DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 27 September 1995 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 1982/PJ.52/1995 TENTANG FAKTUR PAJAK DAN KOMISI YANG DITERIMA DARI LUAR NEGERI (SEBELUM BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG PPN 1994) DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 1 Agustus 1995 perihal tersebut pada pokok surat, setelah mempelajari permasalahan yang Saudara ajukan dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut : 1. Sesuai dengan Pasal 33 Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan "Pembeli atau penerima jasa bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti pembayaran pajak. Tanggung jawab renteng Pembeli dalam ketentuan di atas dimaksudkan agar pembeli/penerima jasa memenuhi kewajiban perpajakannya. Dalam hal Saudara telah melakukan pembelian barang pada PT. XYZ dan Saudara (PT. ABC) dapat membuktikan telah melakukan pembayaran termasuk PPN-nya kepada PT. XYZ, maka tanggungjawab pembayaran pajak beralih ke penjual dalam hal ini PT. XYZ. Oleh sebab itu apabila kemudian ternyata PT. XYZ tidak menyetorkan PPN tersebut maka kepada PT. XYZ akan diterbitkan SKP beserta sanksinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku oleh KPP tempat PT. XYZ dikukuhkan sebagai PKP. 2. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-13/PJ.3/1989 tanggal 18 April 1989 dijelaskan bahwa dalam rangka pembinaan dan bimbingan kepada PKP, para PKP masih diperbolehkan untuk tidak mencantumkan NPWP pembeli BKP/penerima JKP (tergolong Faktur Pajak tidak lengkap) tanpa dikenai sanksi. Dengan dikeluarkannya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-14/PJ.5/1993 tanggal 23 Mei 1993 maka kelonggaran tersebut dicabut sejak 1 Juni 1993, sesuai dengan mulai berlakunya Surat Edaran tersebut. Dengan demikian atas Faktur Pajak tidak lengkap yang dibuka sebelum 1 Juni 1993 masih berlaku ketentuan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-13/PJ.3/1989. Namun apabila diterbitkan pada tanggal 1 Juni 1993 atau sesudahnya, berlaku ketentuan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-14/PJ.5/1993 yang antara lain menegaskan bahwa atas Faktur Pajak yang tidak lengkap dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 13 ayat (8) UU PPN 1994. 3. PT. ABC adalah agen tunggal dari beberapa perusahaan prinsipal yang berkedudukan di luar negeri untuk wilayah Indonesia. Selain pembeli yang membeli langsung dari PT. ABC, ada juga perusahaan PMDN/PMA yang mengimpor langsung dari prinsipal luar negeri. Atas transaksi yang demikian PT. ABC menerima sejumlah komisi dari prinsipal karena masih dalam wilayah pemasaran PT. ABC. Komisi yang diterima oleh PT. ABC dari prinsipal luar negeri tersebut pada hakekatnya sebagai imbalan dari penyerahan jasa perdagangan (jasa perantara, pemasaran, maupun mencarikan pembeli untuk produk prinsipal luar negeri) kepada dan untuk pemanfaatan prinsipal yang berkedudukan di luar negeri. Atas komisi yang diterima langsung dari prinsipal luar negeri tersebut tidak terutang PPN, sepanjang memenuhi 2 (dua) persyaratan sekaligus sebagai berikut : a. penerimaan komisi itu didukung dengan perjanjian tertulis yang dibuat secara langsung antara PT. ABC dan prinsipal yang berkedudukan di luar negeri, dalam arti tidak melalui BUT nya di Indonesia (bila ada), ataupun tidak melalui pembeli/importir di Indonesia, dan b. pembayaran penggantian atas jasa tersebut dibayar secara langsung oleh prinsipal di luar negeri, dalam arti tidak melalui BUT nya di Indonesia (bila ada), ataupun tidak melalui pembeli/importir di Indonesia. Jika salah satu persyaratan tersebut di atas tidak dipenuhi, maka penyerahan jasa tersebut memenuhi kualifikasi sebagai penyerahan jasa di dalam Daerah Pabean sehingga oleh karena itu terutang PPN. Demikian untuk dimaklumi. A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK DIREKTUR PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK TIDAK LANGSUNG LAINNYA ttd SAROYO ATMOSUDARMO