peraturan:0tkbpera:32bb90e8976aab5298d5da10fe66f21d
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2002
ÂÂÂ
TENTANG
ÂÂÂ
PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 143 TAHUN 2000
TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI
DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2000
ÂÂÂ
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi Wajib Pajak serta dalam rangka
sinkronisasi peraturan perundangan-undangan perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 143 TAHUN 2000 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8
Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 TAHUN 2000;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Ketiga
Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 TAHUN 2000
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3984);
3. Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);
4. Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 18 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3986);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 143 TAHUN 2000 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 TAHUN 2000
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 259, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4061);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 143 TAHUN 2000
TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI
DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2000.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 143 TAHUN 2000 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 TAHUN 2000
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 259, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4061),
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 5 dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Undang-undang PPN adalah Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 TAHUN 2000.
2. Pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah.
3. Piutang adalah piutang dagang yang timbul karena penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
Jasa Kena Pajak.
4. Persediaan Barang Kena Pajak adalah persediaan bahan baku, persediaan bahan pembantu,
persediaan barang dalam proses, persediaan barang setengah jadi, dan/atau persediaan
barang jadi.
5. Dihapus."
2. Ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 4 berbunyi sebagai
berikut:
"Pasal 4
(1) Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai
Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan,
yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung Pajak yang terutang.
(2) Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha
Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah atau atas impor
Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah, Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah yang dikenakan atas penyerahan atau atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah tersebut.
(3) Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha
Kena Pajak selain Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah
atau oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan impor Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah, Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas perolehan atau atas impor Barang Kena
Pajak yang Tergolong Mewah tersebut."
3. Ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 9
(1) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto,
besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dapat dihitung dengan menggunakan norma
penghitungan pengkreditan Pajak Masukan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
(2) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu, dalam menghitung
Pajak yang terutang, dapat memilih menggunakan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak,
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan."
4. Ketentuan Pasal 12 ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (3), sehingga keseluruhan Pasal 12 berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 12
(1) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
dikreditkan dengan Pajak Keluaran di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan tempat selain tempat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, baik atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak
ataupun secara jabatan.
(3) Apabila pada saat pemeriksaan diketahui adanya perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak yang telah dibukukan atau dicatat dalam pembukuan Pengusaha Kena Pajak,
namun Faktur Pajaknya belum atau terlambat diterima sehingga belum dapat dilaporkan dalam
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk Masa Pajak yang bersangkutan,
maka Pajak Masukan yang Faktur Pajaknya belum atau terlambat diterima tersebut dapat
dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa
Pajak yang bersangkutan."
5. Ketentuan Pasal 13 ayat (8) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 13 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 13
(1) Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau
hukumnya berupa barang bergerak, terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan
secara langsung kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli, atau pada
saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan kepada juru kirim atau Pengusaha jasa
angkutan.
(2) Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau
hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk
menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak tersebut, baik secara hukum atau secara
nyata, kepada pihak pembeli.
(3) Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud oleh Pengusaha Kena P
ajak, adalah pada saat yang terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini:
a. saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dinyatakan sebagai piutang
oleh Pengusaha Kena Pajak;
b saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud ditagih oleh Pengusaha
Kena Pajak;
c. saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud diterima pembayarannya,
baik sebagian atau seluruhnya oleh Pengusaha Kena Pajak; atau
d. saat ditandatanganinya kontrak atau perjanjian oleh Pengusaha Kena Pajak, dalam
hal saat sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c tidak diketahui.
(4) Terutangnya Pajak atas penyerahan Jasa Kena Pajak, terjadi pada saat mulai tersedianya
fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya.
(5) Terutangnya Pajak atas impor Barang Kena Pajak, terjadi pada saat Barang Kena Pajak
tersebut dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.
(6) Terutangnya Pajak atas ekspor Barang Kena Pajak, terjadi pada saat Barang Kena Pajak
dikeluarkan dari Daerah Pabean.
(7) Terutangnya Pajak atas aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan
dan/atau persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran
perusahaan terjadi, adalah pada saat terjadi lebih dahulu diantara saat:
a. ditandatanganinya akte pembubaran oleh Notaris;
b. berakhirnya jangka waktu berdirinya perseroan yang ditetapkan dalam Anggaran
Dasar;
c. tanggal penetapan Pengadilan yang menyatakan perseroan dibubarkan; atau
d. diketahuinya bahwa perusahaan tersebut nyata-nyata sudah tidak melakukan
kegiatan usaha atau sudah dibubarkan, berdasarkan hasil pemeriksaan atau
berdasarkan data atau dokumen yang ada.
(8) Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka perubahan bentuk
usaha, penggabungan usaha, pemekaran usaha, atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan
yang diikuti dengan perubahan pihak yang berhak atas Barang Kena Pajak tersebut, terjadi
pada saat yang disepakati atau ditetapkan sesuai hasil Rapat Umum Pemegang Saham yang
tertuang dalam perjanjian perubahan bentuk usaha, penggabungan usaha, pemekaran usaha,
atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan tersebut."
Pasal II
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 2002.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Mei 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 13 Mei 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 49
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2002
ÂÂÂ
TENTANG
ÂÂÂ
PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 143 TAHUN 2000
TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI
DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2000
UMUM
Berdasarkan hasil evaluasi penerapan Undang-undang Perpajakan selama ini, perlu dilakukan pengaturan
kembali terhadap ketentuan perpajakan yang berlaku bagi perusahaan yang melakukan perubahan bentuk
usaha, penggabungan usaha, pemekaran usaha atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan dan Pengusaha
Kena Pajak Pedagang Eceran, mengingat:
a. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 18 TAHUN 2000, sejak tanggal 1 Januari 2001 atas penyerahan aktiva
yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan dalam rangka perubahan bentuk usaha,
penggabungan usaha, pemekaran usaha atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan yang diikuti
dengan perubahan pihak yang berhak atas Barang Kena Pajak tersebut, dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai.
b. Kemudahan administrasi perpajakan seyogyanya hanya diberikan kepada Pengusaha Kena Pajak
Orang Pribadi yang pada umumnya belum mampu untuk menyelenggarakan pembukuan dengan baik.
Untuk mencapai maksud-maksud tersebut, perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 143 TAHUN 2000 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 TAHUN 2000.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas
Angka 2
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Contoh 1:
Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang
Tergolong Mewah menjual Barang Kena Pajak tersebut kepada Pengusaha
Kena Pajak A sebagai berikut:
Harga Jual = Rp 100.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai = Rp 10.000.000,00
Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(misalnya dengan tarif 20%) = Rp 20.000.000,00
---------------------- +
Jumlah yang dibayar oleh Pengusaha
Kena Pajak A = Rp 130.000.000,00
Kemudian Pengusaha Kena Pajak A tersebut menjual Barang Kena Pajak
tersebut kepada Pengusaha Kena Pajak B sebagai berikut:
Harga Beli Pengusaha Kena Pajak A = Rp 100.000.000,00
Pajak Penjualan atas Barang Mewah
yang telah Dibayar = Rp 20.000.000,00
Keuntungan yang diharapkan = Rp 15.000.000,00
---------------------- +
Dasar Pengenaan Pajak = Rp 135.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai
10% x Rp 135.000.000,00 = Rp 13.500.000,00
---------------------- +
Jumlah yang dibayar oleh Pengusaha
Kena Pajak B = Rp 148.500.000,00
Contoh 2:
Pengusaha Kena Pajak C mengimpor Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah sebagai berikut:
Nilai Impor = Rp 200.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai = Rp 20.000.000,00
Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(misalnya dengan tarif 30%) = Rp 60.000.000,00
---------------------- +
Jumlah yang dibayar oleh Pengusaha
Kena Pajak C = Rp 280.000.000,00
Kemudian Pengusaha Kena Pajak C tersebut menjual Barang Kena Pajak
tersebut kepada konsumen sebagai berikut:
Harga Beli Pengusaha Kena Pajak C = Rp 200.000.000,00
Pajak Penjualan atas Barang Mewah
yang telah Dibayar = Rp 60.000.000,00
Keuntungan yang diharapkan = Rp 40.000.000,00
---------------------- +
Dasar Pengenaan Pajak = Rp 300.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai
10% x Rp 300.000.000,00 = Rp 30.000.000,00
---------------------- +
Jumlah yang dibayar oleh konsumen = Rp 330.000.000,00
Angka 3
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Menteri Keuangan dapat menetapkan besarnya Nilai Lain sebagai Dasar
Pengenaan Pajak bagi Pengusaha yang melakukan kegiatan usaha tertentu,
yang mengalami kesulitan dalam menghitung besarnya Pajak Pertambahan
Nilai yang terutang dengan menggunakan mekanisme Pengkreditan Pajak
Keluaran-Pajak Masukan (PK-PM).
Angka 4
Pasal 12
Ayat (1)
Tempat pengkreditan Pajak Masukan adalah di tempat Pengusaha Kena Pajak
dikukuhkan. Faktur Pajak yang menjadi dasar pengkreditan harus memenuhi
ketentuan yang berlaku antara lain alamat Pengusaha Kena Pajak yang
tercantum dalam Faktur Pajak harus sama dengan alamat Pengusaha Kena
Pajak yang tercantum dalam Surat Keputusan Pengukuhan.
Dalam hal pengusaha melakukan impor Barang Kena Pajak dan tempat
melakukan impor berbeda dengan tempat Pengusaha Kena Pajak
dikukuhkan, maka tempat pengkreditan Pajak Masukan atas impor Barang
Kena Pajak adalah di tempat pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak.
Dengan demikian Pengusaha Kena Pajak yang melakukan impor Barang
Kena Pajak tersebut tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
di tempat Barang Kena Pajak tersebut diimpor.
Ayat (2)
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak "A" yang kantor pusatnya di Jakarta dan telah
terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Gambir I memiliki pabrik yang terletak
di kota Solo dan terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak di Solo. PIB dalam
rangka impor Barang Kena Pajak menggunakan NPWP Kantor Pusat di
Jakarta.
Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Pengusaha Kena Pajak di Solo
dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang tercantum dalam dokumen impor
tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas
Angka 5
Pasal 13
Ayat (1)
Saat penyerahan barang bergerak tidak selalu dikaitkan dengan berbagai
syarat penyerahan yang lazim terjadi dalam dunia perdagangan. Pajak
Pertambahan Nilai menganut pendirian bahwa penyerahan barang bergerak
telah terjadi pada saat barang tersebut dikeluarkan dari penguasaan
Pengusaha Kena Pajak (Penjual) dengan maksud langsung atau tidak
langsung untuk diserahkan pada pihak lain. Karena itu pajak terutang pada
saat barang diserahkan kepada pihak kedua atau pembeli atau pada saat
barang diserahkan melalui juru kirim, pengusaha angkutan, perusahaan
angkutan atau pihak ketiga lainnya untuk atau atas nama pihak kedua atau
pembeli.
Ayat (2)
Dalam penentuan atau penyerahan barang tidak bergerak, Pajak
Pertambahan Nilai menganut pendirian bahwa penyerahan hanya dapat
dilakukan bila barang tersebut secara fisik telah ada. Oleh karena itu pajak
terutang pada saat penyerahan barang tidak bergerak itu dilakukan, yaitu
pada saat surat atau akte perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak
atas barang tersebut ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan.
Contoh 1:
Perjanjian jual beli sebuah rumah ditandatangani tanggal 1 Mei 2001.
Perjanjian penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai rumah
tersebut dibuat atau ditandatangani tanggal 1 September 2001.
Saat pajak terutang adalah tanggal 1 September 2001.
Bila sebelum surat atau akte tersebut dibuat atau ditandatangani barang tidak
bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau
penerimanya, maka pajak terutang pada saat barang tersebut secara nyata
diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerima barang.
Contoh 2:
Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 Agustus 2001.
Saat pajak terutang adalah tanggal 1 Agustus 2001. Bila Sebelum surat atau
akte tersebut dibuat atau ditandatangani, barang tidak bergerak telah
diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerimanya, maka
pajak terutang pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau
berada dalam penguasaan pembeli atau penerima barang.
Contoh 3:
Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 Agustus 2001.
Perjanjian jual beli ditandatangani tanggal 1 September 2001. Saat pajak
terutang adalah tanggal 1 Agustus 2001. Penyerahan barang tidak bergerak
yang dilakukan dengan suatu perjanjian akan menyerahkan barang tersebut
dalam masa tertentu tidak dapat digunakan untuk menentukan saat pajak
terutang.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Atas penyerahan jasa pemborong bangunan atau barang tidak bergerak:
Umumnya pekerjaan jasa pemborongan bangunan dan barang tidak bergerak
lainnya diselesaikan dalam suatu masa tertentu.
Dan sebelum jasa pemborongan itu selesai dan siap untuk diserahkan telah
diterima pembayaran di muka sebelum pekerjaan pemborongan dimulai atau
pembayaran atas sebagian penyelesaian pekerjaan jasa sesuai dengan tahap
atau kemajuan penyelesaian pekerjaan. Dalam hal ini sesuai dengan
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-undang
Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 TAHUN 2000, pajak terutang pada
saat pembayaran tersebut diterima oleh Pemborong atau Kontraktor.
Selanjutnya setelah bangunan atau barang tidak bergerak tersebut selesai
dikerjakan, maka jasa pemborongan seluruhnya diserahkan kepada
penerima jasa. Dalam hal ini sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) Undang-undang
Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 TAHUN 2000, pajak terutang pada
saat penyerahan Jasa Kena Pajak itu dilakukan, meskipun pembayaran lunas
jasa pemborongan tersebut belum diterima oleh Pemborong atau Kontraktor.
Contoh:
1. Tanggal 1 April 2001, perjanjian pemborongan ditandatangani dan
diterima uang muka sebesar 20%.
2. Tanggal 1 Mei 2001, pekerjaan selesai 20%, diterima pembayaran
tahap ke-1.
3. Tanggal 1 Juni 2001, pekerjaan selesai 50%, diterima pembayaran
tahap ke-2.
4. Tanggal 20 Juni 2001, pekerjaan selesai 80%, diterima pembayaran
tahap ke-3.
5. Tanggal 25 Agustus 2001, pekerjaan selesai 100%, bangunan atau
barang tidak bergerak diserahkan.
6. Tanggal 1 September 2001, diterima pembayaran tahap akhir (ke-4)
sebesar 95% dari harga borongan.
7. Tanggal 1 Maret 2002, diterima pembayaran pelunasan seluruh jasa
pemborongan.
Pada angka 1 sampai dengan angka 4 pajak terutang pada tanggal
diterimanya pembayaran (tahap), sedang angka 5 sampai dengan angka 7
pajak terutang pada tanggal 25 Agustus 2001 atau saat jasa pemborongan
(bangunan atau barang tak bergerak) selesai dilakukan dan diserahkan
kepada pemiliknya.
Tanggal pembayaran yang tersebut pada angka 6 dan angka 7 tidak perlu
diperhatikan, karena tidak termasuk saat yang menentukan terutangnya
pajak sesuai dengan dasar akrual yang dianut dalam Undang-undang Nomor
8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 TAHUN 2000.
Cara penghitungan sebagaimana tersebut di atas juga berlaku dalam hal
penjualan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dilakukan dengan
pembayaran uang muka, sedangkan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut dilakukan kemudian.
Atas penyerahan Jasa Kena Pajak selain pemborong bangunan, terutangnya
pajak terjadi pada saat :
a. tersedianya barang atau fasilitas untuk dipakai, baik sebagian atau
seluruhnya;
b. dilakukan penagihan pembangunan atau penggantian; atau
c. pembayaran, apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan
Jasa Kena Pajak dilakukan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4199
peraturan/0tkbpera/32bb90e8976aab5298d5da10fe66f21d.txt · Last modified: by 127.0.0.1