DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 14 Agustus 2006 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 679/PJ.32/2006 TENTANG TANGGAPAN ATAS DRAFT RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA (SUKUK) DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan Surat Saudara nomor 251/PB.5/2006 tanggal 28 Juni 2006 hal sebagaimana tersebut pada pokok surat, dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut : 1. Dalam kaitannya dengan bidang perpajakan kami sependapat dengan draft rancangan undang-undang tentang Surat Berharga Syariah yang tidak mengatur ketentuan perpajakan mengingat ketentuan perpajakan harus diatur tersendiri dalam Undang-undang Perpajakan dan tidak boleh diatur dalam undang-undang lain. 2. Sebagaimana diungkapkan dalam naskah akademik Rancangan Undang-undang tentang Surat Berharga Syariah Negara (Sukuk) bahwa pajak merupakan bagian yang perlu dipertimbangkan karena merupakan masalah yang mengakibatkan Sukuk tidak menarik bagi investor karena ada pengenaan pajak atas terjadinya pengalihan asset baik dengan cara dijual atau disewakan kepada SPV, selanjutnya SPV menyewakan kembali atau menjual kembali asset tersebut kepada pemerintah pada akhir periode Sukuk, selain itu adanya pengenaan pajak atas sewa yang diterima investor. 3. Ketentuan perpajakan yang berkaitan dengan penerbitan Sukuk sebagaimana dikemukakan dalam angka 2 adalah sebagai berikut : a. Bidang Pajak Pertambahan Nilai Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir oleh Undang-undang Nomor 18 TAHUN 2000 antara lain mengatur : a.1 Pasal 1 angka 2 : Barang adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak, atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud. a.2 Pasal 1 angka 3 : Barang Kena Pajak adalah barang sebagaimana dimaksud dalam angka 2 yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini. a.3 Pasal 1 angka 5 : Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk pemesan. a.4 Pasal 1 angka 6 : Jasa Kena Pajak adalah jasa sebagaimana dimaksud dalam angka 5 yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini. a.5 Pasal 1 angka 12 : Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar menukar barang tanpa merubah bentuk. a.6 Pasal 1 angka 13 : Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis , lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya. a.7 Pasal 1 angka 14 : Pengusaha adalah orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam angka 13 yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean. a.8 Pasal 1 angka 15 : Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini, tidak termasuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. a.9 Pasal 1A ayat (1) huruf a : penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak. Penjelasan Pasal ini menyatakan bahwa perjanjian yang dimaksudkan dalam ketentuan ini meliputi jual beli, tukar menukar, jual beli dengan angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang. a.10 Pasal 4 huruf a dan c : Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. a.11 Pasal 4A ayat (2) huruf d : Penetapan jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas kelompok- kelompok barang sebagai berikut: uang, emas batangan dan surat berharga. a.12 Pasal 4A ayat (3) jo Peraturan Pemerintah Nomor 144 TAHUN 2000 tentang Jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai didasarkan atas kelompok-kelompok jasa sebagai berikut : a. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik; b. Jasa di bidang pelayanan sosial; c. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko; d. Jasa di bidang perbankan, asuransi dan sewa guna usaha dengan hak opsi; e. Jasa di bidang keagamaan; f. Jasa di bidang pendidikan; g. Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan; h. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan; i. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air; j. Jasa di bidang tenaga kerja; k. Jasa di bidang perhotelan; l. Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum. b. Bidang Pajak Penghasilan Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2000, antara lain mengatur : b.1 Pasal 2 ayat (1): yang menjadi Subjek Pajak adalah a.1) orang pribadi dan 2) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak, b. Badan dan c. bentuk usaha tetap. Di dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria berikut tidak termasuk sebagai Subjek Pajak, yaitu : - dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; - dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD; - penerimaan lembaga tersebut dimasukan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah; dan - pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara. b.2 Pasal 4 : bahwa yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun; b.3 Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 1 : atas penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto; b.4 Dalam hal penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri yang berasal dari negara yang memiliki Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), perlu dilihat terlebih dahulu jenis penghasilannya, dan apakah dapat dikenakan pajak di Indonesia berdasarkan P3B yang berlaku. Secara umum penghasilan dari sewa, hak pemajakannya berada di negara dimana assets/harta tersebut terletak, jadi apabila asset tersebut berada di Indonesia, maka dikenakan pajak di Indonesia sesuai dengan Pasal 23 (dalam hal ada BUT di Indonesia) atau Pasal 26 dalam hal tidak ada BUT di Indonesia. b.5 Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 29 TAHUN 1996 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2003, diatur bahwa besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dipotong atau dibayar sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan dan bersifat final. b.6 Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP - 170/PJ./2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2000, antara lain diatur bahwa atas penghasilan sewa dan penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 TAHUN 1996 dan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat dikenakan PPh Pasal 23 yang dihitung dari perkiraan penghasilan neto sebesar 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. 4. Berdasarkan ketentuan pada angka 3 serta memperhatikan permasalahan pada angka 2, dengan ini disampaikan tanggapan atas perlakuan perpajakan sehubungan dengan penerbitan Sukuk sebagai berikut: a. Dalam kelaziman internasional jasa keuangan bukan objek Pajak Pertambahan Nilai, Namun berdasarkan Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983 sebagaimana telah diperbaharui terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 TAHUN 2000 dinyatakan bahwa yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah Jasa di bidang perbankan, asuransi dan sewa guna usaha dengan hak opsi, akan tetapi kenyataan dalam praktek jasa keuangan seperti bunga atas pinjaman selain Bank tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Berdasarkan hal- hal tersebut diatas maka dalam Rancangan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai yang merupakan perubahan ketiga Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983 diakomodir bahwa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa keuangan. b. Pada dasarnya penerbitan Sukuk dan obligasi merupakan cara pembiayaan, walaupun sama- sama pembiayaan akan tetapi perlakuan Pajak Pertambahan Nilainya berbeda. Untuk bunga atas obligasi tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, akan tetapi untuk penerbitan Sukuk yang dalam skema transaksinya selalu melibatkan kegiatan penyerahan barang dan atau jasa, perlakuan Pajak Pertambahan Nilainya adalah sebagai berikut : 1. Dalam hal pemerintah melakukan kegiatan perdagangan dan menjalankan usaha jasa maka pemerintah termasuk dalam pengertian pengusaha, sehingga atas pengalihan asset dari pemerintah ke SPV dalam rangka penerbitan Sukuk terutang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, begitu juga penyerahan jasa sewa dari pemerintah ke SPV terutang Pajak Pertambahan Nilai. 2. Penjualan kembali asset dan penyerahan jasa oleh SPV kepada pemerintah terutang Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh SPV sebagai pihak penjual. 3. Imbalan yang diterima investor dari Sukuk tidak dikategorikan sebagai bunga karena prinsip syariah tidak mengenal bunga tapi imbalan atau sewa, oleh karena itu atas imbalan atau sewa yang diterima investor terutang Pajak Pertambahan Nilai. c. Sesuai penjelasan angka 4a dan 4b tersebut di atas dan sepanjang ketentuan dalam Undang- Undang Nomor 8 TAHUN 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 18 TAHUN 2000 belum diubah, maka atas transaksi Sukuk masih tetap dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sesuai penjelasan pada angka 4b. d. Dalam hal unit pemerintah memperoleh penghasilan berupa penjualan atau persewaan asset kepada SPV dan tidak memenuhi syarat sebagai non subjek pajak sebagaimana dijelaskan dalam butir 3b.1., maka unit tersebut merupakan subjek pajak dan memiliki kewajiban sebagai subjek pajak penghasilan. e. Dalam hal asset atau Barang Milik Negara (BMN) tersebut disewakan kembali oleh pihak SPV kepada pemerintah, maka badan pemerintah yang melakukan pembayaran berkewajiban melakukan pemotongan PPh Pasal 23 apabila SPV tersebut merupakan Wajib Pajak dalam negeri atau PPh Pasal 26 dalam hal SPV tersebut merupakan Wajib Pajak luar negeri. f. Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan bahwa atas imbalan yang diterima oleh investor dari pembelian Sukuk merupakan objek pajak penghasilan. Demikian untuk dimaklumi. Pj. Direktur, ttd. Robert Pakpahan NIP 060060167