DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
                       DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
                                               31 Oktober 1987

                      SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
                            NOMOR SE - 25/PJ.5/1987

                               TENTANG

                 LP2/DKHP SPT PPh 1986 (SERI PEMERIKSAAN -20)

                          DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sebagai kelanjutan dari pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Seri Pemeriksaan -08 huruf e (1) 
tentang Lembar Penugasan Pemeriksaan (LP2) dan Daftar Kesimpulan Hasil Pemeriksaan (DKHP), maka 
bersama ini disampaikan kepada Saudara penjelasan tentang LP2/DKHP untuk pemeriksaan SPT PPh tahun 
1986 sebagai berikut :

1.  Formulir LP2/DKHP 1986.
    Berbeda dengan DKHP SPT PPh 1985, maka mulai pemeriksaan SPT PPh 1986 formulir LP2/DKHP 
    akan diterbitkan oleh Kantor PDIP. Formulir LP2/DKHP untuk SPT PPh 1986 terdiri dari dua bagian, 
    yaitu :
    1.1.    Bagian pertama dimulai nomor urut 1 s.d 8, yang berfungsi sebagai Lembaran Penugasan 
        Pemeriksaan (LP2), yaitu sebagai sarana penugasan untuk melakukan pemeriksaan.
    1.2.    Bagian kedua dimulai nomor urut 9 s.d 16, yang berfungsi sebagai Daftar Kesimpulan Hasil 
        Pemeriksaan (DKHP), yaitu sebagai sarana melaporkan kesimpulan hasil pemeriksaan . 
        DKHP ini harus diisi oleh setiap pemeriksaan tanpa kecuali, baik Pemeriksa Kantor maupun 
        Pemeriksa Lapangan atau oleh Penelaah, khusus bagi LP2 yang kembali ke Seksi PTU. 
        Pengisian DKHP dilakukan berdasarkan tata cara sebagaimana tercantum dalam Petunjuk 
        Pengisiannya.

2.  Penerbitan LP2/DKHP 1986 untuk pemeriksaan yang bersifat khusus.
    Sesuai dengan Sistem pemeriksaan yang baru, maka penugasan pemeriksaan untuk keperluan 
    penetapan pajak menurut kategorinya dibagi menjadi dua yaitu penugasan pemeriksaan yang sifatnya 
    rutin dan penugasan pemeriksaan yang bersifat khusus dengan penjelasan sebagai berikut :
    2.1.    Penugasan pemeriksaan yang sifatnya rutin mencakup penugasan pemeriksaan melalui 
        sistem kriteria seleksi, dalam mana setiap SPT diberikan skor tertentu sebagai tolak ukur 
        pemeriksaan.
    2.2.    Penugasan pemeriksaan yang bersifat khusus mencakup penugasan pemeriksaan atas 
        perintah/izin Direktur Jenderal Pajak, antara lain karena adanya :
        -   Data/informasi dari pihak ketiga,
        -   Hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya,
        -   Data/informasi baru yang ditemukan pada saat dilakukan suatu pemeriksaan.
        -   Petunjuk khusus dari Direktur Jenderal Pajak,
        -   dan lain sebagainya atas perintah Direktur Jenderal Pajak.
    2.3.    Setiap penugasan pemeriksaan baik yang sifatnya rutin maupun yang bersifat khusus akan 
        senantiasa diawasi melalui penerbitan LP2 oleh Kantor PDIP.
    2.4.    LP2 untuk penugasan pemeriksaan yang bersifat rutin akan diterbitkan secara otomatis oleh 
        Kantor PDIP sedangkan yang bersifat khusus akan diterbitkan oleh Kantor PDIP berdasarkan 
        permintaan Direktur P2W melalui prosedur yang ditetapkan.

3.  Proses penyaluran LP2/DKHP di Kantor Inspeksi Pajak.
    Sehubungan dengan pengiriman LP2/DKHP seperti diuraikan di atas, maka pengelolaan dan 
    penyalurannya di tingkat Inspeksi Pajak diatur sebagai berikut :
    3.1.    Formulir LP2/DKHP (dicetak dalam rangkap tiga) akan dikirimkan kepada Kepala Inspeksi 
        Pajak dalam amplop tertutup berkode "SR" dan hanya dibuka oleh KIP yang bersangkutan. 
        KIP meneliti kembali kesesuaian jumlah LP2/DKHP tersebut dalam surat pengantar dan 
        selanjutnya setelah menanda tangani mengirimkan kembali surat pengantar tersebut ke 
        Direktorat P2W.

    3.2.    LP2/DKHP tersebut kemudian diproses secara bertahap sebagai berikut :
        a.  LP2 yang mempunyai skor 500 dan 400 langsung dikirimkan oleh KIP kepada kepala 
            Seksi AKPB/Kepala Seksi DL/AKPB untuk segera dilakukan pemeriksaan (otomatis 
            harus diperiksa baik pemeriksaan lapangan ataupun pemeriksaan kantor).
        b.  LP2 yang mempunyai skor 300 atau kurang diproses sebagai berikut:
            b.1.    LP2 diserahkan oleh KIP kepada Ketua Tim Penyaring dalam rangkap 3 (tiga)
            b.2.    Lembar ke-3 oleh ketua Tim penyaring diserahkan kepada Kasi PTU sebagai 
                bahan untuk menyiapkan anak berkas SPT PPh 1986 dimaksud, termasuk 
                arsip korespondensinya.

    3.3.    Setelah SPT berikut anak berkas PPh/arsip korespondensi siap, Kepala Seksi PTU segera 
        mengirimkan beserta lembar ke-3 LP2 tersebut kepada ketua Tim Penyaring. Tim penyaring 
        kemudian melakukan penyaringan sesuai dengan Tata Cara Penyaringan dan Penelaah SPT 
        PPh yang diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-23/PJ.5/1987 tanggal 
        7 Oktober 1987 (Seri Pemeriksaan-18).

    3.4.    Dalam hal SPT tersebut ditetapkan untuk diperiksa oleh unit Pemeriksa Kantor ataupun Unit 
        Pemeriksa Lapangan, maka LP2 tersebut berfungsi sebagai dokumen dasar untuk 
        menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SPP). Selain itu LP2 tersebut berfungsi pula sebagai 
        DKHP yang harus diisi sesuai dengan petunjuk yang telah ditetapkan. Lembar asli LP2/DKHP 
        yang telah diisi secara lengkap dan ditandatangani pemeriksa yang bersangkutan, harus 
        dikirimkan kepada Direktur P2W. Tindasan pertama disimpan sebagai arsip di Seksi AKPB 
        sedang tindasan kedua disimpan sebagai arsip dalam berkas SPT Wajib Pajak, Kepala Seksi 
        AKPB/Kepala Seksi DL/AKPB bertugas dan bertanggung jawab atas penyiapan pengiriman 
        DKHP kepada Direktur P2W.

    3.5.    Khusus terhadap SPT yang tidak jadi diperiksa sebagai hasil penelaahan atau peninjauan 
        kembali, maka DKHP-nya harus diisi dengan nomor KODE PENYELESAIAN yaitu nomor 20, 21, 
        22, atau 23, sedang elemen lainnya tidak perlu diisi. Setelah ditanda tangani oleh Penelaah 
        atau Peninjau maka DKHP tersebut harus dikirim kepada Kepala Seksi AKPB/Kepala Seksi 
        DL/AKPB, yang kemudian bersama DKHP lainnya disiapkan pengirimannya kepada Direktur 
        P2W.

    3.6.    Setelah pemeriksaan selesai dilakukan, berkas Wajib Pajak dikembalikan ke Seksi PTU 
        disertai tindasan kedua LP2-nya.

4.  Pengiriman LP2/DKHP. 
    Lembar pertama dari setiap formulir LP2/DKHP yang diterbitkan oleh Kantor PDIP tanpa kecuali 
    setelah diisi lengkap harus dikirimkan kembali kepada Direktur P2W.

5.  Pengawasan LP2/DKHP. 
    Pemimpin Unit yang melakukan pemeriksaan harus melaksanakan pengawasan terhadap petugasnya 
    mengenai pengisian dan pengiriman DKHP dengan cara sebagai berikut :
    5.1.    Pengisian DKHP. 
        DKHP yang diisi dan ditanda tangani oleh Pemeriksa Kantor atau Pemeriksaan Lapangan 
        disampaikan kepada Kasubdit PB/Kabid PB & P/KIP bersamaan dengan laporan 
        pemeriksaan buku yang diajukan untuk mendapat persetujuan.

    5.2.    Pengiriman DKHP. 
        a.  DKHP tersebut pada butir 5.1 di atas, pengirimannya dilakukan selambat-lambatnya 
            pada tanggal 10 bulan berikutnya.
        b.  Ketentuan mengenai tata cara pengiriman DKHP tetap mengikuti ketentuan yang 
            telah ditetapkan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No.SE-01/PJ.5/1987 
            tanggal 15 Januari 1987.

    5.3.    Untuk ketertiban penyusunan laporan dan analisa, Kakanwil/KIP diminta perhatiannya untuk 
        mengawasi kecermatan pengisian dan ketepatan waktu pengiriman DKHP.

6.  Pemeriksaan atas satu tahun pajak sebelumnya. 
    6.1.    Pada dasarnya pemeriksaan hanya dilakukan untuk satu tahun pajak saja. Dalam hal 
        diperlukan adanya pemeriksaan satu tahun pajak sebelumnya karena adanya kaitan 
        penghitungan/koreksi dengan tahun pajak yang sedang diperiksa seperti adanya kompensasi 
        kerugian, maka KIP/Kabid PB & P meminta persetujuan tertulis dari Kakanwil. Dalam hal 
        demikian maka LP2/DKHP akan diterbitkan secara khusus oleh Kantor PDIP berdasarkan 
        permintaan Direktur P2W, setelah Direktur P2W menerima tembusan surat persetujuan dari 
        Kakanwil (contoh surat usulan dan persetujuan pada lampiran 6 dan 7). Bila hal demikian juga 
        terjadi pada pelaksanaan pemeriksaan di tingkat Kantor Pusat, maka Kasubdit PB meminta 
        persetujuan secara tertulis kepada Direktur P2W.Direktur P2W akan memberikan keputusan 
        secara tertulis sebagai dasar untuk mengajukan permintaan penerbitan LP2 kepada Kantor 
        PDIP.

    6.2.a.  Dalam hal pemeriksaan satu tahun pajak sebelumnya tersebut dilakukan oleh Inspeksi Pajak, 
        maka setelah menerima persetujuan tertulis dari Kakanwil, KIP menerbitkan Surat Perintah 
        Pemeriksaan (SPP) dan pemeriksaannya langsung dilaksanakan.

    6.2.b.  Dalam hal pemeriksaan satu tahun pajak sebelumnya tersebut dilakukan oleh Kanwil (setelah 
        diputuskan dan diberitahukan secara tertulis kepada Direktur P2W dengan menggunakan 
        contoh surat lampiran 8), maka Kakanwil menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SPP) dan 
        pemeriksaannya langsung dilaksanakan.

    6.2.c.  Dalam hal pemeriksaan satu tahun pajak sebelumnya tersebut dilakukan oleh Kantor Pusat 
        (setelah mendapat persetujuan tertulis dari Direktur P2W), maka Kasubdit PB menerbitkan 
        Surat Perintah Pemeriksaan (SPP) dan pemeriksaannya langsung dilaksanakan.

    6.3.    Hasil pemeriksaan satu tahun pajak sebelumnya harus dituangkan dalam DKHP tersendiri 
        yang diterbitkan oleh Kantor PDIP atas permintaan Direktur P2W. Pada kolom KRITERIA 
        PEMILIHAN SPT diisi dengan nomor kode sesuai dengan pengaturan dalam lampiran 2 tentang 
        penjelasan pengisian LP2 pada nomor urut 7.

    6.4.    Apabila LP2/DKHP dari Kantor Pusat tidak terlambat diterima, maka pengiriman DKHP yang 
        telah diisi atas pemeriksaan satu tahun pajak sebelumnya tersebut dilakukan bersamaan 
        dengan pengiriman DKHP tahun pajak 1986 yang diperiksa. Namun apabila pengiriman LP2/
        DKHP dari kantor Pusat terlambat diterima, maka pengiriman DKHP tahun 1986 yang telah 
        diisi didahulukan sedangkan pengiriman DKHP satu tahun pajak sebelumnya disusulkan 
        kemudian.

    6.5.    Permintaan untuk melakukan pemeriksaan satu tahun pajak sebelumnya sebut hanya dapat 
        dilakukan apabila berdasarkan pertimbangan Direktur P2W, Kakanwil atau KIP, SPT satu 
        tahun pajak sebelumnya ada kaitannya dengan tahun pajak yang sedang diperiksa serta 
        diperkirakan mengandung potensi koreksi pajak yang tinggi.

    6.6.    Dalam mempertimbangkan permintaan pemeriksaan satu tahun pajak sebelumnya, Direktur 
        P2W/Kakanwil/KIP harus selalu memperhatikan azas hasil dan tepat guna yaitu harus 
        mempertimbangkan kemungkinan hasil yang akan diperoleh dari pemeriksaan tersebut 
        dibandingkan dengan biaya dan waktu yang dikorbankan. Selain itu harus diperhatikan pula 
        apakah hasil yang diperoleh tersebut lebih besar dari hasil yang akan diperoleh apabila 
        dilakukan pemeriksaan terhadap LP2 lainnya yang diterima dari Kantor PDIP.
        Apabila hasil pemeriksaan terhadap SPT lainnya diperkirakan akan lebih bermanfaat, maka 
        pemeriksaan satu tahun pajak sebelumnya tersebut sebaiknya tidak perlu dilakukan
        mengingat jumlah pemeriksa sangat terbatas.

    6.7.    Pedoman dalam menentukan perlunya dilakukan pemeriksaan satu tahun pajak sebelumnya 
        diatur sebagai berikut :
        I.  Tahap Pertama : Alasan pemeriksaan 
            Setiap pemeriksaan satu Tahun Pajak sebelumnya haruslah disertai alasan yang kuat 
            mengenai pentingnya dilakukan pemeriksaan.
            Misalnya :  1.  Diperoleh informasi dari pihak ketiga yang belum dilaporkan 
                        dalam SPT tahun pajak sebelumnya.
                    2.  Ditemukan adanya masalah yang sama dan berkaitan dengan 
                        masalah yang sedang diperiksa, tetapi menyangkut satu 
                        tahun pajak sebelumnya.

        II. Tahap Kedua : Analisa efisiensi pemeriksaan. 
            Tahap ini merupakan tahap lanjutan yang harus dilakukan guna mengukur tingkat 
            efisiensi pemeriksaan. Dalam analisa ini dibandingkan estimasi koreksi pajak yang 
            diharapkan dengan hasil pemeriksaan rata-rata per-SPT/Wajib Pajak menurut Daftar 
            Informasi Hasil Pemeriksaan (DIHP) yang disampaikan Kantor Pusat.
            Apabila estimasi koreksi pajak lebih besar dari pada hasil pemeriksaan rata-rata 
            per-SPT/Wajib Pajak berdasarkan DIHP untuk Kanwil/IP yang bersangkutan, maka 
            usul pemeriksaan dapat segera dibuat. Dalam hal terjadi sebaliknya maka proses 
            tahap ketiga harus dilakukan.
            Misalnya :
            1.  Estimasi koreksi pajak          Rp. 500.000,-
                Hasil Pemeriksaan rata-rata     Rp. 200.000,-
                Kesimpulan : diusulkan untuk diperiksa.
            2.  Estimasi koreksi pajak          Rp. 175.000,-
                Hasil pemeriksaan rata-rata     Rp. 200.000,-
                Kesimpulan : Lakukan tahap ketiga.

        III.    Tahap Ketiga : Analisa nilai kepatuhan Wajib Pajak. 
            Dalam tahap ini KIP melakukan atas nilai kepatuhan Wajib Pajak terhadap peraturan 
            perundang-undangan perpajakan pada umumnya. Beberapa faktor penting yang 
            perlu dipertimbangkan antara lain adalah :
            1.  Faktor penyalahgunaan peraturan perpajakan.
                Misalnya :
                1.  Wajib Pajak menggunakan norma Penghitungan sekali pun 
                    berdasarkan omzet menurut SPT seharusnya ia menyelenggarakan 
                    pembukuan.
                2.  Wajib Pajak menyalahgunakan atau melanggar ketentuan 
                    pemerintah mengenai pengampunan pajak, sayembara laporan 
                    tahunan dan sebagainya.

            2.  Faktor yang menyangkut masalah yang berkaitan dengan penghitungan 
                besarnya pajak terhutang.
                Misalnya :
                1.  Wajib Pajak Keliru menyusutkan aktiva tetapnya dengan 
                    menggunakan metode penyusutan yang tidak sesuai dengan Undang-
                    undang.
                2.  Wajib Pajak menderita kerugian usaha yang belum disahkan oleh 
                    Direktorat Jenderal Pajak sehingga memperngaruhi dasar perhitungan 
                    Laba Kena Pajak tahun berikutnya.

            3.  Faktor pelanggaran administrasi pajak yang serius.
                Faktor ini mempertimbangkan situasi di mana apabila pemeriksaan satu tahun 
                sebelumnya tidak dilakukan dapat mengakibatkan hal-hal sebagai berikut ini:
                Misalnya :
                1.  Berkembangnya kritik dalam masyarakat mengenai Wajib Pajak 
                    yang menyalahgunakan fasilitas sertifikat Ekspor.
                2.  Kemungkinan timbulnya pengaruh buruk terhadap kegiatan 
                    pemeriksaan dimasa depan apabila gejala yang timbul itu tidak 
                    segera ditangani melalui pemeriksaan satu tahun sebelumnya.
                3.  Timbul perlakuan yang tidak adil/tidak konsisten terhadap Wajib 
                    Pajak yang mempunyai kondisi usaha yang sama.

7.  Pengalihan Jenis Pemeriksaan.
    7.1.    Dapat terjadi bahwa dalam melakukan pemeriksaan ditemukan adanya permasalahan yang 
        kompleks atau yang dapat menimbulkan koreksi pajak yang cukup potensial, sehingga 
        dipandang perlu untuk mengalihkan pemeriksaan lapangan, atau dapat pula terjadi sebaliknya.
        Khusus dalam hal demikian, Kakanwil diberi wewenang melakukan perubahan tersebut di atas 
        dengan menyampaikan laporan ke Kantor Pusat c.q. Direktorat P2W (contoh surat pada 
        lampiran 4 dan 5). Usul yang diterima oleh Kakanwil dari KIP akan digunakan sebagai dasar 
        mengawasi Inspeksi Pajak yang bersangkutan mengenai pengalihan yang telah dilakukan. 
        Tindasan kepada Kantor Pusat penting, karena tindasan surat pengalihan pemeriksaan 
        tersebut akan merupakan dasar untuk merubah/memperbaiki rencana pemeriksaan tahunan 
        yang disusun oleh Kantor Pusat. Perlu diingatkan disini bahwa surat Perintah Pemeriksaan 
        (SPP) yang lama dengan sendirinya harus dibatalkan dan diganti dengan Surat Perintah 
        Pemeriksaan (SPP) yang baru.

    7.2.    Ketentuan pada butir 7.1. berlaku pula apabila karena pertimbangan geografis karena 
        hambatan lainnya (Wajib Pajak bandel) sukar untuk melaksanakan pemeriksaan di Kantor 
        sehingga melaksanakan pemeriksaan terpaksa harus dilakukan di lapangan dengan 
        mengirimkan petugas ke tempat usaha Wajib Pajak.

    7.3.    Dalam hal pengalihan pemeriksaan kantor menjadi pemeriksaan lapangan atau sebaliknya 
        jumlahnya cukup banyak, maka KIP dapat memindahkan petugas pemeriksa kantor yang 
        memenuhi syarat untuk dijadikan pemeriksaan lapangan ataupun sebaliknya, atau 
        mengerahkan tenaga pemeriksa cadangan yang ada, agar pelaksanaan pemeriksaan dapat 
        diselesaikan tepat pada waktunya.

    7.4.    Sekalipun demikian, pelaksanaan pengalihan jenis pemeriksaan hendaknya dibatasi untuk 
        hal-hal yang sangat urgen/penting saja, mengingat setiap pengalihan akan merubah rencana 
        pemeriksaan tahunan secara nasional.

8.  Lain-lain 
    8.1.    Sepanjang tidak ada perubahan, bentuk LP2/DKHP tahun 1986 juga diberlakukan untuk tahun-
        tahun mendatang. Contoh LP2/DKHP berikut petunjuk pengisiannya secara terinci dapat 
        dibaca dalam lampiran 1, 2, dan 3 Surat Edaran ini.
    8.2.    Karena sangat pentingnya fungsi LP2/DKHP dalam sistem pengelolaan pemeriksaan, maka di 
        instruksikan agar Surat Edaran ini benar-benar ditembuskan kepada setiap petugas 
        pemeriksa dan para pejabat yang terkait dalam tugas pemeriksaan.

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebaik-baiknya.




A.N. DIREKTUR JENDERAL PAJAK
DIREKTUR PENGUSUTAN DAN PENGENDALIAN WILAYAH

ttd

Drs. R.D. DJOKOMONO