peraturan:0tkbpera:215a71a12769b056c3c32e7299f1c5ed
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP - 106/PJ.431/1991
TENTANG
BUKU PETUNJUK PEMOTONGAN PENGHASILAN ATAS PEMBAYARAN GAJI, UPAH, HONORARIUM DAN LAIN-LAIN
SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN ATAU JASA PRIBADI TAHUN 1991 DAN SELANJUTNYA
(BUKU PETUNJUK PEMOTONGAN PPh PASAL 21 DAN PASAL 26)
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
bahwa untuk keperluan Pemotong Pajak dalam memenuhi kewajibannya melakukan pemotongan Pajak
Penghasilan atas pembayaran gaji, upah, honorarium dan lain-lain sehubungan dengan pekerjaan atau jasa
pribadi serta sanksi-sanksinya perlu diterbitkan Buku Petunjuk untuk tahun 1991 dan selanjutnya.
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Nomor 49 Tahun 1983, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);
2. Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Nomor 50 Tahun
1983, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263);
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 TAHUN 1985 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Nomor 63 Tahun 1985, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3309);
4. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 948/KMK.04/1983 tentang Tata Cara
Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak;
5. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 1209/KMK.04/1989 tentang besarnya
faktor penyesuaian untuk menentukan Penghasilan Tidak Kena Pajak;
6. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 13/KMK.04/1990 tentang Pelaksanaan
Pemotongan Pajak Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan Atas Penghasilan Pegawai, Karyawan
atau Karyawati harian dan mingguan serta Penghasilan berupa Honorarium yang tidak teratur;
7. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 14/KMK.04/1990 tentang Besarnya Biaya
Untuk Mendapatkan, Menagih dan Memelihara Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan yang dapat
dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
8. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 392/KMK.04/1990 tentang Organisasi-organisasi Internasional
yang pejabat-pejabat Perwakilannya tidak termasuk sebagai Subyek Pajak dari Pajak Penghasilan.
9. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 830/KMK.01/1990 tentang Tambahan Lampiran Keputusan
Menteri Keuangan RI Nomor : 392/KMK.04/1990 tentang Organisasi-organisasi Internasional yang
Pejabat-pejabat Perwakilannya tidak termasuk sebagai Subyek Pajak dari Pajak Penghasilan;
10. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 770/KMK.04/1990 tentang perlakuan Pajak Penghasilan atas
biaya latihan karyawan, pemagangan dan bea siswa.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG BUKU PETUNJUK PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN ATAS
PEMBAYARAN GAJI, UPAH, HONORARIUM, DAN LAIN-LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN ATAU JASA
PRIBADI TAHUN 1991 DAN SELANJUTNYA (BUKU PETUNJUK PEMOTONGAN PPh PASAL 21 DAN PASAL 26
TAHUN 1991 DAN SELANJUTNYA).
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Buku Petunjuk ini yang dimaksud dengan :
a. Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa pribadi yang disingkat PPh Pasal 21 atau
PPh Pasal 26 adalah Pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan atau sebagai
imbalan atas jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 26 Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984;
b. Pemotong pajak PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 ialah setiap orang pribadi atau badan yang
diwajibkan untuk memotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26;
c. Wajib Pajak ialah setiap orang pribadi atau persekutuan orang-orang pribadi yang dikenakan
pemotongan PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26;
d. Pegawai ialah setiap orang pribadi, yang melakukan pekerjaan berdasarkan suatu perjanjian kerja
baik tertulis maupun tidak tertulis, termasuk yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau
badan usaha milik negara dan daerah;
e. Pegawai tetap ialah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang menerima atau memperoleh
gaji dalam jumlah tertentu secara berkala, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan
pengawas yang secara teratur ikut serta melaksanakan kegiatan perusahaan;
f. Pegawai lepas ialah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja dan hanya menerima upah apabila
orang pribadi yang bersangkutan bekerja saja;
g. Pegawai dengan status Wajib Pajak luar negeri ialah orang pribadi atau persekutuan orang-orang
pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau tidak
bertempat tinggal di Indonesia yang memperoleh gaji, honorarium dan atau imbalan lain sehubungan
dengan jasa yang dilakukan di Indonesia;
h. Penerima pensiun ialah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan
untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu;
i. Penerima honorarium ialah orang pribadi atau persekutuan orang pribadi yang memberikan jasa
dengan menerima atau memperoleh imbalan tertentu sesuai dengan jasa tersebut;
j. Penerima upah ialah orang pribadi yang menerima upah baik upah harian, upah borongan, maupun
upah satuan;
k. Upah harian adalah upah yang terhutang atau dibayarkan atas dasar jumlah hari kerja;
l. Upah borongan adalah upah yang terhutang atau dibayarkan atas dasar penyelesaian pekerjaan
tertentu;
m. Upah satuan adalah upah yang terhutang atau dibayarkan atas dasar banyaknya satuan yang
dihasilkan;
n. Penghasilan teratur adalah penghasilan yang dibayarkan secara berkala;
o. Honorarium, adalah imbalan atas jasa yang telah dilakukan;
p. Magang adalah kegiatan untuk memperoleh pengalaman dan atau ketrampilan dan atau keahlian
sehubungan dengan pekerjaaan yang akan dilakukan.
q. Kegiatan adalah keikutsertaan dalam suatu rangkaian tindakan, antara lain : mengikuti rapat, sidang,
seminar, workshop dan pendidikan.
BAB II
PEMOTONG PAJAK DAN WAJIB PAJAK
Pasal 2
(1) Pemotong Pajak PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26, yang selanjutnya disingkat Pemotong Pajak
ialah :
a. pemberi kerja baik orang pribadi maupun badan yang merupakan induk, cabang, perwakilan
atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium dan pembayaran lain dengan nama apapun,
sebagai imbalan atas pekerjaan atau jasa yang dilakukan di Indonesia oleh pegawai atau
orang lain;
b. bendaharawan Pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan tetap dan
pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang
dibebankan kepada Keuangan Negara;
c. badan dana pensiun, PT. Taspen, PT. ASTEK, dan badan penyelenggara ASTEK, yang
membayarkan uang pensiun, uang tebusan pensiun, Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari
Tua (THT);
d. yayasan-yayasan seperti yayasan kesejahteraan, yayasan rumah sakit, yayasan pendidikan,
yayasan kesenian, yayasan olah raga, yayasan kebudayaan, lembaga, kepanitiaan dan
organisasi dalam segala bidang kegiatan dan dalam bentuk apapun sebagai pembayar gaji,
upah, honorarium atau imbalan dengan nama apapun atas jasa dan atau pekerjaan yang
dilakukan di Indonesia oleh orang pribadi atau persekutuan orang-orang pribadi, baik sebagai
Wajib Pajak dalam negeri maupun sebagai Wajib Pajak luar negeri;
e. perusahaan dan badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan
atas jasa yang dilakukan di Indonesia oleh tenaga ahli dan atau persekutuan tenaga ahli
sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan pekerjaan bebas;
f. perusahaan dan badan yang membayarkan imbalan atas jasa dan atau pekerjaan yang
dilakukan di Indonesia oleh orang pribadi atau persekutuan orang-orang pribadi dengan status
Wajib Pajak luar negeri;
g. perusahaan dan badan yang membayarkan honorarium atau imbalan lain kepada peserta
pendidikan, pelatihan dan pemagangan.
(2) Dalam pengertian pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a termasuk juga badan
perwakilan negara asing kecuali perwakilan negara asing yang negaranya memberikan pembebasan
atas kewajiban pemotongan pajak yang sama bagi perwakilan Indonesia di negara asing tersebut, dan
badan atau organisasi internasional selain badan atau organisasi internasional yang dikecualikan
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan serta badan atau organisasi lainnya dengan sifat dan dalam
bentuk apapun;
(3) Perusahaan dan badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e, f dan g termasuk badan usaha
milik negara dan daerah, perusahaan swasta dengan nama dan dalam bentuk apapun, badan
Pemerintah Republik Indonesia, badan perwakilan negara asing, kecuali badan perwakilan negara
asing yang negaranya memberikan pembebasan atas kewajiban pemotongan pajak yang sama bagi
perwakilan Indonesia di negara asing tersebut dan badan organisasi internasional dalam bentuk
apapun kecuali badan atau organisasi internasional yang dikecualikan berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan serta badan dan organisasi lainnya yang sejenis.
Pasal 3
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf c yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dan atau
PPh Pasal 26 berdasarkan Buku Petunjuk ini ialah mereka yang dimaksud dalam Pasal 1 huruf d sampai
dengan huruf j yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa serta
kegiatan lain dari Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Pasal 4
Tidak termasuk dalam pengertian Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ialah :
a. pejabat perwakilan diplomatik, konsuler dan pejabat lain dari negara asing, orang-orang yang
diperbantukan kepada mereka serta bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan
syarat mereka bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak melakukan pekerjaan lain atau
kegiatan usaha serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
b. pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor : 392/KMK.04/1990 dan Nomor : 830/KMK.01/1990 sepanjang mereka bukan warga
negara Indonesia dan tidak melakukan pekerjaan lain atau kegiatan usaha di Indonesia.
BAB III
PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PEMOTONGAN PPh
PASAL 21 DAN ATAU PPh PASAL 26
Pasal 5
(1) Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 adalah :
a. penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur oleh Wajib Pajak berupa gaji, uang
pensiun bulanan, upah, honorarium, termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau
anggota dewan pengawas dari perusahaan, premi bulanan, uang lembur, komisi, gaji
istimewa, uang sokongan, uang ganti rugi, tunjangan isteri dan/atau tunjangan anak,
tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transport, tunjangan
berupa pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, bea siswa, premi asuransi
yang dibayar pemberi kerja dan pembayaran lain sejenis dengan nama apapun;
b. jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya termasuk tunjangan
tahun baru, bonus, premi tahunan dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap
dan yang biasanya diberikan sekali saja atau sekali dalam setahun;
c. upah harian, upah mingguan, upah satuan dan upah borongan;
d. uang tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua, Tunjangan Hari Tua (THT), uang tunggu, uang
pesangon dan pembayaran lain sejenis;
e. honorarium, komisi, uang saku, bea siswa atau pembayaran lain sebagai imbalan atas
pekerjaan atau jasa atau kegiatan yang dilakukan di Indonesia oleh Wajib Pajak dalam negeri
yang terdiri dari :
1. tenaga ahli atau persekutuan tenaga ahli sebagaimana diatur dalam Keputusan
Menteri Keuangan tanggal 10 Mei 1986 Nomor : 356/KMK.04/1986.
2. pemain musik, perkumpulan musik, penyanyi, pelawak, bintang film, sutradara, crew
film, foto model, pemain drama, penari, pemahat, pelukis dan sebagainya;
3. olahragawan;
4. penasehat, pengajar, pelatih, penceramah, dan sebagainya;
5. pengarang, peneliti, penterjemah;
6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk bidang tehnik, komputer dan sistim
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial;
7. kolportir iklan;
8. pengawas, pengelola proyek, anggota dan pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan,
peserta sidang atau rapat dan tenaga lepas lainnya dalam segala bidang kegiatan;
9. mereka yang menemukan langganan atau membawa pesanan;
10. petugas penjaja barang dagangan (salesman, salesgirl);
11. petugas dinas luar asuransi;
12. peserta pendidikan, latihan dan pemagangan.
(2) Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
termasuk pula :
a. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang
diberikan oleh badan perwakilan negara asing, dan badan atau organisasi internasional yang
tidak dikecualikan sebagai pemotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
b. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang
diberikan oleh perusahaan penambangan minyak dan gas bumi dan penambangan lainnya
sehubungan dengan kontrak karya dan kontrak bagi hasil yang masih berlaku, yang
dikenakan pajak berdasarkan ketentuan Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan Undang-undang
PBDR 1970.
c. Kenikmatan berupa perumahan di daerah terpencil berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan
tanggal 31 Desember 1983 Nomor : 960/KMK.04/1983 dan setelah ada Surat Keputusan
penentuan sebagai daerah terpencil dari Direktur Jenderal Pajak berdasarkan permohonan
Pemotong Pajak yang bersangkutan.
d. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang diberikan oleh perusahaan yang :
1. Penghasilannya dihitung berdasarkan norma penghitungan.
2. Penghasilan Kena Pajaknya dihitung berdasarkan perkiraan penghasilan netto.
3. Menikmati masa bebas pajak.
e. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang diberikan oleh yayasan yang penghasilannya semata-mata untuk kepentingan
umum.
(3) Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 adalah imbalan sebagaimana dimaksud ayat
(1) dan ayat (2) dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh oleh orang
pribadi atau persekutuan orang-orang pribadi dengan status Wajib Pajak luar negeri sehubungan
dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan di Indonesia.
Pasal 6
Untuk keperluan penghitungan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26, penghasilan yang diterima atau diperoleh
berupa uang asing dihitung berdasarkan nilai kurs yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan secara berkala.
Pasal 7
(1) Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 adalah :
a. pembayaran dari perusahaan asuransi karena kecelakaan, sakit atau meninggalnya orang
yang tertanggung, dan pembayaran asuransi bea siswa.
b. penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun lain dari pada
yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2).
c. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada Dana Pensiun yang disetujui oleh Menteri Keuangan
dan Penyelenggara Taspen serta Iuran Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua (THT)
kepada Badan Penyelenggara Taspen dan Astek yang dibayar oleh pemberi kerja.
(2) Termasuk dalam pengertian kenikmatan lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b
adalah kenikmatan bebas pajak yaitu bahwa pegawai tidak memikul pajak yang terhutang karena
telah ditanggung oleh pemberi kerja.
BAB IV
PENGURANGAN YANG DIPERBOLEHKAN
Pasal 8
(1) Untuk menentukan besarnya penghasilan netto pegawai tetap, maka pengahasilan bruto dikurangi
dengan :
a. Biaya jabatan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf a, setinggi-tingginya Rp. 540.000,- (lima ratus empat puluh ribu rupiah)
setahun atau Rp. 45.000,- (empat puluh lima ribu rupiah) sebulan;
b. iuran yang terikat pada gaji kepada dana pensiun yang disetujui oleh Menteri Keuangan dan
penyelenggara Taspen serta iuran THT kepada badan penyelenggara Taspen dan Astek yang
dibayar oleh karyawan.
(2) Untuk menentukan besarnya penghasilan netto penerima pensiun maka dari penghasilan bruto berupa
uang pensiun dikurangi biaya pensiun yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara uang
pensiun yang besarnya ditetapkan 5% dari penghasilan bruto berupa uang pensiun setinggi-tingginya
Rp. 180.000,- (seratus delapan puluh ribu rupiah) setahun atau Rp. 15.000,- (lima belas ribu rupiah)
sebulan.
(3) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak dari seorang pegawai penghasilan nettonya
dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang besarnya adalah sebagai berikut :
Setahun Sebulan
----------------------------------------
a. untuk diri pegawai Rp. 1.440.000,- 120.000,-
b. tambahan untuk pegawai yang kawin Rp. 720.000,- 60.000,-
c. tambahan untuk setiap orang Rp. 720.000,- 60.000,-
keluarga sedarah dan semenda
dalam garis lurus, serta anak angkat
yang menjadi tanggungan sepenuhnya,
paling banyak 3 orang
(4) Dalam hal karyawati kawin, PTKP yang dikurangkan adalah hanya untuk dirinya sendiri dan dalam hal
tidak kawin pengurangan PTKP selain untuk dirinya sendiri ditambah dengan PTKP untuk keluarga yang
menjadi tanggungannya sepenuhnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf c.
(5) Bagi karyawati yang menunjukkan keterangan tertulis dari pemerintah daerah setempat (serendah-
rendahnya kecamatan), bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, diberikan
tambahan PTKP sebesar Rp. 720.000,- (tujuh ratus dua puluh ribu rupiah) setahun atau Rp. 60.000,-
(enam puluh ribu rupiah) sebulan dan ditambah PTKP untuk keluarganya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) huruf c.
(6) Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun takwim. Adapun bagi pegawai asing
yang baru datang ke Indonesia dalam bagian tahun takwim besarnya PTKP tersebut berdasarkan
keadaan pada awal bulan dari bagian tahun takwim yang bersangkutan.
(7) Pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini tidak berlaku terhadap penghasilan-
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b.
(8) Pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) Pasal ini tidak berlaku terhadap
penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri. Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 bagi
Wajib Pajak Luar Negeri adalah penghasilan bruto.
Pasal 9
(1) Penghasilan bruto berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, uang saku harian
dan honorarium yang diterima pegawai harian lepas atau tenaga harian lepas lainnya serta pemagang
yang besarnya Rp. 12.000,- (dua belas ribu rupiah) sehari, tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 21.
(2) Dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam satu bulan jumlahnya melebihi
Rp. 120.000,- (seratus dua puluh ribu rupiah) atau dalam hal penghasilan tersebut dibayarkan secara
bulanan, besarnya PTKP yang dapat dikurangkan adalah sesuai dengan jumlah PTKP sebenarnya dari
penerima penghasilan yang bersangkutan dan tidak diterapkan ketentuan ayat (1).
(3) Atas penghasilan yang dibayarkan kepada pegawai tetap yang dihitung berdasarkan atas upah harian,
dilakukan pengurangan PTKP yang sebenarnya sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (3).
(4) Atas penghasilan berupa bea siswa yang dibayarkan kepada calon pegawai, dilakukan pengurangan
PTKP yang sebenarnya sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (3).
BAB V
TARIF DAN PENERAPANNYA
Pasal 10
(1) Tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 diterapkan atas Penghasilan Kena
Pajak dari pegawai tetap dan atas Penghasilan Kena Pajak dari tenaga lepas, pemagang dan calon
pegawai yang menerima Penghasilan seperti tersebut pada Pasal 9 ayat (2) dan (4).
(2) Tarif yang diterapkan terhadap Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diberlakukan juga terhadap Penghasilan Kena Pajak pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota
ABRI, pejabat negara lainnya, dan pegawai Badan Usaha Milik Negara dan Daerah serta terhadap
Penghasilan Kena Pajak penerima pensiun.
Pasal 11
(1) Tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 sebesar 15% (lima belas persen) diterapkan
atas penghasilan bruto yang dibayarkan kepada pegawai harian lepas dan pemagang berupa upah
harian atau mingguan, upah satuan, upah borongan, uang saku harian serta penghasilan berupa
honorarium yang dihitung berdasarkan banyaknya hari yang diperlukan untuk menyelesaikan
pekerjaan atau jasa yang diberikan yang besarnya melampui jumlah Rp. 12.000,- (dua belas ribu
rupiah) sehari.
(2) Untuk mendapatkan jumlah upah harian atau uang saku harian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berlaku ketentuan sebagai berikut :
a. dalam hal berupa upah mingguan atau uang saku mingguan dibagi 6;
b. dalam hal berupa upah satuan, adalah upah atas banyaknya satuan yang dihasilkan dalam
satu hari;
c. dalam hal berupa upah borongan, adalah jumlah upah borongan dibagi dengan banyaknya
hari yang dipakai untuk menyelesaikan pekerjaan dimaksud;
d. dalam hal honorarium kepada Wajib Pajak dalam negeri yang jumlahnya dihitung atas dasar
banyaknya hari yang dipakai, adalah jumlah honorarium dibagi banyaknya hari yang dipakai
untuk memberikan jasa yang dimaksud.
(3) Tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 sebesar 15% (lima belas persen) diterapkan
terhadap perkiraan penghasilan netto berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan tanggal 10 Mei 1986
Nomor : 356/KMK.04/1986 yaitu atas penghasilan berupa honorarium atau pembayaran lain sebagai
imbalan jasa profesi yang dilakukan oleh tenaga ahli atau persekutuan tenaga ahli sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e ke 1. Dalam hal penghasilan tersebut sudah merupakan
jumlah netto, maka langsung diterapkan tarif 15% atas penghasilan netto berupa honorarium atau
pembayaran lain tersebut.
(4) Tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 diterapkan atas penghasilan bruto berupa
honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan atas jasa atau kegiatan yang jumlahnya tidak
dihitung atas dasar banyaknya hari yang diperlukan untuk menyelesaikan jasa yang diberikan
termasuk yang diterima oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf e ke 2 sampai dengan 9.
(5) Tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 diterapkan atas penghasilan bruto berupa
honorarium anggota dewan komisaris/dewan pengawas dari perusahaan yang tidak bekerja
merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama. Dalam hal anggota dewan komisaris/
pengawas dari perusahaan juga bekerja sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama, maka
tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari
seluruh penghasilan, baik berupa gaji, honorarium dan atau imbalan lain, yang diterima atau diperoleh
dari perusahaan/pemberi kerja, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) keputusan ini.
(6) Tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 diterapkan juga atas penghasilan bruto berupa
jasa produksi, tantiem, gratifikasi, serta bonus yang diterima oleh seorang mantan pegawai dari suatu
perusahaan.
(7) Tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 diterapkan atas penghasilan berupa komisi yang
diterima atau diperoleh Petugas Dinas Luar Asuransi, dikenakan pada bulan saat jumlah seluruh
penghasilan melampaui PTKP setahun atas jumlah diatas PTKP dan atas jumlah komisi yang diterima
atau diperoleh pada bulan-bulan selanjutnya.
Dalam hal Petugas Dinas Luar Asuransi tersebut adalah pegawai tetap dari perusahaan asuransi yang
bersangkutan, maka atas seluruh penghasilan yang diperoleh baik berupa gaji maupun komisi
dikenakan PPh Pasal 21 dengan menerapkan Tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984
atas Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).
(8) Tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 diterapkan atas penghasilan berupa komisi
yang diterima atau diperoleh petugas penjaja barang dagangan (salesman, salesgirl), dikenakan pada
bulan saat jumlah seluruh penghasilan melampui PTKP setahun, atas jumlah diatas PTKP dan atas
jumlah komisi yang diterima atau diperoleh pada bulan-bulan selanjutnya.
Dalam hal salesman/salesgirl tersebut adalah pegawai tetap dari perusahaan yang bersangkutan,
maka atas seluruh penghasilan yang diperoleh baik berupa gaji, maupun komisi dikenakan PPh Pasal
21 dengan menerapkan Tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 atas Penghasilan Kena
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat 1.
Pasal 12
(1) Tarif efektif rata-rata diterapkan atas seluruh penghasilan netto, apabila Wajib Pajak dalam suatu
tahun memperoleh penghasilan yang dibayarkan sekaligus berupa uang tebusan pensiun, tabungan
hari tua, tunjangan hari tua, yang dibayarkan oleh badan dana pensiun yang disetujui Menteri
Keuangan, PT. Taspen serta PT. ASTEK atau pesangon yang melebihi jumlah penghasilan netto lainnya
sehubungan dengan pekerjaan yang dihitung untuk masa 12 bulan.
(2) Uang tebusan pensiun, Tabungan Hari Tua, Tunjangan Hari Tua, yang diterima atau diperoleh sekaligus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sebagai penghasilan untuk 10 (sepuluh) Tahun.
Pasal 13
(1) Tarif efektif rata-rata sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 ayat (1) diperoleh dengan cara
menerapkan tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 atas Penghasilan Kena Pajak yang
dihitung berdasarkan suatu jumlah penghasilan netto yang terdiri dari penghasilan netto lainnya
sehubungan dengan pekerjaan dalam tahun pajak terjadinya pembayaran ditambah dengan
sepersepuluh penghasilan berupa uang tebusan pensiun, Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua
yang dibayarkan sekaligus itu, dan hasilnya dibagi dengan jumlah penghasilan netto tersebut,
dikalikan 100% (seratus persen).
(2) Tarif efektif rata-rata atas penghasilan berupa uang pesangon yang jumlahnya melebihi jumlah
penghasilan netto lainnya sehubungan dengan pekerjaan untuk masa 12 bulan, diperoleh dengan cara
menerapkan tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 atas Penghasilan Kena Pajak yang
dihitung berdasarkan suatu jumlah penghasilan netto yang terdiri dari penghasilan netto lainnya
sehubungan dengan pekerjaan dalam tahun pajak terjadinya pembayaran ditambah dengan bagian
jumlah uang pesangon itu untuk masa 12 bulan, hasilnya dibagi dengan jumlah penghasilan netto
tersebut, dikalikan 100% (seratus persen).
(3) Besarnya penghasilan netto sehubungan dengan pekerjaan dalam Tahun Takwin berakhirnya masa
kerja atau dimulainya masa pensiun seorang pegawai demikian juga besarnya PTKP harus
diberitahukan oleh pemberi kerja kepada badan dana pensiun, badan penyelenggara Astek dan
Taspen yaitu untuk menghitung besarnya PPh atas uang tebusan pensiun, Tabungan Hari Tua atau
Tunjangan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus dan yang harus dipotong oleh badan dana pensiun,
atau badan penyelenggara Astek dan Taspen. Tindasan surat tersebut disampaikan kepada pegawai
yang bersangkutan.
(4) Tarif efektif rata-rata sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dihitung sampai dengan dua
angka dibelakang koma.
Apabila angka ke tiga dibelakang koma kurang dari lima, angka itu dihilangkan, sedangkan apabila
lima atau lebih dibulatkan ke atas.
Pasal 14
Tarip PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat final diterapkan terhadap penghasilan bruto
yang diterima atau diperoleh sebagai imbalan atas jasa dan atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia oleh
orang pribadi atau persekutuan orang-orang pribadi dengan status Wajib Pajak luar negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3).
Pasal 15
PPh Pasal 21 terhutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terhutangnya
penghasilan yang bersangkutan.
Pasal 16
(1) Untuk Keperluan penerapan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 12, serta Pasal 13,
Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah hingga ribuan rupiah penuh.
(2) Cara penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 dimuat dalam lampiran keputusan ini.
BAB VI
KEWAJIBAN DAN HAK PEMOTONG PAJAK
PPh PASAL 21 DAN PASAL 26
Pasal 17
(1) Setiap Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib mendaftarkan diri ke Kantor
Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga bagi badan perwakilan negara asing,
kecuali badan perwakilan asing yang negaranya memberikan pembebasan atas kewajiban
pemotongan pajak yang sama bagi perwakilan Indonesia di negara asing tersebut, badan atau
organisasi internasional kecuali badan atau organisasi internasional yang dikecualikan berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan yang mempunyai pegawai Warga Negara Indonesia.
(3) Pemotong Pajak harus mengambil sendiri formulir-formulir yang diperlukan dalam rangka pemenuhan
kewajibannya pada Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.
Pasal 18
(1) Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong dan menyetor PPh Pasal 21/Pasal 26 yang terhutang
untuk setiap Bulan Takwim.
(2) Penyetoran pajak harus dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Kantor Pos
dan Giro atau Bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, selambat-lambatnya pada tanggal 10 Bulan
Takwim berikutnya.
(3) Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran tersebut dalam ayat (2) sekalipun nihil dengan
menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan
Pajak setempat, selambat-lambatnya pada tanggal 20 Bulan Takwim berikutnya.
(4) Pemotong Pajak diharuskan memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26 kepada
orang pribadi dan persekutuan orang-orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap yang dikenakan
pemotongan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26 baik diminta maupun tidak, termasuk kepada penerima
uang tebusan pensiun dan THT.
(5) Pemotong Pajak memberikan lembar ke-3 dari Formulir 1721-A1 kepada pegawai tetap (termasuk
penerima pensiun bulanan) sebagai bukti Pemotongan PPh Pasal 21.
Pasal 19
(1) Dalam waktu tiga bulan setelah tahun takwim berakhir, Pemotong Pajak berkewajiban menghitung
kembali jumlah PPh Pasal 21 yang terhutang oleh pegawai tetap dan penerima pensiun bulanan
menurut tarif tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-undang PPh 1984.
(2) Jumlah penghasilan yang menjadi dasar penghitungan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) didasarkan pada kewajiban pajak subyektif yang melekat pada pegawai tetap yang
bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) Undang-undang PPh 1984, dan
penghitungannya adalah sebagai berikut :
a. Dalam hal pegawai tetap adalah Wajib Pajak dalam negeri dan mulai atau berhenti bekerja
dalam tahun berjalan, penghitungan PPh Pasal 21 didasarkan pada jumlah penghasilan yang
sebenarnya diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak yang bersangkutan (tidak
disetahunkan).
b. Dalam hal pegawai tetap yang bersangkutan adalah pegawai Wajib Pajak dalam negeri yang
merupakan pendatang dari luar negeri (expatriate), dan mulai bekerja di Indonesia dalam
tahun berjalan, penghitungan PPh Pasal 21 didasarkan pada jumlah penghasilan yang
sebenarnya diterima atau diperolehnya untuk masa 12 (dua belas) bulan (disetahunkan).
(3) Dalam hal pegawai tetap berhenti bekerja sebelum tahun takwim berakhir karena meninggal dunia
atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya maka pada akhir bulan berhentinya pegawai
tersebut Pemotong Pajak berkewajiban untuk menghitung kembali PPh Pasal 21 yang terhutang
dengan menerapkan Tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 atas jumlah penghasilan
yang sebenarnya diterima atau diperolehnya yang disetahunkan.
(4) Jika jumlah Pajak yang terhutang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih besar dari jumlah pajak
yang telah dipotong, selisihnya dipotong dari pembayaran gaji untuk bulan pada waktu dilakukannya
penghitungan kembali dan harus disetorkan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21
disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak.
(5) Jika jumlah pajak terhutang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah dari jumlah pajak
yang telah dipotong, selisihnya dikurangkan dari pajak yang terutang atas gaji untuk bulan pada
waktu dilakukan penghitungan kembali.
(6) Jika selisih sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) melebihi jumlah pajak yang terutang atas gaji untuk
bulan pada waktu dilakukan penghitungan kembali, kelebihannya dikembalikan kepada pegawai yang
bersangkutan.
(7) Jumlah pengembalian atas kelebihan pemotongan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), harus
dilaporkan oleh Pemotong Pajak dengan cara melampirkan lembar ke-3 Bukti Pengembalian dimaksud
pada Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 yang bersangkutan.
Pasal 20
(1) Setiap Pemotong Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21, menanda tangani
dan menyampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak tempat Pemotong Pajak
terdaftar.
(2) Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus disampaikan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret
setelah akhir tahun Takwim.
(3) Pemotong Pajak dapat mengajukan permohonan untuk memperpanjang jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2).
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diajukan secara tertulis selambat-lambatnya
tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya disertai Surat pernyataan mengenai penghitungan
sementara PPh Pasal 21 yang terhutang untuk tahun takwim yang bersangkutan dan bukti pelunasan
kekurangan pembayaran PPh Pasal 21 yang terhutang dengan menggunakan formulir 1721-Y.
(5) Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus dilampiri Daftar Nominatif (Formulir 1721-A) dan
Daftar Penghasilan pegawai tetap, penerima pensiun dan anggota dewan komisaris atau anggota
dewan pengawas dengan status pegawai tetap (Formulir 1721-A1) bagi pegawai yang penghasilan
nettonya diatas PTKP dan Daftar Pegawai harian lepas, penerima honorarium dan pegawai wajib Pajak
Luar Negeri (Formulir 1721-B).
(6) Dalam pengisian 1721-A1) apabila terdapat pegawai berkebangsaan asing, maka harus dilampirkan
dengan foto copy surat izin kerja yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal atau
Departemen Tenaga Kerja.
(7) Dalam hal penghitungan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4) dan (5)
mengakibatkan SPT Tahunan PPh Pasal 21 menjadi lebih bayar, maka kelebihan tersebut
diperhitungkan dengan jumlah setoran PPh Pasal 21 untuk bulan pada waktu dilakukannya
penghitungan tahunan tersebut dan untuk bulan-bulan berikutnya.
(8) Dalam hal Pemotong Pajak adalah Badan, Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus
ditandatangani oleh Pengurus atau Direksi.
(9) Dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 ditanda tangani dan diisi oleh orang lain selain
di maksud dalam ayat (1), harus dilampiri Surat Kuasa Khusus.
BAB VII
KEWAJIBAN DAN HAK WAJIB PAJAK YANG DIKENAKAN
PEMOTONGAN PPh PASAL 21
Pasal 21
(1) Pada saat seseorang mulai bekerja atau mulai pensiun, untuk mendapatkan pengurangan Penghasilan
Tidak Kena Pajak, Wajib Pajak harus menyerahkan surat pernyataan kepada Pemotong Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada
permulaan Tahun Takwim atau pada permulaan menjadi Subyek Pajak dalam negeri.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga harus dilaksanakan dalam hal ada perubahan
jumlah tanggungan keluarga menurut keadaan pada permulaan Tahun Takwim.
Pasal 22
Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong atau ditanggung oleh pemotong pajak, merupakan kredit pajak bagi Wajib
Pajak yang dikenakan pemotongan, untuk tahun Pajak yang bersangkutan.
BAB VIII
KEBERATAN DAN BANDING
Pasal 23
Wajib Pajak atau Pemotong pajak dapat mengajukan Surat Keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak dan
banding kepada badan peradilan pajak sesuai ketentuan Pasal 25, 26, dan 27 Undang-undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Hal-hal yang belum diatur dalam keputusan ini diatur lebih lanjut oleh Direktur Pajak Penghasilan.
Pasal 25
(1) Keputusan ini dinamakan "Buku Petunjuk Pemotongan Pajak Penghasilan atas Pembayaran gaji, upah,
honorarium dan lain-lain sehubungan dengan pekerjaan atau jasa pribadi tahun 1991 dan selanjutnya".
(2) Keputusan ini mulai berlaku sejak tahun pajak 1991.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Maret 1991
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
Drs. MAR'IE MUHAMMAD
peraturan/0tkbpera/215a71a12769b056c3c32e7299f1c5ed.txt · Last modified: by 127.0.0.1