DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK


 

 

 

 

    12 Januari 2006

SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S-23/PJ.53/2006

TENTANG

MOHON PENJELASAN BARANG BEBAS PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

 

         Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 23 Juni 2005 hal sebagaimana tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :

1.

 Dalam surat tersebut Saudara mengemukakan :

 

a.

Sehubungan dengan pengadaan mesin diesel genzet produk Jerman merk XXX dengan harga Rp 590.000.000 yang dikontrakkan oleh Perangkat Daerah/Pengguna Anggaran kepada pihak ketiga, pihak penyedia jasa (kontraktor) tidak bersedia melakukan penyetoran pajak (PPN/PPh) karena tergolong barang impor.

 

b.

Untuk itu, Saudara meminta penjelasan secara tertulis tentang dasar hukum yang berkaitan dengan transaksi tersebut.

2.

Undang-Undang Nomor **8 TAHUN 1983** tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajakn Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor **18 TAHUN 2000**, antara lain mengatur :

 

a.

Pasal 1 angka 27, bahwa Pemungut PPN adalah bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah tersebut.

 

b.

Pasal 4 huruf a dan huruf b, bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha dan impor Barang Kena Pajak;

3.

Pasal 26 ayat 1 huruf j Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan menyebutkan bahwa pembebasan atau keringanan Bea Masuk dapat diberikan atas impor barang oleh Pemerintah pusat atau Pemerintah daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum. Di dalam memori penjelasan, yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan masyarakat yang tidak mengutamakan kepentingan di bidang keuangan, misalnya proyek pemasangan lampu jalan umum.

4.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor **231/KMK.03/2001** tentang Perlakuan PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Atas Impor Barang Kena Pajak Yang Dibebaskan dari Pungutan Bea Masuk sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan No. **616/PMK.03/2004**, antara lain mengatur :

 

a.

Pasal 2 ayat (1), bahwa impor Barang Kena Pajak yang Dibebaskan dari pungutan Bea Masuk tetap dipungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

 

b.

Pasal 2 ayat (2), bahwa menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), atas impor sebagian Barang Kena Pajak yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk, tidak dipungut PPN dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

 

c.

Pasal 2 ayat (3) huruf j, bahwa Barang Kena Pajak yang Dibebaskan dari pungutan Bea Masuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah Barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum

5.

Keputusan Menteri Keuangan No. **563/KMK.03/2003** tentang Penunjukkan Bendaharawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara Untuk Memungut, Menyetor dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah beserta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya, antara lain mengatur :

 

a.

Pasal 1 angka 1, bahwa Bendaharawan Pemerintah adalah Bendaharawan atau Pejabat yang melakukan pembayaran yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang terdiri dari Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah baik Propinsi, Kabupaten, atau Kota.

 

b.

Pasal 1 angka 2, bahwa Pengusaha Kena Pajak Rekanan pemerintah adalah Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada bendaharawan Pemerintah atau Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.

 

c.

Pasal 2 ayat (1), bahwa Bendaharawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara ditetapkan sebagai Pemungut PPN.

 

d.

Pasal 2 ayat (2) Pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang melakukan pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah atas nama Pengusaha Pajak Rekanan Pemerintah, wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang.

 

e.

Pasal 5 ayat (1), bahwa Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dilakukan pada saat pembayaran dengan cara pemotongan secara langsung dari tagihan Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah.

 

f.

Pasal 5 ayat (2), bahwa Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah berakhirnya bulan terjadinya pembayaran tagihan.

 

g.

Pasal 5 ayat (3), bahwa dalam hal hari ketujuh jatuh pada hari libur, maka penyetoran dilakukan pada hari kerja berikutnya.

 

h.

Pasal 6 ayat (1), bahwa Bendaharawan Pemerintah wajib melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut dan disetor ke Kantor Pelayanan Pajak dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara setempat, paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah berakhirnya bulan dilakukan pembayaran tagihan.

 

i.

Pasal 6 ayat (2), bahwa Pelaporan pemungutan dan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak penjualan Atas barang Mewah sebagaimana dalam ayat (1) dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

6.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor **539/KMK.04/1990** tentang Pajak Penghasilan Pasal 22, Pajak Pertambahan Nilai dan atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Untuk Kegiatan Usaha Di Bidang Impor Atas Dasar Inden, antara lain mengatur :

 

a.

Pasal 1, bahwa impor atas dasar inden adalah suatu kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh importir untuk dan atas nama pemesan (indentor) berdasarkan perjanjian pemasukan barang impor antara importir dengan indentor yang segala pembiayaan impor antara lain pembukaan L/C, bea, pajak maupun biaya yang berhubungan dengan impor sepenuhnya menjadi beban indentor dan sebagai balas jasa importir memperoleh komisi (handling fee) dari indentor.

 

b.

Pasal 2 ayat (1), bahwa importir yang melakukan impor atas dasar inden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, diwajibkan mencantumkan tambahan penjelasan (q.q) nama, alamat, dan NPWP indentor pada setiap lembar Pemberitahuan Impor Untuk Dipakai (PIUD) dan Surat Setoran Pajak (SSP).

 

c.

Pasal 2 ayat (2), bahwa Bank Devisa atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kantor Pos tempat pemasukan PIUD sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membubuhkan cap “Impor Atas Dasar Inden” pada setiap lembar PIUD yang bersangkutan.

 

d.

Pasal 3, bahwa importir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), untuk dan atas nama indentor wajib melunasi Pajak Penghasilan 22, Pajak Pertambahan Nilai dan atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

 

e.

Pasal 4 ayat (2), bahwa Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pajak Pertambahan Nilai yang telah dilunasi oleh Importir yang melakukan impor atas dasar inden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan atau Pajak Keluaran yang terutang oleh indentor yang bersangkutan dengan bukti PIUD dan SSP yang telah dipenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

7.

Berdasarkan ketentuan pada angka 2 sampai angka 6 serta memperhatikan isi surat Saudara pada angka 1 diatas, dengan ini ditegaskan bahwa :

 

a.

Atas impor mesin diesel genzet produk Jerman merk XXX tidak dipungut PPN dan PPnBM sepanjang mesin tersebut merupakan barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum. Namun, apabila mesin diesel tersebut bukan ditujukan untuk kepentingan umum, atas impor mesin tersebut tetap terutang PPn dan PPnBM.

 

b.

Apabila impor mesin tersebut dilakukan oleh kontraktor untuk dan atas nama Perangkat Daerah/Pengguna Anggaran Kabupaten Lembaga sebagai pemesan (indentor), maka berlaku ketentuan impor atas dasar inden sebagaimana dimaksud pada butir 6 di atas.

 

c.

Apabila impor yang dilakukan bukan berdasarkan impor atas dasar inden, maka atas penyerahan mesin diesel dari kontraktor sebagai importir kepada Perangkat Daerah/Pengguna Anggaran Kabupaten Lembaga tetap terutang PPN dan PPnBM. Perangkat Daerah/ Pengguna Anggaran Kabupaten Lembaga sebagai Bendaharawan Pemerintah wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang.

 

d.

Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah (Kontraktor) membuat Faktur Pajak dan SSP pada saat menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah atau KPKN. PPN yang dipungut berfungsi sebagai Pajak Keluaran bagi PKP rekanan Pemerintah (kontraktor).

 

e.

SSP diisi dengan membubuhkan NPWP dan identitas kontraktor, tetapi penandatangan SSP dilakukan oleh Perangkat Daerah/Pengguna Anggaran sebagai penyetor atas nama kontraktor.

 

f.

Faktur Pajak dibuat dalam rangkap tiga dimana lembar ke-1 untuk Perangkat Daerah sebagai pemungut PPN, lembar ke-2 untuk arsip kontraktor dan lembar ke-3 untuk KPP melalui Perangkat Daerah.

 

 

 

 

 

 

 

         Demikian untuk dimaklumi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

A.n. DIREKTUR JENDERAL
DIREKTUR PPN DAN PTLL,

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ttd.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

A. SJARIFUDDIN ALSAH
NIP 060044664