DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
                       DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
                                                       2 Juni 2006

                           SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
                        NOMOR S - 425/PJ.312/2006

                             TENTANG

                 PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS SPONSORSHIP

                        DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan surat Saudara Nomor xxx tanggal xxx perihal Permohonan Fasilitas Pembebasan Pajak 
atas Sponsorship, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :

1.  Dalam surat tersebut disampaikan bahwa XXX PT. ABC selaku pihak penyelenggara Kejuaran Dunia
    Balap Mobil Antar Negara Al Grand Prix of Nation memohon pembebasan pajak bagi pemberi maupun 
    penerima dukungan dana sponsorship. 

2.  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah 
    diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 TAHUN 2000, antara lain diatur sebagai berikut : 
    a.  Pasal 4 ayat (1), yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan 
        kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari 
        Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk 
        menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk 
        apapun;
    b.  Pasal 4 ayat (2), atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, penghasilan 
        dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta 
        berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya 
        diatur dengan Peraturan Pemerintah;
    c.  Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 1), yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah bantuan 
        sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat 
        yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak 
        sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan 
        antara pihak-pihak yang bersangkutan;
    d.  Pasal 6 ayat (1) huruf a, besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan 
        bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk 
        mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, 
        biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, 
        gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya 
        perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali 
        Pajak Penghasilan.
        Dalam memori penjelasannya antara lain dijelaskan bahwa untuk dapat dibebankan sebagai 
        biaya, pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau
        kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek 
        Pajak;
    e.  Pasal 9 ayat (1) huruf g, untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena pajak bagi Wajib 
        Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan harta yang dihibahkan, 
        bantuan, atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf 
        a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak 
        orang pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang 
        dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah;
    f.  Pasal 22 ayat (1), Menteri Keuangan dapat menetapkan bendaharawan pemerintah untuk 
        memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan badan-badan
        tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor 
        atau kegiatan usaha di bidang lain;
    g.  Pasal 22 ayat (2), ketentuan mengenai dasar pemungutan, sifat dan besarnya pungutan, tata 
        cara penyetoran, dan tata cara pelaporan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
        ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

3.  Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa 
    dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang 
    Nomor 18 TAHUN 2000, antara lain diatur sebagai berikut :
    a.  Pasal 3A ayat (1), Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam 
        Pasal 4 huruf a, huruf c, atau huruf f, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai 
        Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan
        Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang;
    b.  Pasal 4, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas :
            1)  Huruf a, penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh 
            Pengusaha;
            2)  Huruf b, impor Barang Kena Pajak;
            3)  Huruf c, penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh 
            Pengusaha;
            4)  Huruf d, pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di 
            dalam Daerah Pabean;
            5)  Huruf e, pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah Pabean di dalam Daerah 
            Pabean; atau
            6)  Huruf f, ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak;
    c.  Pasal 4A ayat (2) jo Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 144 TAHUN 2000 tentang Jenis 
        Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, penetapan jenis barang yang 
        tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan 
        atas kelompok-kelompok barang sebagai berikut :
            1)  barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
            sumbernya;
            2)  barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
            3)  makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan 
            sejenisnya;
            4)  uang, emas batangan, dan surat-surat berharga;
    d.  Pasal 4A ayat (3) jo Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 144 TAHUN 2000 tentang Jenis 
        Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, penetapan jenis jasa yang 
        tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan 
        atas kelompok-kelompok jasa sebagai berikut :
            1)  jasa di bidang pelayanan kesehatan medik;
            2)  jasa di bidang pelayanan sosial;
            3)  jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko;
            4)  jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi;
            5)  jasa di bidang keagamaan;
            6)  jasa di bidang pendidikan;
            7)  jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan;
            8)  jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;
            9)  jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air;
            10) jasa di bidang tenaga kerja;
            11) jasa di bidang perhotelan;
            12) jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan 
            secara umum.

4.  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 TAHUN 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan 
    Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 TAHUN 2000, antara lain diatur 
    sebagai berikut : 
    a.  Pasal 2 ayat (1), yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau 
        bangunan;
    b.  Pasal 2 ayat (2) huruf a angka 3 dan angka 13, perolehan hak atas tanah dan atau bangunan
        sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pemindahan hak karena hibah dan hadiah;
    c.  Pasal 5, tarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen);
    d.  Pasal 6 ayat (1), dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehen Objek Pajak;
    e.  Pasal 6 ayat (2) huruf c dan huruf n, Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud 
        dalam ayat (1), dalam hal hibah dan hadiah adalah nilai pasar;
    f.  Pasal 6 ayat (3), apabila Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) 
        huruf a sampai dengan n tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak 
        yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya 
        perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan 
        Bangunan;
    g.  Pasal 8 ayat (1), Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak 
        dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak;
    h.  Pasal 8 ayat (2), besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak 
        dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak.

5.  Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 48 TAHUN 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan 
    atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah diubah 
    terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomro 79 TAHUN 1999, antara lain diatur sebagai berikut :
    a.  Pasal 1 ayat (2) huruf a, pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana
        dimaksud pada ayat (1) adalah penjualan tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, 
        pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak
        lain selain pemerintah;
    b.  Pasal 4 ayat (1), besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) 
        dan Pasal 3 ayat (1) adalah 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas 
        tanah dan/atau bangunan;
    c.  Pasal 4 ayat (2), nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah nilai yang
        tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah 
        dan/atau bangunan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
        12 TAHUN 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
        Undang Nomor 12 TAHUN 1994;
    d.  Pasal 4 ayat (3), Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Nilai Jual
        Objek pajak menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan tahun
        yang bersangkutan, atau dalam hal Surat Pemberitahuan Pajak Terutang dimaksud belum 
        terbit, adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang tahun pajak
        sebelumnya;
    e.  Pasal 5 huruf c, dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) adalah orang pribadi atau
        badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan sehubungan dengan hibah yang
        diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan kepada 
        badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk 
        koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada 
        hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak
        yang bersangkutan.

6.  Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 tentang Penunjukan Pemungut 
    Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat, dan Besarnya Pungutan serta Tata Cara Penyetoran dan 
    Pelaporannya sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 
    236/KMK.03/2003, antara lain diatur sebagai berikut : 
    a.  Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2, besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 
        atas impor yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 2,5% (dua setengah 
        persen) dari nilai impor dan yang tidak menggunakan API, sebesar 7,5% (tujuh setengah 
        persen) dari nilai impor;
    b.  Pasal 2 ayat (2), nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea 
        Masuk yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan 
        lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pabean di 
        bidang impor;
    c.  Pasal 3 ayat (1) huruf b angka 3), dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 
        adalah impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan
        Nilai barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, atau kebudayaan.

7.  Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut : 
    a.  Pembebasan Pajak Penghasilan atas sponsorship dalam rangka Kejuaraan Dunia Balap Mobil
        Antar Negara Al Grand Prix of Nation tidak diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, 
        namun demikian sepanjang sponsorship yang diterima atau diperoleh PT ABC (penerima 
        dukungan dana sponsorship) merupakan bantuan sumbangan yang tidak ada hubungan 
        dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang 
        bersangkutan, maka sumbangan tersebut bagi PT ABC (penerima dukungan dana 
        sponsorship) tidak termasuk sebagai Objek Pajak Penghasilan dan bagi pemberi dukungan 
        dana sponsorship tidak boleh dikurangkan sebagai biaya dalam menentukan besarnya 
        Penghasilan Kena pajak pemberi dukungan dana sponsorship;
    b.  Sepanjang sponsorship yang diterima atau diperoleh PT ABC (penerima dukungan dana 
        sponsorship) tidak termasuk dalam penegasan huruf a di atas atau merupakan bantuan 
        sumbangan yang ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan 
        antara pihak-pihak yang bersangkutan, maka sponsorship tersebut bagi PT ABC (penerima 
        dukungan dana sponsorship) termasuk sebagai Objek Pajak Penghasilan;
    c.  Atas sponsorship berupa pengalihan tanah dan atau bangaunan, termasuk hibah, dari 
        pemberi dukungan dana sponsorship kepada PT ABC (penerima dukungan dana sponsorship) 
        terutang pajak sebagai berikut :
            1)  Bagi pemberi dukungan dana sponsorship terutang Pajak Penghasilan sebesar 5% 
            (lima persen) dari jumlah bruto nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta 
            Pengalihan Hak atas tanah dan/atau bangunan dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah 
            dan/atau bangunan menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan 
            Bangunan tahun yang bersangkutan, atau dalam hal Surat Pemberitahuan Pajak 
            Terutang dimaksud belum terbit, adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat 
            Pemberitahuan Pajak Terutang tahunn pajak sebelumnya; dan
            2)  Bagi PT ABC (penerima dukungan dana sponsorship) terutang Bea perolehan Hak 
            atas Tanah dan Bangunan sebesar 5% (lima persen) dari nilai yang tertinggi antara 
            nilai pasar tanah dan bangunan dengan Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan, 
            setelah dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak;
    d.  Atas sponsorship berupa impor oleh PT ABC (penerima dukungan dana sponsorship) terutang
        Pajak Penghasilan Pasal 22 sebesar 2,5% (dua setengah persen) dari nilai impor sepanjang 
        menggunakan API atau sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor sepanjang tidak 
        menggunakan API; 
    e.  Atas penyerahan barang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan apda butir 3 huruf c dan 
        atau penyerahan jasa sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pada butir 3 huruf d, tidak 
        terutang/dikenakan Pajak Pertambahan Nilai; 
    f.  Namun demikian, atas penyerahan barang dan atau penyerahan jasa selain sebagaimana 
        diatur dalam penegasan huruf e di atas tetap terutang/dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. 

Demikian kami sampaikan.




Direktur Jenderal, 

ttd. 

Darmin Nasution 
NIP 130605098


Tembusan :
1.  Menteri Keuangan; 
2.  Menteri Negara Pemuda dan Olahraga; 
3.  Direktur Pajak Penghasilan; 
4.  Direktur Pajak Pertambahan Nilai dan PTLL; 
5.  Direktur Peraturan Perpajakan; 
6.  Ketua Umum KONI Pusat; 
7.  XXX PT ABC.