DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 24 Juli 2001 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 915/PJ.512/2001 TENTANG PPN KAPAS IMPOR DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan surat-surat Saudara Nomor : xxxxxxx tanggal 27 Juni 2001 dan Nomor :xxxxxxx tanggal 6 Juli 2001 hal sebagaimana tersebut pada pokok surat, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut : 1. Dalam surat-surat Saudara tersebut secara garis besar mengemukakan hal-hal sebagai berikut : a. Berdasarkan surat jawaban kami Nomor : S-769/PJ.51/2001 tanggal 25 Juni 2001, Saudara memahami bahwa serat kapas dikenakan PPN karena tidak termasuk dalam Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang atas impornya dibebaskan dari pengenaan PPN. b. Saudara mengkhawatirkan bahwa kenaikan BBM, TDL, upah buruh dan pengenaan PPN akan mengurangi daya saing produk ekspor non-migas utama Indonesia, yaitu TPT, dari industri hilir hingga industri hulu. c. Saudara berpendapat bahwa terjadi pengenaan pajak berganda, yaitu pada saat impor bahan baku kapas dan pada saat penjualan produknya berupa benang tenun. d. Saudara memohon pertimbangan untuk meninjau kembali pengenaan PPN atas impor serat kapas yang menjadi bahan dasar industri pemintalan yang menurut Saudara adalah bahan baku strategis. 2. Sebagaimana diketahui Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mempunyai beberapa karakteristik, antara lain : a. PPN yang dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Setiap penyerahan barang yang menjadi objek PPN mulai dari tingkat importir, pabrikan (manufacturer), kemudian di tingkat pedagang besar (wholesaler) dalam berbagai bentuk atau nama sampai dengan tingkat pedagang pengecer (retailer) yang menyerahkan barang kena pajak kepada konsumen, dimana konsumen merupakan penanggung PPN yang sebenarnya. b. Mekanisme pengkreditan, adalah mekanisme pengurangan pajak yang dibayar pada saat melakukan pembelian (Pajak Masukan) terhadap pajak yang dipungut pada saat melakukan penjualan (Pajak Keluaran). Dengan mekanisme ini, walaupun pengenaan PPN dikenakan secara bertingkat, dapat dihindari kemungkinan timbulnya pengenaan pajak berganda (contoh kasus terlampir). Setiap pemungutan PPN, Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang bersangkutan wajib membuat Faktur Pajak. Bagi PKP yang membuat, Faktur Pajak merupakan Faktur Pajak Keluaran, bagi PKP yang menerima merupakan Faktur Pajak Masukan. Dalam mekanisme penghitungannya, PKP menghitung selisih antara Pajak Keluaran yang dipungut dengan Pajak Masukan yang dibayar. Apabila jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada jumlah jumlah Pajak Masukan, PKP tersebut wajib menyetorkan selisihnya ke Kas Negara. Sebaliknya apabila ternyata jumlah Pajak Keluaran lebih kecil daripada Pajak Masukan, PKP tersebut berhak untuk memperoleh pengembalian atau dikompensasikan dengan utang pajak dalam Masa Pajak berikutnya. c. Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri Sebagai pajak atas konsumsi umum dalam negeri, PPN hanya dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam negeri. Oleh karena itu, Barang Kena Pajak yang diekspor dikenakan tarif 0% (nol persen). Dengan tarif 0% (nol persen) ini Pajak Masukan yang telah dibayar Eksportir pada waktu perolehan Barang Kena Pajak yang diekspor tersebut dapat meminta pengembaliannya. Dengan demikian dalam harga Barang Kena Pajak yang diekspor tersebut tidak ada lagi unsur Pajak Pertambahan Nilai. 3. Pasal 9 Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 antara lain mengatur bahwa : a. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama. b. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan PPN yang harus dibayar oleh PKP. c. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya. 4. Berdasarkan ketentuan-ketentuan pada butir 2 sampai dengan butir 3, serta memperhatikan surat Saudara tersebut pada butir 1, dengan ini disampaikan bahwa : a. Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi umum Dalam Negeri, oleh karena itu impor serat kapas dikenakan PPN dengan tarif yang sama dengan penyerahan serat kapas di Dalam Negeri, yaitu 10% (sepuluh persen). Sedangkan pada saat ekspor TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) dikenakan PPN dengan tarif 0% (nol persen). b. Dengan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran, maka seluruh Pajak Masukan yang telah dipungut pada saat impor serat kapas merupakan kelebihan pajak yang dapat diminta kembali (direstitusi). c. Pajak Pertambahan Nilai mempergunakan sistem pengkreditan Pajak Masukan sehingga tidak ada pengenaan pajak berganda. d. Dengan demikian pendapat Saudara yang menyatakan bahwa pengenaan PPN atas impor serat kapas akan menghambat ekspor dan mengurangi daya saing di pasaran internasional adalah kurang tepat, karena PPN impor serat kapas tersebut tidak merupakan komponen harga pokok/harga jual. Demikian untuk dimaklumi. A.n. Direktur Jenderal Direktur Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Tidak Langsung Lainnya ttd. I Made Gde Erata NIP. 060044249 Tembusan : 1. Menteri Keuangan; 2. Menteri Perindustrian dan Perdagangan; 3. Direktur Jenderal Pajak; 4. Direktur Peraturan Perpajakan.