. Kegiatan pemungutan retribusi yang tidak dapat dikerjasamakan 
    dengan pihak ketiga adalah kegiatan penghitungan besarnya retribusi terutang, pengawasan 
    penyetoran retribusi, dan penagihan retribusi.

Pasal 27
    Ayat (1)
        Yang dimaksud dengan dokumen lain yang dipersamakan, antara lain, berupa karcis masuk, 
        kupon, kartu langganan.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

Pasal 28
    Ayat (1)
        Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Yang dimaksud keadaan diluar kekuasaannya adalah suatu keadaan yang terjadi diluar 
        kehendak/kekuasaan Wajib Retribusi, misalnya, karena Wajib Retribusi sakit atau terkena 
        musibah bencana alam.

    Ayat (4)
        Cukup jelas.

Pasal 29
    Ayat (1)
        Ayat ini mencerminkan adanya kepastian hukum bagi Wajib Retribusi, bahwa keberatan yang 
        diajukan harus diberi keputusan oleh Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 6 
        ( enam ) bulan sejak Surat Keberatan diterima.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Ayat ini memberi suatu kepastian hukum kepada Wajib Retribusi bahwa dalam jangka waktu 
        paling lama 6 (enam) bulan sejak Surat Keberatan diterima harus sudah ada keputusan.

        Disisi lain bahwa kepada Kepala Daerah diberi semacam "hukuman" apabila tidak 
        menyelesaikan tugasnya dalam batas waktu yang ditentukan.

Pasal 30
    Ayat (1)
        Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Kepala Daerah sebelum memberikan keputusan dalam hal kelebihan pembayaran pajak harus 
        melakukan pemeriksaan terlebih dahulu.

    Ayat (3)
        Kepala Daerah sebelum memberikan keputusan dalam hal kelebihan pembayaran retribusi 
        harus melakukan pemeriksaan terlebih dahulu.

    Ayat (4)
        Cukup jelas.

    Ayat (5)
        Cukup jelas.

    Ayat (6)
        Cukup jelas.

    Ayat (7)
        Besarnya imbalan bunga atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau 
        retribusi dihitung dari batas waktu 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak 
        Daerah Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar sampai dengan saat 
        dilakukannya pembayaran kelebihan.

    Ayat (8)
        Cukup jelas.

Pasal 31
    Ayat (1)
        Saat kedaluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum kapan 
        utang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi.

    Ayat (2)
        Huruf a
            Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa, kedaluwarsa penagihan dihitung 
            sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut.

         Huruf b
            Yang dimaksud dengan pengakuan utang pajak secara langsung adalah Wajib Pajak 
            dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang pajak dan belum 
            melunasinya kepada Pemerintah Daerah.

            Yang dimaksud pengakuan utang secara tidak langsung adalah Wajib Pajak tidak 
            secara nyata-nyata langsung menyatakan bahwa ia mengakui mempunyai utang pajak 
            kepada Pemerintah Daerah.

            Contoh :
            -   Wajib Pajak mengajukan permohonan angsuran/penundaan pembayaran;
            -   Wajib Pajak mengajukan permohonan keberatan.

Pasal 32
    Ayat (1)
        Saat Kedaluwarsa penagihan retribusi ini perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum 
        kapan utang retribusi tersebut tidak dapat ditagih lagi.

    Ayat (2)
        Huruf a
            Dalam hal diterbitkan Surat Teguran, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal 
            penyampaian Surat Teguran tersebut.

        Huruf b
            Yang dimaksud dengan pengakuan utang retribusi secara langsung adalah Wajib 
            Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang retribusi dan 
            belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.

            Yang dimaksud dengan pengakuan utang secara tidak langsung adalah Wajib 
            Retribusi tidak secara nyata-nyata langsung menyatakan bahwa ia mengakui 
            mempunyai utang retribusi kepada Pemerintah Daerah.

            Contoh :
            -   Wajib Retribusi mengajukan permohonan angsuran/penundaan pembayaran;
            -   Wajib Retribusi mengajukan permohonan keberatan.

Pasal 33
    Cukup jelas

Pasal 34
    Ayat (1)
        Yang dimaksud dengan kriteria tertentu adalah Wajib Pajak melakukan usaha berupa, antara 
        lain, jasa, dagang dengan omzet diatas Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) pertahun.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

Pasal 35
    Ayat (1)
        Kepala Daerah dalam rangka pengawasan berwenang melakukan pemeriksaan untuk :
        a.  menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah atau retribusi ;
        b.  tujuan lain dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan 
            daerah dan retribusi.

        Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor atau di tempat Wajib Pajak atau Wajib Retribusi yang 
        lingkup pemeriksaannya dapat meliputi tahun-tahun yang lalu maupun tahun berjalan.

    Ayat (2)
        Apabila Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak dapat memenuhi kewajibannya yang berkaitan 
        dengan pemeriksaan pajak atau retribusi, maka dikenakan penetapan secara jabatan.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

Pasal 36
    Ayat (1)
        Setiap pejabat baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas dibidang perpajakan 
        daerah dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah 
        perpajakan daerah. Masalah kerahasiaan tersebut perlu mendapat perlindungan untuk 
        mencegah disalah gunakannya bahan keterangan Wajib Pajak dalam usaha persaingan 
        dagang atau mengungkapkan keadaan asal usul kekayaan Wajib Pajak yang dapat 
        dikategorikan sebagai rahasia pribadi berdasarkan asas hukum pajak.

    Ayat (2)
        Para ahli dalam ayat ini adalah seperti akuntan, pengacara, dan sebagainya yang ditunjuk 
        oleh Kepala Daerah untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan daerah.

    Ayat (3)
        Untuk kepentingan daerah, misalnya dalam rangka kerjasama dengan instansi lain, keterangan 
        atau bukti tertulis tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu 
        yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.

        Dalam surat izin yang diterbitkan Kepala Daerah harus dicantumkan nama Wajib Pajak, pihak 
        yang ditunjuk , pejabat, ahli atau tenaga ahli.

        Pemberian izin tersebut dilakukan secara terbatas dalam hal-hal yang dipandang perlu oleh 
        Kepala Daerah.

    Ayat (4)
        Untuk melaksanakan pemeriksaan disidang pengadilan dalam rangka pidana atau perdata 
        yang berhubungan dengan masalah perpajakan daerah, demi kepentingan peradilan Kepala 
        Daerah memberikan izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan kepada pejabat pajak, 
        termasuk pejabat pajak yang ditugaskan dalam Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dan para 
        ahli atas permintaan tertulis Hakim Ketua Sidang.

    Ayat (5)
        Cukup jelas.

Pasal 37
    Ayat (1)
        Dengan adanya sanksi pidana, diharapkan timbulnya kesadaran Wajib Pajak untuk memenuhi 
        kewajibannya.

        Yang dimaksud kealpaan berarti tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan 
        kewajibannya sehingga perbuatan tersebut menimbulkan kerugian keuangan daerah.

     Ayat (2)
        Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini yang dilakukan dengan 
        sengaja, dikenakan sanksi yang lebih berat daripada alpa, mengingat pentingnya penerimaan 
        pajak bagi daerah.

Pasal 38
    Ketentuan ini dimaksudkan guna memberikan suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak, Penuntut 
    Umum, dan Hakim.

Pasal 39
    Pengajuan tuntutan ke pengadilan pidana terhadap Wajib Retribusi dilakukan dengan penuh kearifan 
    serta memperhatikan kemampuan Wajib Retribusi dan besarnya retribusi yang terutang yang 
    mengakibatkan kerugian keuangan daerah.

Pasal 40
    Ayat (1)
        Ketentuan ini untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan daerah tidak akan 
        diberitahukan kepada pihak lain, juga agar supaya Wajib Pajak dalam memberikan data dan 
        keterangan kepada pejabat mengenai perpajakan daerah tidak ragu-ragu.

    Ayat (2)
        Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini yang dilakukan dengan 
        sengaja, dikenakan sanksi yang lebih berat.

    Ayat (3)
        Tuntutan pidana pada ayat (1) dan Ayat (2) sesuai sifatnya adalah menyangkut kepentingan 
        pribadi seseorang atau badan selaku Wajib Pajak atau Wajib Retribusi, karena itu dijadikan 
        tindak pidana pengaduan.

    Ayat (4)
        Cukup jelas.

Pasal 41
    Cukup jelas.

Pasal 42
    Ayat (1)
        Penyidik dibidang perpajakan daerah dan retribusi adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu 
        di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh Menteri Kehakiman sesuai dengan 
        peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan 
        daerah dan retribusi dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-undang 
        Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan peraturan pelaksanaannya.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

Pasal 43
    Ayat (1)
        Untuk mencegah kevakuman penerimaan daerah akibat diberlakukannya Undang-undang ini 
        karena Peraturan Daerah yang mengatur pajak atau retribusi berdasarkan Undang-undang ini 
        belum diberlakukan , maka Peraturan Daerah yang lama masih tetap berlaku sampai Peraturan 
        Daerah yang baru diberlakukan.

    Ayat (2) dan Ayat (3)
        Pemberlakuan Peraturan Daerah yang lama tentang pajak dan retribusi sebagaimana dimaksud 
        pada ayat (1) sepanjang yang terkait dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dan Retribusi 
        Perizinan Tertentu yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana 
        dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) hanya berlaku paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-
        undang ini diberlakukan. Peraturan Daerah yang lama tentang Retribusi sepanjang yang terkait 
        dengan Pasal 18 ayat (2) huruf a dan huruf b yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan 
        Pemerintah sebagaimana dimaksud dengan Pasal 18 ayat (3) hanya berlaku paling lama 5 
        (lima) tahun sejak Undang-undang ini diberlakukan walaupun Peraturan Daerah yang baru 
        belum juga diterbitkan dalam jangka waktu tersebut. Hal ini dimaksudkan agar Pemerintah 
        daerah segera menerbitkan Peraturan Daerah yang baru sebagai peraturan pelaksanaan dari 
        Undang-undang ini.

    Ayat (4)
        Ayat ini memberikan kepastian kepada daerah untuk dapat memungut jenis pajak dan retribusi 
        yang dinyatakan tidak berlaku lagi menurut Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya 
        untuk jangka waktu 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-undang ini.

Pasal 44
    Cukup jelas.

Pasal 45
    Cukup jelas.

Pasal 46
    Cukup jelas.



              TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3685
peraturan/0tkbpera/3c59dc048e8850243be8079a5c74d079.txt · Last modified: (external edit)