DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 18 Juli 2003 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 478/PJ.31/2003 TENTANG PENEGASAN MENGENAI PENGENAAN PPh PASAL 26 AYAT (4) ATAS LABA YANG TELAH DIKENAKAN PPh 2% FINAL DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan surat Saudara tanggal 24 Februari 2003 perihal tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut : 1. Dalam surat Saudara sebelumnya tanggal 21 Mei 2001 disampaikan bahwa: a. BUT ABC bergerak dalam bidang proyek konstruksi/instalasi pemasangan peralatan listrik di 22 bandara di Indonesia yang dananya berasal dari APBN. Atas penghasilan yang diterima dari pelaksanaan konstruksi ini telah dikenakan Pajak Penghasilan Final sebesar 2%. b. Dari hasil pelaksanaan penyelesaian proyek konstruksi tersebut BUT ABC menderita kerugian: - dalam tahun 1997 sebesar USD 549.905; - dalam tahun 1998 sebesar USD 618.663; - dalam tahun 1999 sebesar USD 636.765; dan - dalam tahun 2000 sebesar USD 45.066. c. Selanjutnya Saudara menanyakan: 1) Mengingat perusahaan Saudara telah dikenakan Pajak Penghasilan 2% final, apakah masih terutang lagi Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (4)? 2) Apabila masih harus terutang/membayar Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (4), apakah kerugian fiskal tersebut dapat dikompensasikan? 2. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 73 TAHUN 1996 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultan, antara lain diatur bahwa atas penghasilan Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha jasa perencanaan, jasa pelaksanaan dan jasa pengawasan konstruksi, serta jasa konsultan kecuali konsultan hukum dan konsultan pajak, dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Peraturan Pemerintah tersebut terhitung mulai tanggal 1 Januari 2001 telah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 140 TAHUN 2000, yang mengatur bahwa atas penghasilan Wajib Pajak yang bergerak di bidang jasa konstruksi dan jasa konsultan dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum. 3. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 TAHUN 1994 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan sebagaimana telah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 138 TAHUN 2000 antara lain diatur bahwa pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap termasuk biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final. 4. Berdasarkan Pasal 26 ayat (4) Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2000, dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 602/KMK.04/1994 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap yang Ditanamkan Kembali Di Indonesia, antar lain diatur bahwa: a. Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia dikenakan pajak sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan. b. Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (4) tidak dikenakan terhadap penghasilan tersebut pada huruf a apabila penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, dengan syarat: 1) Penanaman kembali dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri; dan 2) Penanaman kembali dilakukan dalam tahun Pajak berjalan atau selambat-lambatnya tahun Pajak berikutnya dari tahun Pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut; dan 3) Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan berproduksi komersil. c. Wajib Pajak BUT yang melakukan penanaman kembali wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman yang dilakukan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagai lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun Pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan. 5. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 113/KMK.03/2002 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap antara lain menetapkan bahwa dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak BUT dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final, maka dasar pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang bersifat final. 6. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dengan ini ditegaskan sebagai berikut: a. Pajak Penghasilan final yang dikenakan atas penghasilan BUT ABC dari jasa konstruksi selama periode tahun 1997 sampai dengan tahun 2000 adalah Pajak Penghasilan Badan yang penghitungannya berdasarkan penerapan langsung tarif efektif atas jumlah peredaran/ penghasilan bruto, sehingga konsekuensinya tidak diakui adanya kerugian fiskal dan kompensasi kerugian fiskal dengan penghasilan tahun-tahun berikutnya yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan final; b. Berbeda dengan Pajak Penghasilan Badan yang bersifat final tersebut pada huruf a, pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (4) didasarkan atas Penghasilan Kena Pajak yang nyata (realisasi) berdasarkan pembukuan setelah dilakukan koreksi fiskal sesuai ketentuan umum Undang-undang Pajak Penghasilan, sepanjang Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi pajak tersebut tidak ditanamkan kembali secara nyata di Indonesia sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan tersebut di atas. Demikian penegasan kami untuk dimaklumi. A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK DIREKTUR, ttd IGN MAYUN WINANGUN