DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
                       DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
                                                    26 April 1995

                      SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
                           NOMOR SE - 23/PJ.43/1995

                        TENTANG

           PENJELASAN PETUNJUK PEMOTONGAN PPh PASAL 21 DAN PASAL 26. (SERI PPh PASAL 21 NO. 4)

                           DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan telah dikeluarkannya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-02/PJ./1995 
tanggal 9 Januari 1995 sebagaimana telah disempurnakan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: 
KEP-30/PJ./1995 tanggal 31 Maret 1995 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran, dan 
Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang 
Pribadi, dengan ini diminta perhatian Saudara terhadap beberapa perubahan dan penegasan sebagai berikut :

1.  Perubahan mengenai ketentuan umum adalah sebagai berikut :
    1.1.    Pengertian pemotong pajak PPh Pasal 21 dan Pasal 26 tidak lagi dicantumkan dalam ketentuan 
        umum, karena sudah disebut dalam bab pemotong pajak dan penerima penghasilan yang 
        dipotong pajak.
    1.2.    Istilah Wajib Pajak diganti dengan penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau 
        PPh Pasal 26 dan tidak dicantumkan lagi dalam bab ketentuan umum, karena sudah tercantum 
        dalam bab pemotong pajak dan penerima penghasilan yang dipotong pajak.
    1.3.    Dalam pengertian penerima pensiun termasuk juga orang pribadi atau ahli warisnya yang
        menerima uang pensiun, Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua.
    1.4.    Dalam pengertian penerima honorarium hanya dibatasi untuk Orang Pribadi yang menerima 
        imbalan sehubungan dengan Jasa, Jabatan, atau Kegiatan yang dilakukan.
    1.5.    Dalam ketentuan umum tersebut dicantumkan juga pengertian mengenai bea siswa dalam
        rangka hubungan kerja.

2.  Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan 
    sesuai ketentuan Pasal 21 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang PPh sebagaimana 
    telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994, adalah :
    a.  Badan Perwakilan Negara Asing
        Hal ini sesuai dengan kelaziman internasional.
    b.  Organisasi Internasional
        Nama-nama organisasi internasional yang tidak berkewajiban melakukan pemotongan, 
        penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 ayat (1) huruf d, telah ditetapkan 
        dalam Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 649/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994.
        Organisasi Internasional yang bukan sebagai Subjek Pajak Penghasilan sebagaimana 
        dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 611/KMK.04/1994, sepanjang tidak
        dikecualikan untuk melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 21 dan
        Pasal 26 sebagaimana telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor:
        649/KMK.04/1994, wajib melakukan kewajiban selaku pemotong pajak sesuai dengan 
        ketentuan yang berlaku.

3.  Penerima penghasilan yang tidak dipotong PPh Pasal 21 :
    a.  Pejabat Perwakilan Diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-
        orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama 
        mereka dengan syarat bukan Warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau 
        memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya di Indonesia.
        Ketentuan yang baru ini disesuaikan dengan kelaziman Internasional, yaitu bahwa badan 
        perwakilan negara asing beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat serta 
        pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai Subjek Pajak di tempat mereka mewakili
        negaranya.
    b.  Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri 
        Keuangan Nomor: 611/KMK.04/1994 tanggal 23 Desember 1994 sepanjang bukan Warga 
        Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain 
        untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.

4.  Dalam pengertian penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 21, termasuk juga penarikan
    dana pada dana pensiun baik dana pensiun lembaga keuangan maupun dana pensiun pemberi kerja
    yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, oleh peserta program pensiun manfaat pasti 
    atau iuran pasti sesuai dengan ketentuan peraturan dana pensiun yang berlaku.
    Disamping itu perlu ditegaskan kembali bahwa premi asuransi yang dibayar oleh pemberi kerja baik 
    kepada pegawai maupun bukan pegawai merupakan penghasilan bagi penerima penghasilan tersebut. 
    Dengan demikian dalam menghitung PPh Pasal 21 penerima penghasilan, premi asuransi yang 
    dibayarkan oleh pemberi kerja tersebut digabungkan dengan seluruh penghasilan bruto yang dibayar 
    oleh pemberi kerja kepada penerima penghasilan yang bersangkutan.

5.  Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya yang tidak dikenakan pemotongan PPh 
    Pasal 21 adalah penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan sebagai penggantian atau 
    imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah.
    Perlu ditegaskan kembali bahwa istilah "ditanggung" dalam pembayaran iuran pensiun dan iuran THT 
    oleh pemberi kerja adalah bukan termasuk dalam penghasilan yang dibayar dalam bentuk natura atau 
    kenikmatan lainnya (fringe benefit).
    Iuran pensiun dan iuran THT yang dibayar oleh pemberi kerja tersebut bagi pegawai tidak termasuk
    dalam pengertian penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dalam hal dibayarkan 
    kepada Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dan penyelenggara Taspen 
    dan Astek. Sedangkan iuran pensiun dan iuran THT yang dibayar oleh pemberi kerja tersebut karena 
    bukan termasuk dalam pengertian pemberian natura/ kenikmatan, maka merupakan biaya yang dapat 
    dikurangkan dari penghasilan pemberi kerja yang bersangkutan.

6.  Dasar perhitungan biaya jabatan adalah penghasilan bruto, baik penghasilan teratur maupun 
    penghasilan tidak teratur seperti bonus, tunjangan hari raya dan sebagainya.

7.  Dalam keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-02/PJ./1995 sebagaimana telah disempurnakan 
    dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-30/PJ./1995 tersebut terdapat empat macam 
    tarif pemotongan PPh Pasal 21 dan Pasal 26 yaitu :
    a.  Tarif Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan 
        Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994 diterapkan atas :
        -   Penghasilan kena pajak dari penerima penghasilan sebagaimana dimaksud dalam 
            Pasal 10 ayat (1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-02/PJ./1995 
            sebagaimana telah disempurnakan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak 
            Nomor: KEP-30/ PJ./1995;
        -   Penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Keputusan Direktur 
            Jenderal Pajak Nomor: KEP-02/PJ./1995 sebagaimana telah disempurnakan dengan 
            Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-30/ PJ./1995.

    b.  Tarif 15% diterapkan atas :
        -   Perkiraan penghasilan netto yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli;
        -   Penghasilan bruto berupa uang pesangon, uang tebusan pensiun, tunjangan hari tua 
            atau tabungan hari tua yang dibayarkan sekaligus, dan hadiah atau penghargaan 
            perlombaan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh 
            Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e angka 10;

    c.  Tarif 10% diterapkan atas : 
        -   Upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan uang saku harian yang jumlahnya 
            melebihi Rp. 14.400,00 sehari, tetapi jumlahnya dalam satu bulan takwim tidak 
            melebihi Rp. 144.000,00;
        -   Komisi yang diterima atau diperoleh petugas dinas luar asuransi dan petugas penjaja 
            barang dagangan yang bukan pegawai tetap;

    d.  Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% diterapkan terhadap imbalan atas pekerjaan, jasa, dan 
        kegiatan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri.

8.  Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (7) Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 sebagaimana telah 
    diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994 dan Keputusan Menteri Keuangan 
    Nomor: 598/KMK.04/1994, dalam Petunjuk Pemotongan PPh Pasal 21 dan Pasal 26 Tahun 1995 
    terdapat ketentuan pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat final yaitu :
    a.  Uang tebusan pensiun yang dibayarkan oleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan 
        oleh Menteri Keuangan dan tunjangan hari tua atau tabungan hari tua yang dibayarkan 
        sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja;
    b.  Uang pesangon;
    c.  Hadiah dan penghargaan perlombaan;
    d.  Honorarium atau komisi yang dibayarkan kepada penjaja barang dagangan dan petugas
        dinas luar asuransi.
        Yang dimaksud dengan penjaja barang dagangan adalah penjaja barang dagangan berupa
        kosmetik, sabun, odol, buku, dan barang-barang keperluan rumah tangga sehari-hari lainnya.

9.  Sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (5) huruf b Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 sebagaimana 
    telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994 dan Pasal 15 ayat(2) Petunjuk 
    Pemotongan PPh Pasal 21 dan Pasal 26 Tahun 1995, pemotongan PPh Pasal 26 tidak bersifat final 
    dalam hal orang pribadi sebagai Wajib Pajak luar negeri yang menerima imbalan atas pekerjaan, jasa, 
    dan kegiatan yang semula dipotong dengan tarif PPh Pasal 26 berubah status didalam Tahun Pajak 
    menjadi Wajib Pajak dalam negeri.

10. Diberikan tambahan dan penyempurnaan penjelasan petunjuk penghitungan dan tambahan contoh-
    contoh penghitungan, sebagai berikut :
    10.1.   Diberikan penyempurnaan penjelasan cara penghitungan atas penghasilan teratur pegawai 
        tetap;
    10.2.   Diberikan penjelasan dan contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas uang rapel (pembayaran 
        kenaikan gaji yang berlaku surut);
    10.3.   Diberikan penjelasan dan contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan yang 
        diterima atau diperoleh penerima pensiun yang cara penghitungannya dibedakan sebagai 
        berikut :
        a.  Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan yang diterima atau diperoleh 
            pada tahun pertama;
        b.  Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan yang diterima atau diperoleh 
            untuk tahun kedua dan selanjutnya.
    10.4.   Diberikan perubahan contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan pegawai yang
        kewajiban pajak subjektifnya sebagai Subjek Pajak dalam negeri berakhir dalam tahun pajak.
        Dalam contoh ini perlu diperhatikan bahwa untuk menghitung besarnya PPh Pasal 21 yang 
        terutang didasarkan atas jumlah penghasilan netto, baik yang berasal dari penghasilan teratur 
        maupun penghasilan tidak teratur yang disetahunkan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 
        16 ayat (4) Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan 
        Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994.
    10.5.   Diberikan contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas upah harian yang dibedakan sebagai
        berikut :
        a.  Penghitungan PPh Pasal 21 pada hari-hari sebelum jumlah upah harian dalam bulan 
            takwim yang bersangkutan melebihi Rp. 144.000,00;
        b.  Penghitungan PPh Pasal 21 pada hari pertama setelah jumlah upah harian dalam 
            bulan takwim yang bersangkutan melebihi Rp. 144.000,00;
        c.  Penghitungan PPh Pasal 21 untuk hari-hari berikutnya dalam bulan takwim yang 
            bersangkutan;
    10.6.   Diberikan contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas komisi yang dibayarkan kepada penjaja
        barang dagangan atau petugas dinas luar asuransi;
    10.7.   Diberikan contoh penghitungan PPh Pasal 21 yang dibayarkan kepada agen Wajib Pajak orang 
        pribadi;
    10.8.   Diberikan contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas pembayaran kepada mantan pegawai;
    10.9.   Diberikan contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pesangon, uang tebusan pensiun,dan 
        tunjangan hari tua atau tabungan hari tua yang dibayarkan sekaligus;
    10.10.  Diberikan contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas pengambilan dana pensiun iuran pasti oleh 
        peserta pensiun yang dibayarkan oleh penyelenggara program pensiun iuran pasti yang 
        merupakan contoh ketentuan baru yang belum ada pada petunjuk pemotongan PPh Pasal 21 
        dan Pasal 26 sebelumnya. Cara perhitungan tersebut berlaku pula terhadap penarikan/
        pengambilan dana iuran program pensiun manfaat pasti oleh peserta pensiun pada 
        penyelenggara dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, sesuai 
        dengan ketentuan peraturan dana pensiun yang berlaku;
    10.11.  Diberikan contoh perhitungan PPh Pasal 21 atas hadiah atau penghargaan.

Hendaknya mendapat perhatian Saudara bahwa penghitungan-penghitungan sebagaimana tersebut pada butir
10.6 dan butir 10.9 berbeda dengan penghitungan-penghitungan seperti diatur dalam Petunjuk Pemotongan
PPh Pasal 21 dan Pasal 26 Tahun 1991 (Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-106/ PJ.431/1991).

Keputusan Direktur Jenderal Pajak tersebut berlaku mulai tahun pajak 1995. Dengan demikian berarti bahwa
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-106/PJ.431/1991 tentang Buku Petunjuk Pemotongan Pajak
Penghasilan atas Pembayaran Gaji, Upah, Honorarium dan lain-lain sehubungan dengan Pekerjaan atau Jasa 
Pribadi Tahun 1991 dan Selanjutnya, hanya berlaku untuk tahun 1991, 1992, 1993, dan 1994.

Demikian untuk mendapat perhatian Saudara dalam pelaksanaannya.




DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd

FUAD BAWAZIER