peraturan:0tkbpera:07f75d9144912970de5a09f5a305e10c
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
5 Januari 2000
SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S - 004/PJ.311/2000
TENTANG
SKB PPN DAN PPN BM
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sehubungan dengan surat Saudara tanggal 11 Nopember 1999 perihal sebagaimana tersebut di atas
dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :
1. Dalam surat tersebut, Saudara menjelaskan bahwa perusahaan Saudara adalah perusahaan jasa
angkutan udara dalam negeri yang mempunyai lisensi jasa untuk mengangkut baik orang maupun
barang di daerah Sumatera dan Kalimantan. Menurut rencana dalam anggaran tahun 2000
mendatang perusahaan Saudara akan membeli pesawat udara untuk angkutan dalam negeri jenis
Foker berkapasitas penumpang 50 orang dengan cara pembelian second/bekas pakai (impor).
Sehubungan hal tersebut Saudara menanyakan :
- Atas impor Barang Kena Pajak, apakah dikenakan pungutan Bea Masuk ?
- Mengenai SKB PPN dan PPn BM, bagaimana cara pengurusannya ?
2. Pajak Penghasilan (PPh)
2.1 Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 Tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994
diatur, Menteri Keuangan dapat menetapkan bendaharawan pemerintah untuk memungut
pajak sehubungan dengan pembayaran atas barang, dan badan-badan tertentu untuk
memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan dibidang impor atau kegiatan
usaha dibidang lain.
2.2 Sesuai Pasal 3 ayat 1 huruf b Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 450/KMK.04/1997 tanggal
26 Agustus 1997 tentang Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan
Besarnya Pungutan Serta Tatacara Penyetoran dan Pelaporannya sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 444/KMK.04/1999 tanggal 7 September
1999, terhadap impor pesawat udara untuk angkutan dalam negeri tidak termasuk yang
dikecualikan dari pembebasan PPh Pasal 22 impor.
2.3 Berdasarkan uraian tersebut di atas dengan ini ditegaskan bahwa atas rencana pembelian
pesawat udara untuk angkutan udara dalam negeri sebagaimana dimaksud pada butir 1 di
atas tidak dapat dibebaskan dari pungutan PPh Pasal 22 sehingga PT XYZ wajib membayar
PPh Pasal 22 apabila rencana untuk melakukan pembelian pesawat udara tersebut terlaksana.
Namun demikian PT XYZ berhak mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan
dan/atau pemungutan pajak oleh pihak lain sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 TAHUN 1994 tentang Penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan jo Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-21/PJ.4/1995 tanggal 26 April 1995 tentang Surat
Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan/Pemungutan PPh.
3. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
3.1 Berdasarkan Pasal 22 ayat (3) huruf i Peraturan Pemerintah Nomor 50 TAHUN 1994
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 TAHUN 1999,
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor dikenakan PPn BM
dengan tarif 35 % adalah pesawat udara kecuali yang dipergunakan untuk keperluan negara
dan angkutan umum.
3.2 Sesuai Lampiran III huruf i.3. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor :
644/KMK.04/1994, tanggal 29 Desember 1994, atas impor dan penyerahan pesawat terbang
dikenakan PPn BM, kecuali untuk keperluan negara dan angkutan umum.
3.3 Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 329/KMK.04/1999
tanggal 18 Juni 1999, tentang Penetapan Kapal, Pesawat Udara, Kereta Api, serta Suku
Cadang dan Peralatan Untuk Perbaikan/Pemeliharaannya sebagai Barang Kena Pajak yang
Bersifat Strategis untuk Pembangunan Nasional ditegaskan sebagai berikut :
a. Pasal 1 butir 4, Perusahaan Angkutan Udara Niaga adalah badan hukum Indonesia
yang menyelenggarakan usaha angkutan udara untuk umum dengan memungut
pembayaran dan telah memiliki ijin usaha dari Departemen Perhubungan.
b. Pasal 1 butir 6e, Barang Kena Pajak tertentu adalah pesawat udara yang digunakan
Perusahaan Angkutan Udara Niaga.
c. Pasal 3 ayat (1), atas impor Barang Kena Pajak tertentu oleh Perusahaan Angkutan
Udara Niaga, Pajak Pertambahan Nilai ditanggung Pemerintah.
3.4 Sesuai butir 5.1 huruf a Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-15/PJ.5/1999
tanggal 30 Agustus 1999 ditegaskan bahwa permohonan untuk memperoleh Surat Keterangan
PPN ditanggung Pemerintah atas impor Barang Kena Pajak tertentu dilampiri dokumen impor
berupa Letter of Credit (L/C), invoice, Bill of Lading (B/L), atau Airway Bill dan dokumen
kontrak yang bersangkutan.
3.5 Berdasarkan ketentuan tersebut pada butir 3.1 sampai dengan 3.4, serta memperhatikan isi
surat Saudara pada butir 1 di atas, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut :
a. Atas impor pesawat terbang jenis Fokker dengan cara pembelian bekas pakai, PPN
terutang ditanggung oleh Pemerintah sepanjang PT XYZ menyelenggarakan usaha
angkutan udara untuk umum dan memiliki ijin usaha dari Departemen Perhubungan.
b. Permohonan untuk memperoleh Surat Keterangan PPN Ditanggung oleh Pemerintah
atas impor Barang Kena Pajak tertentu diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q.
Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dimana PKP dikukuhkan dengan dilampiri
dokumen impor berupa Letter of Credit (L/C), invoice, Bill of Lading (B/L), atau
Airway Bill dan dokumen kontrak yang bersangkutan.
c. Mengingat pesawat terbang tersebut akan digunakan sebagai angkutan umum, maka
atas impor pesawat jenis Fokker dengan cara pembelian bekas pakai tidak dikenakan
PPn BM.
d. Atas permasalahan pengenaan Bea Masuk terhadap impor pesawat terbang tersebut,
disarankan agar menanyakan lebih lanjut kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Demikian agar maklum.
DIREKTUR
ttd
IGN. MAYUN WINANGUN
peraturan/0tkbpera/07f75d9144912970de5a09f5a305e10c.txt · Last modified: by 127.0.0.1