peraturan:0tkbpera:23af4b45f1e166141a790d1a3126e77a
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
31 Agustus 1993
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 22/PJ.35/1993
TENTANG
PENEGASAN LEBIH LANJUT SE-08/PJ.35/1993 TENTANG SURAT KETERANGAN BEBAS
DAN SURAT KETERANGAN TARIF PEMOTONGAN PPh PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN KETENTUAN DALAM P3B
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor : SE-08/ PJ.35/1993 tanggal 11 Maret 1993 dimaksudkan
agar Wajib Pajak dalam negeri yang wajib memotong PPh Pasal 26 terhindar dari kesalahan dalam
menerapkan ketentuan-ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan negara "treaty
partner" yang dapat mengakibatkan mereka terpaksa menanggung beban PPh Pasal 26 yang kurang dibayar
beserta sanksi administrasinya.
Selain dari pada itu, melalui prosedur Surat Keterangan Bebas (SKB) dan Surat Keterangan Tarif (SKT) PPh
Pasal 26 tersebut diharapkan dapat menghilangkan penyalahgunaan ketentuan P3B tersebut, dan bagi
administrasi Direktorat Jenderal Pajak sendiri akan lebih mudah untuk memantau penerapan ketentuan P3B
RI dengan suatu negara "treaty partner" oleh orang atau perusahaan yang merupakan penduduk dari negara
"treaty partner" tersebut.
Sehubungan dengan masih banyaknya pertanyaan dan setelah mempertimbangkan masukan-masukan dari
berbagai pihak mengenai pelaksanaan Surat Edaran tersebut, maka dianggap perlu dilakukan penyempurnaan
sebagai berikut :
1. Surat permohonan untuk mendapatkan SKP atau SKT PPh Pasal 26 :
a. Bentuk Surat Permohonan lebih disederhanakan dan dapat dibuat sendiri oleh pemohon
sepanjang tidak mengubah isinya.
Contoh formulir Surat Permohonan yang disederhanakan seperti terlampir. (Lampiran I).
b. Apabila dalam perjanjian dengan Wajib Pajak treaty partner jumlah pembayaran telah
dinyatakan dalam jumlah netto, maka permohonan dapat dilakukan oleh pihak pemotong
pajak tanpa perlu melampirkan Surat Kuasa (power of attorney) dari pihak yang menerima
pembayaran, dengan menggunakan formulir seperti contoh pada lampiran II.
2. Surat Keterangan Domisili.
a. Surat Keterangan Domisili yang asli dari pejabat yang berwenang (competent authority) atau
wakilnya yang sah dari negara "treaty partner" harus dilampirkan dalam surat permohonan.
Dalam hal Surat Keterangan Domisili tersebut digunakan untuk lebih dari 1 (satu) Kantor
Pelayanan Pajak (KPP), maka pemohon dapat melampirkan fotokopi Surat Keterangan yang
telah dilegalisir oleh salah satu Kantor Pelayanan Pajak di mana si pembayar penghasilan/
pemotong pajak terdaftar. Kantor Pelayanan Pajak yang melegalisir surat tersebut memegang
aslinya.
b. Bentuk Surat Keterangan Domisili tergantung kepada bentuk yang lazim di negara treaty
partner masing-masing, namun sekurang-kurangnya harus menyatakan bahwa pemohon
yang bersangkutan adalah berdomisili di negara "treaty partner" sesuai dengan ketentuan
P3B RI dengan negara tersebut disertai tanggal dan tandatangan "competent authority"
atau wakilnya yang sah yang bersangkutan.
c. Surat Keterangan Domisili yang dilampirkan pada Surat Permohonan sebagaimana dimaksud
pada butir 2 b adalah yang belum melampaui jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak
tanggal Surat Keterangan tersebut diterbitkan.
3. Surat Kuasa (Power of Attorney).
a. Dalam hal Surat Kuasa untuk menandatangani permohonan pembebasan/pengurangan tarif
PPh Pasal 26 akan digunakan pada lebih dari 1 (satu) KPP, maka Surat Kuasa dapat berupa
fotokopi.
b. Surat Kuasa asli tersebut pada butir 3a harus bermeterai, dan Surat Kuasa yang dibuat di
luar negeri pada saat digunakan harus telah dilunasi Bea Meterai yang terhutang dengan cara
pemeteraian kemudian oleh Pejabat Pos.
4. Dokumen-dokumen pendukung yang harus dilampirkan pada permohonan disederhanakan sebagai
berikut :
a. Bunga.
Fotokopi "loan agreement" atau dokumen lain yang membuktikan adanya kewajiban dari
penduduk Indonesia untuk membayar bunga kepada pemohon dari negara "treaty partner".
b. Dividen.
Surat keterangan dari pembayar dividen (emiten) yang menjelaskan bahwa pemohon adalah
pemegang saham yang berhak menerima dividen. Dalam satu surat keterangan dapat
meliputi lebih dari satu pemegang saham (berupa daftar).
c. Sewa, royalty dan penghasilan lain karena penggunaan harta.
Fotokopi perjanjian atau dokumen lain yang membuktikan adanya transaksi dan kewajiban
untuk membayar sewa, royalty dan penghasilan lain atas penggunaan harta.
d. Jasa yang dilakukan di Indonesia.
d.1. Oleh perusahaan
i. Fotokopi kontrak perjanjian atau dokumen lain yang membuktikan adanya
kewajiban untuk membayar jasa dari pembayar hasil/pemotong PPh Pasal
26, dan
ii. Surat pernyataan pemohon bahwa mereka tidak mempunyai tempat usaha
tetap (a fixed place) di Indonesia dan dokumen yang membuktikan bahwa
kegiatan jasa tersebut berlangsung di Indonesia tidak melampaui jangka
waktu yang dipersyaratkan (time test) untuk adanya Bentuk Usaha Tetap
(BUT) oleh P3B yang bersangkutan.
d.2. Oleh perseorangan.
d.2.a. Dalam hubungan dengan pekerjaan bebas.
i. Surat pernyataan pemohon bahwa dia tidak mempunyai tempat tetap
(a fixed base) di Indonesia, dan
ii. Dokumen yang membuktikan bahwa pemohon berada di Indonesia
tidak melampaui jangka waktu yang dipersyaratkan (time test)
dalam ketentuan pekerjaan bebas dari P3B yang bersangkutan.
d.2.b. Dalam hubungan kerja sebagai karyawan atau Dependent Personal Services.
Surat pernyataan pemohon yang menyatakan bahwa pemohon berada
di Indonesia tidak melampaui jangka waktu yang dipersyaratkan (time test)
dalam P3B yang bersangkutan, dan gaji atau penghasilan yang diperoleh atau
diterimanya tersebut tidak dibayar atau terutang oleh Wajib Pajak dalam
negeri Indonesia dan tidak menjadi beban suatu BUT di Indonesia.
5. Kepala Kantor Pelayanan Pajak dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya
permohonan harus menerbitkan:
a. SKB PPh Pasal 26 seperti contoh pada lampiran III, atau
b. SKT PPh Pasal 26 seperti contoh pada lampiran IV, atau
c. Surat Penolakan seperti contoh pada lampiran V berikut alasan penolakannya.
6. SKB atau SKT PPh Pasal 26 menjadi dasar bagi pemotong PPh Pasal 26 untuk membebaskan PPh
Pasal 26 sesuai SKB atau memotong PPh Pasal 26 dengan tarif yang tercantum dalam SKT. Pemotong
wajib melampirkan Daftar SKB/SKT PPh Pasal 26 sebagaimana contoh pada lampiran IV pada SPT
Masa PPh Pasal 26 untuk bulan yang bersangkutan.
7. Bagi Pemotong, SKB atau SKT PPh Pasal 26 yang telah diterbitkan dapat berlaku terus sebagai dasar
pemotongan PPh Pasal 26 sepanjang :
a. pembayaran dilakukan kepada orang/badan yang tercantum dalam SKB atau SKT PPh Pasal
26 tersebut, dan
b. orang/badan tersebut masih tetap sebagai Wajib Pajak dalam negeri negara "treaty partner"
yang menerbitkan Surat Keterangan Domisili yang bersangkutan, pada saat penghasilan
dibayarkan atau terutang kepada orang atau badan tersebut, dan
c. berkenaan dengan perjanjian dan transaksi yang tercantum dalam SKB atau SKT PPh Pasal
26 tersebut.
Apabila orang/badan sebagaimana dimaksud dalam butir b tidak lagi sebagai Wajib Pajak dalam
negeri negara treaty partner yang menerbitkan Surat Keterangan Domisili yang bersangkutan,maka
Pemotong Pajak wajib memberitahukan hal tersebut secara tertulis kepada Kantor Pelayanan Pajak
yang menerbitkan SKB atau SKT PPh Pasal 26 tersebut.
8. Penyederhanaan dalam Surat Edaran ini diberlakukan sejak tanggal 11 Maret 1993, sehingga bagi
Pemotong Pajak yang belum memenuhi ketentuan dalam Surat Edaran Nomor : SE-08/PJ.35/1993
tanggal 11 Maret 1993 tersebut dapat mengikuti ketentuan dalam Surat Edaran ini.
Apabila terdapat Pemotong Pajak yang membebaskan atau mengurangi tarif PPh Pasal 26 tanpa
mengikuti prosedur sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Nomor : SE-08/PJ.35/ 1993 dan Surat
Edaran ini, maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak boleh menolak SPT Masa PPh Pasal 26 yang
disampaikan oleh Pemotong Pajak tersebut.
Dalam hal demikian, Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus segera memberitahukan kepada Pemotong
Pajak yang bersangkutan untuk mengajukan Surat Permohonan dan melengkapi dokumen
sebagaimana yang telah ditentukan dalam Surat Edaran ini. Apabila setelah 1 (satu) bulan sejak
tanggal surat pemberitahuan tersebut Pemotong Pajak belum memenuhinya, maka terhadap
Pemotong Pajak tersebut hendaknya segera dilakukan verifikasi kantor atas kebenaran dari
penerapan ketentuan P3B yang dilakukan oleh Pemotong Pajak tersebut.
Apabila dalam penelitian tersebut Pemotong Pajak yang bersangkutan ternyata tidak dapat
melengkapi dokumen-dokumen pendukung sebagaimana yang disyaratkan dalam Surat Edaran ini
sebagai bukti kebenaran dari penerapan ketentuan P3B yang bersangkutan, maka atas jumlah PPh
Pasal 26 yang dibebaskan atau yang dikurangkan tarifnya tersebut ditagih kembali dengan
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a
Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
9. Khusus untuk transaksi pinjaman jangka pendek yaitu pinjaman yang kurang dari 1 (satu) bulan,
pembebasan atau pengurangan tarif PPh Pasal 26 dapat dilakukan oleh Pemotong Pajak tanpa terlebih
dahulu menunggu terbitnya SKB atau SKT PPh Pasal 26 dari Kantor Pelayanan Pajak setempat. Dalam
hal demikian, Pemotong Pajak wajib mengajukan permohonan SKB atau SKT PPh Pasal 26
sebagaimana diatur dalam Surat Edaran ini pada waktu Pemotong Pajak yang bersangkutan
menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 26 untuk bulan yang bersangkutan.
Demikian, agar surat edaran ini disebarluaskan kepada Wajib Pajak di wilayah Kantor Saudara.
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
FUAD BAWAZIER
peraturan/0tkbpera/23af4b45f1e166141a790d1a3126e77a.txt · Last modified: by 127.0.0.1