DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 1 September 2004 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 893/PJ.313/2004 TENTANG PERMOHONAN PENJELASAN ATAS KEP-110/PJ./2003 DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 5 Mei 2003 perihal tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut : 1. Dalam surat tersebut, Saudara mohon penjelasan atas beberapa masalah sehubungan dengan diberlakukannya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-110/PJ./2003 tanggal 14 April 2003 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan yang Diterima Oleh Pekerja Sampai Dengan Sebesar Upah Minimum Propinsi Atau Upah Minimum Kabupaten/Kota, yaitu sebagai berikut: a. Standar upah mana yang seharusnya digunakan untuk menghitung PPh yang ditanggung Pemerintah sesuai KEP-110/PJ./2003, apabila pada satu propinsi selain diberlakukan ketentuan besarnya Upah Minimum Propinsi (UMP) juga diberlakukan ketentuan Upah Minimum Sektoral Propinsi (UMSP)? b. Bagaimana perlakuan terhadap pekerja yang mempunyai jabatan baik struktural maupun fungsional tetapi tidak termasuk dalam kriteria sebagaimana disebut dalam Lampiran I angka 2 KEP-110/PJ./2003, misalnya mandor dan pengawas, serta bagaimana halnya perlakuan terhadap pekerja seperti petugas operator mesin dan operator traktor? c. Karena KEP-110/PJ./2003 diterbitkan tanggal 14 April 2003 tetapi mempunyai daya laku surut, apakah atas penghitungan gaji bulan Januari sampai dengan April 2003 yang belum dihitung sesuai ketentuan dalam KEP-110/PJ./2003 dapat diperhitungkan di akhir tahun atau dengan melakukan pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21/26 atau PPh yang ditanggung Pemerintah untuk bulan Januari sampai dengan April 2003 tersebut dapat diperhitungkan untuk masa Mei 2003 dan seterusnya? 2. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2003 beserta peraturan pelaksanaannya yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor 70/KMK.03/2003 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-110/PJ./2003 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan yang Diterima oleh Pekerja Sampai dengan Sebesar Upah Minimum Propinsi atau Upah Minimum Kabupaten/Kota, antara lain diatur bahwa : a. Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan sebesar Upah Minimum Propinsi atau Upah Minimum Kabupaten/Kota setelah dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak ditanggung oleh Pemerintah; b. Apabila di suatu daerah terdapat Upah Minimum Propinsi dan Upah Minimum Kabupaten/Kota, maka yang digunakan sebagai dasar perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) adalah Upah Minimum Kabupaten/Kota; c. Upah Minimum Propinsi adalah upah minimum yang berlaku untuk seluruh Kabupaten/Kota di satu Propinsi yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat; d. Upah Minimum Kabupaten/Kota adalah upah minimum yang berlaku di daerah Kabupaten/ Kota yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat; e. Pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja didalam lingkungan kerja pada pengusaha dengan menerima upah hanya dari satu pemberi kerja yang tidak menduduki jabatan struktural atau fungsional dalam unit organisasi atau perusahaan dan tidak memperoleh penghasilan lain dari usaha, tidak termasuk tenaga kerja asing, tenaga ahli, dan tenaga profesi; f. Kriteria Jabatan Fungsional dan Struktural adalah jabatan yang memenuhi salah satu syarat sebagai berikut: 1) Jabatan tersebut tercantum dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi atau Perusahaan atau Akte Pendirian Organisasi atau Perusahaan, Akte Perubahannya, atau dokumen lain, misalnya : - Komisaris termasuk Presiden Komisaris, Wakilnya dan Anggota Dewan Komisaris; - Direktur termasuk Presiden Direktur, Wakilnya dan Anggota Dewan Direksi lainnya; 2) Jabatan tidak termasuk dalam jabatan sebagaimana pada butir 1 tetapi terdapat dalam Struktur Organisasi atau Perusahaan, misalnya: - Manajer termasuk Assisten Manajer, Wakil Manajer, Junior Manajer atau sejenisnya; - Kepala atau Pimpinan : Suatu Bagian, Departemen, Divisi, atau sejenisnya, misalnya : Manajer Cabang, Chief Officer, Chief Supervisor, Chief Maintenance, Chief Production, atau sejenisnya; - Pimpinan atau Ketua Organisasi, Wakil ketua, Deputi Pimpinan Organisasi, termasuk Kepala Divisi, Kepala Bagian, Kepala Seksi, Kepala Bidang, atau sejenisnya; g. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal 2 Januari 2003. 3. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-545/PJ./2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, antara lain diatur bahwa : a. Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetorkan PPh Pasal 21 dan Pasal 26 yang terutang untuk setiap bulan takwim; b. Apabila dalam satu bulan takwim terjadi kelebihan penyetoran PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26, maka kelebihan tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan; c. Dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir, Pemotong Pajak berkewajiban menghitung kembali jumlah PPh Pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap dan penerima pensiun bulanan menurut tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 UU PPh; d. Apabila jumlah pajak terutang sebagaimana dimaksud dalam huruf c lebih rendah dari jumlah pajak yang telah dipotong, kelebihannya diperhitungkan dengan pajak yang terutang atas gaji pegawai yang bersangkutan untuk bulan pada waktu dilakukan penghitungan kembali; e. Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang terutang dalam satu tahun takwim lebih kecil dari PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang telah disetor, kelebihan tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan pada waktu dilakukannya penghitungan tahunan, dan jika masih ada sisa kelebihan, maka diperhitungkan untuk bulan-bulan lainnya dalam tahun berikutnya. 4. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-40/PJ.43/1999 tentang Kelebihan Pemotongan dan Penyetoran PPh Pasal 21, antara lain ditegaskan bahwa: a. Dalam hal untuk satu masa pajak (satu bulan) terjadi kelebihan penyetoran PPh Pasal 21, maka kelebihan tersebut dapat diperhitungkan dengan kewajiban PPh Pasal 21 yang terutang pada bulan berikutnya; b. Atas kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 bagi karyawan-karyawan tertentu dalam suatu bulan takwim dari suatu tahun pajak, kelebihan pemotongan tersebut diperhitungkan dengan pajak yang terutang atas penghasilan karyawan yang bersangkutan dalam bulan berikutnya dalam tahun tersebut. Pemberi kerja melakukan pembetulan SPT Masa untuk bulan terjadinya kelebihan pemotongan PPh Pasal 21, dan atas kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk masa berikutnya dalam SPT Masa. 5. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dengan ini dapat ditegaskan bahwa: a. Dalam hal di satu propinsi berlaku ketentuan Upah Minimum Propinsi (UMP) dan Upah Minimum Sektoral Propinsi (UMSP) sekaligus, maka besarnya PPh yang ditanggung Pemerintah dihitung berdasarkan ketentuan Upah Minimum Propinsi (UMP). Namun, apabila dalam suatu daerah tersebut berlaku ketentuan Upah Minimum Propinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), maka besarnya PPh yang ditanggung Pemerintah dihitung berdasarkan ketentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK); b. Apabila dalam perusahaan Saudara terdapat jabatan yang tidak secara eksplisit/spesifik disebutkan dalam KEP-110/PJ./2003 tetapi terdapat dalam struktur organisasi atau perusahaan, seperti mandor dan pengawas, maka jabatan tersebut termasuk dalam kriteria jabatan fungsional dan struktural. Namun demikian, atas pekerjaan yang mempunyai sebutan khusus tetapi sesungguhnya bukan merupakan suatu jabatan, seperti operator mesin dan operator traktor, maka pekerjaan tersebut tidak termasuk sebagai jabatan fungsional dan struktural; c. Apabila perusahaan Saudara terlanjur menerapkan perhitungan PPh Pasal 21 berdasarkan ketentuan yang berlaku sebelum diterapkannya ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2003 beserta peraturan pelaksanaannya untuk masa Januari sampai dengan April 2003, maka atas kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 bagi karyawan-karyawan yang terkait dapat diperhitungkan dengan pajak yang terutang atas penghasilan karyawan yang bersangkutan untuk masa pajak berikutnya dalam tahun pajak yang sama. Dalam hal ini, perusahaan Saudara harus melakukan pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 untuk masa-masa pajak tersebut, dan atas kelebihan penyetoran PPh Pasal 21, sebagai akibat dari kelebihan pemotongan PPh Pasal 21, dapat diperhitungkan atau dikompensasikan dengan kewajiban PPh Pasal 21 yang terutang untuk masa pajak berikutnya. Namun jika perusahaan Saudara terlanjur tidak melakukan pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 untuk masa pajak tersebut, atas kelebihan pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 21 masih dapat diperhitungkan melalui mekanisme perhitungan kembali SPT Tahunan PPh Pasal 21, sesuai butir 3 c, d dan e tersebut di atas. Demikian penegasan kami agar Saudara maklum. A.n. DIREKTUR JENDERAL Pjs. DIREKTUR, ttd ROBERT PAKPAHAN