peraturan:0tkbpera:03b0db8c971432a5e8d163897176a7cc
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
Bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 8 Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 561/KMK.03/2004
tanggal 25 November 2004 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, perlu
menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan,
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3688) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130; Tambahan Lembaran Negara Repubilk
Indonesia Nomor 3988);
2. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 53; Tambahan Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor
4389);
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 561/KMK.03/2004 tanggal 25 November 2004 tentang
Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PENGURANGAN BEA
PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
Pasal 1
Atas permohonan Wajib Pajak, dapat diberikan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
dalam hal :
a. Kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan Obyek Pajak yaitu:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak baru melalui program pemerintah di bidang
pertanahan dan tidak mempunyai kemampuan secara ekonomis;
2. Wajib Pajak badan yang memperoleh hak baru selain Hak Pengelolaan dan telah menguasai
tanah dan atau bangunan secara fisik lebih dari 20 (dua puluh) tahun yang dibuktikan dengan
surat pernyataan Wajib Pajak dan keterangan dari Pejabat Pemerintah Daerah setempat;
3. Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan Rumah
Sederhana (RS), dan Rumah Susun Sederhana serta Rumah Sangat Sederhana (RSS) yang
diperoleh langsung dari pengembang dan dibayar secara angsuran;
4. Wajib Pajak orang pribadi yang menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah.
b. Kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu yaitu:
1. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi pemerintah
yang nilai ganti ruginya di bawah Nilai Jual Objek Pajak;
2. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah yang dibebaskan
oleh pemerintah untuk kepentingan umum;
3. Wajib Pajak Badan yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas
pada kehidupan perekonomian nasional sehingga Wajib Pajak harus melakukan restrukturisasi
usaha dan atau utang usaha sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah;
4. Wajib Pajak Bank Mandiri yang memperoleh hak atas tanah yang berasal dari Bank Bumi
Daya, Bank Dagang Negara, Bank Pembangunan Indonesia, dan Bank Ekspor Impor dalam
rangkaian proses penggabungan usaha (merger);
5. Wajib Pajak Badan yang melakukan Penggabungan Usaha (merger) atau Peleburan Usaha
(konsolidasi) dengan atau tanpa terlebih dahulu mengadakan likuidasi dan telah memperoleh
keputusan persetujuan penggunaan Nilai Buku dalam rangka penggabungan atau peleburan
usaha dari Direktur Jenderal Pajak;
6. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak berfungsi lagi
seperti semula disebabkan bencana alam atau sebab-sebab lainnya seperti kebakaran, banjir,
tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, dan huru-hara yang terjadi dalam jangka waktu
paling lama 3 (tiga) bulan sejak penandatanganan akta;
7. Wajib Pajak orang pribadi Veteran, Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia
(TNI), Polisi Republik Indonesia (POLRI), Pensiunan PNS, Purnawirawan TNI, Purnawirawan
POLRI atau janda/duda-nya yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan rumah dinas
Pemerintah;
8. Wajib Pajak Badan Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) yang memperoleh hak atas
tanah dan atau bangunan dalam rangka pengadaan perumahan bagi anggota KORPRI/PNS;
9. Wajib Pajak Badan anak perusahaan dari perusahaan asuransi dan reasuransi yang memperoleh
hak atas tanah dan atau bangunan yang berasal dari perusahaan induknya selaku pemegang
saham tunggal sebagai kelanjutan dari pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan tentang
Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
c. Tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang sematamata tidak
untuk mencari keuntungan antara lain untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, sekolah
yang tidak ditujukan mencari keuntungan, rumah sakit swasta milik Institusi Pelayanan Sosial
Masyarakat
Pasal 2
(1) Besarnya pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan sebagai berikut :
a. sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pajak yang terutang untuk Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 3;
b. sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang terutang untuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 huruf a angka 2 dan angka 4, huruf b angka 1, angka 2, angka 5, angka 6, dan angka
9 serta huruf c;
c. sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari pajak yang terutang untuk Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 1; huruf b angka 3 dan angka 7;
d. sebesar 100% (seratus persen) dari pajak yang terutang untuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 huruf b angka 4, dan angka 8
(2) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) Kepala Kantor Pelayanan
Pajak Bumi dan Bangunan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Direktur Jenderal
Pajak menetapkan besarnya pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 3
(1) Wajib Pajak dapat menghitung sendiri besarnya pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
sebelum melakukan pembayaran dan membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang
sebesar perhitungan setelah pengurangan.
(2) Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas wajib mengajukan permohonan pengurangan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(4) dan ayat (5).
(3) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (SSB) dan surat permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dengan
menyampaikan pernyataan tertulis sepanjang tidak melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) dan (5) kecuali terjadi keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak,
(4) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri SSB dan surat permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, maka kepadanya
dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas selisih jumlah pajak yang
kurang dibayar, dihitung sejak tanggal SSB sebelum pembetulan sampai dengan tanggal pembayaran karena
pembetulan
(5) Apabila setelah dilakukan pemeriksaan ternyata jumlah pajak yang seharusnya dibayar lebih besar dan
jumlah menurut perhitungan Wajib Pajak dalam SSB, maka terhadap jumlah yang kurang dibayar tersebut
diterbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB)
ditambah saksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama
24 (dua puluh empat) bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkan SKBKB.
(6) Terhadap pajak yang kurang dibayar dalam SKBKB sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), tidak dapat
diajukan pengurangan kembali.
Pasal 4
(1) Apabila Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat(2) dan berdasarkan keterangan lain diketahui bahwa pajak terutang tidak atau kurang dibayar, maka
atas kekurangan pajak terutang tersebut diterbitkan SKBKB.
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan permohonan
pengurangan kecuali masih memenuhi jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (4) dan (5).
Pasal 5
(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atas nama Menteri Keuangan berwenang memberikan
Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 huruf a, dan huruf b angka 1, angka 2, angka 6, angka 7, angka 8, dan angka 9, serta huruf c
dalam hal pajak yang terutang paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
(2) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan berwenang memberikan
Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 huruf a, dan huruf b angka 1, angka 2, angka 6, angka 7, angka 8, dan angka 9, serta huruf c
dalam hal pajak yang terutang lebih dari Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) sampai
dengan Rp 5.000.000.000,00 (lima milliar rupiah).
(3) Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan berwenang memberikan Keputusan Pemberian
Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan selain dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 6
(1) Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan atau
bangunan atau dapat mengajukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam hal sebagaimana dimaksud dalam
pasal 1 huruf b angka 3, angka 4, dan angka 5.
(2) Dalam hal kewenangan memberikan Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan berada pada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan meneruskan permohonan
pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak atasannya dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya
surat permohonan.
(3) Dalam hal kewenangan memberikan Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan berada pada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), Kepala
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan meneruskan permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas)
hari sejak tanggal diterimanya surat permohonan.
(4) Permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) kecuali dalam hal pasal 1 huruf a angka 2 dan pasal 1 huruf b angka 3, angka 4 dan angka 5, diajukan
secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan yang jelas dalam jangka waktu paling lama 3
(tiga) bulan sejak saat terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
(5) Permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam hal
pasal 1 huruf a angka 2 dan pasal 1 huruf b angka 3, angka dan angka 5 diajukan secara tertulis dalam
bahasa Indonesia dengan disertai alasan yang jelas dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak saat
pembayaran sebesar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang setelah pengurangan
sebagaimana ditetapkan dalam pasal 2.
(6) Permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan selain dimaksud dalam pasal 1
huruf b angka 3, angka 4 dan angka 5 diajukan dengan melampirkan :
a. Fotokopi lembar 1 SSB;
b. Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) PBB untuk tahun terutangnya BPHTB;
c. Fotokopi Akta/Risalah Lelang/Keputusan Pemberian Hak Baru/Putusan Hakim/Sertifikat Hak atas
Tanah atau hak milik atas Satuan Rumah Susun/Dokumen lain;
d. Fotokopi KTP/SIM/Paspor/Kartu Keluarga/Identitas lain;
e. Surat Keterangan Lurah/Kepala Desa/Keterangan lainnya yang terkait.
(7) Permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 1 huruf b angka 3 dan angka 4 diajukan dengan melampirkan:
a. Fotokopi Lembar I SSB;
b. Fotokopi akta penggabungan usaha/Akta PPAT untuk penggabungan usaha yang didahului dengan
mengadakan Likuidasi/Keputusan BPPN atau bukti bahwa telah disetujui oleh pemerintah untuk
restrukturisasi usaha dan atau utang usaha
c. Fotokopi Sertifikat Hak;
d. Fotokopi SPPT PBB Tahun terutangnya BPHTB;
e. Dokumen lainnya yang harus dipenuhi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(8) Permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 1 huruf b angka 5 diajukan dengan melampirkan :
a. Fotokopi lembar 1 SSB;
b. Fotokopi akta penggabungan usaha/Akta PPAT untuk penggabungan usaha yang didahului dengan
mengadakan likuidasi/Keputusan BPPN atau bukti bahwa telah disetujui oleh pemerintah untuk
restrukturisasi usaha dan atau utang usaha;
c. Fotokopi Sertifikat Hak;
d. Fotokopi Surat Persetujuan Penggabungan Usaha dan Badan Koordinasi Penanaman Modal;
e. Fotokopi Keputusan Persetujuan Penggunaan Nilai Buku;
f. Fotokopi Keputusan Menteri Kehakiman tentang Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar bila terjadi
perubahan anggaran dasar setelah penggabungan;
g. Fotokopi SPPT PBB Tahun terutangnya BPHTB;
h. Dokumen lainnya yang harus dipenuhi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(9) Apabila Wajib Pajak tidak dapat memenuhi jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4) dan ayat (5) karena keadaan di luar kekuasaannya, maka Wajib Pajak tersebut harus membuktikan
keadaan tersebut.
Pasal 7
(1) Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau Direktorat Jenderal Pajak memberikan tanda terima
kepada Wajib Pajak setelah menerima permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
(2) Tanda terima surat permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan bagi
kepentingan Wajib Pajak adalah tanda terima surat permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan yang diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau Direktorat
Jenderal Pajak atau bukti pengiriman surat permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan melalui pos tercatat dan sejenisnya sehubungan dengan Pasal 6 ayat (1).
(3) Atas permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dari Wajib Pajak, Kepala
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau
Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan sederhana yang hasilnya dituangkan dalam berita acara
pemeriksaan.
(4) Permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, tidak dianggap sebagai surat permohonan pengurangan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan, sehingga tidak dapat dipertimbangkan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Direktur Jenderal Pajak
memberitahukan kepada Wajib Pajak yang bersangkutan agar persyaratan sebagaimana dalam Pasal 6
dapat dipenuhi selama masih dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Pasal 6 ayat (4) atau ayat (5),
kecuali apabila permohonan tersebut tidak memenuhi jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5).
Pasal 8
(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2), dalam waktu paling
lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya surat permohonan harus menerbitkan keputusan atas
permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang diajukan Wajib Pajak.
(2) Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), dalam
waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya surat permohonan harus memberikan keputusan
atas permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang diajukan Wajib Pajak.
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berupa mengabulkan sebagian, atau
mengabulkan seluruhnya, atau menolak.
(4) Apabila dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah lewat dan Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Direktur
Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan yang diajukan dianggap dikabulkan dengan mengacu kepada ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, serta Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan keputusan atas
permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang diajukan Wajib Pajak yang
isinya mengabulkan permohonan dengan mengacu kepada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Pasal 9
Permohonan Wajib Pajak yang diterima sebelum ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dan belum
diterbitkan keputusan pengurangan, diproses berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 10
Bentuk Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 11
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-
221/PJ/2002 tentang Tata Cara Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 12
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan
penempatannya Dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Januari 2005
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
ttd
HADI PURNOMO
peraturan/0tkbpera/03b0db8c971432a5e8d163897176a7cc.txt · Last modified: by 127.0.0.1