DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
                       DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
                                                         7 Oktober 1985

                           SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
                        NOMOR S - 1821/PJ.21/1985

                            TENTANG

             JAWABAN PERTANYAAN DARI DIREKTORAT JENDERAL PERTAMBANGAN UMUM

                        DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan surat Saudara tanggal 22 Agustus 1985 Nomor XXX perihal seperti tersebut pada pokok 
surat ini, maka sebelum kami berikan jawaban atas hal-hal khusus yang Saudara ajukan bersama ini diberikan 
penjelasan sebagai berikut :

1.      Sebagaimana mungkin telah diketahui, Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 menganut prinsip 
    obyek-pajak yang luas ("broad-based taxation"), yaitu bahwa pengenaan pajak didasarkan pada 
    obyek yang luas, sehingga berarti bahwa PPh dikenakan atas semua penghasilan dan pada dasarnya 
    tanpa mengenal adanya pembebasan-pembebasan sebagaimana dapat diikuti Pasal 4 Undang-undang 
    Pajak Penghasilan 1984. Sesuai dengan Pasal 4 tersebut, yang di maksud dengan penghasilan adalah 
    setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Subyek Pajak dalam suatu tahun 
    pajak. Penghasilan tersebut merupakan aliran arus penghasilan dari pihak yang membayarkan ke 
    pihak yang menerima penghasilan, yang oleh Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 ditentukan 
    ada titik-titik mana aliran tersebut dikenakan pajak. Titik-titik tersebut ditentukan pada pihak yang 
    membayarkan atau pada pihak yang menerima penghasilan. Penentuan titik mana yang akan dipilih 
    didasarkan atas pertimbangan, yang manakah yang akan lebih menunjang tercapainya sasaran-
    sasaran dari Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. "Broad-based taxation" disertai penurunan tarif 
    dan peningkatan jumlah penghasilan yang tidak dikenakan pajak dianggap oleh Pemerintah sebagai 
    cara terbaik untuk mencapai sasaran keadilan dalam System Perpajakan Nasional kita.

2.      Berkenaan dengan pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dalam bentuk natura atau
    kenikmatan lain (fringe benefits), pemotongan Pajak Penghasilannya dapat ditentukan apakah pada 
    pihak yang memberikan (pemberi kerja) atau pada pihak yang menerima (karyawan). Dalam hal ini 
    Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 menganut prinsip "deductibility-taxability" yaitu jika pada 
    pihak pemberi kerja pemberian tersebut boleh dikurangkan sebagai biaya, maka pada pihak 
    karyawan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak. Sebaliknya, jika pada pihak karyawan 
    pemberian tersebut bukan merupakan penghasilan, maka pada pihak pemberi kerja tidak dapat 
    dikurangkan sebagai biaya. Atas aliran arus tambahan kemampuan ekonomi ini Undang-Undang 
    menentukan, bahwa pengenaan Pajak Penghasilan atas fringe benefits adalah pada pihak pemberi 
    kerja, dan dengan demikian pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan tersebut tidak boleh 
    dikurangkan sebagai biaya, dan pihak karyawan yang menerima dibebaskan dari pengenaan Pajak 
    Penghasilan, karena sudah dikenakan pada pemberi kerja.

Adapun mengenai hal-hal khusus yang Saudara ajukan dalam surat tersebut, bersama ini kami berikan
jawaban sesuai dengan butir-butir yang berkenaan, sebagai berikut :

1.      Fasilitas pengobatan.
    1.1.    Di klinik dan Rumah sakit perusahaan.
        -   Bagi karyawan yang bersangkutan fasilitas pengobatan yang tidak diberikan dalam 
            bentuk uang tunai, bukan merupakan penghasilan. Dengan demikian bagi perusahaan 
            pengeluaran tersebut tidak dapat dikurangkan sebagai biaya.

            Agar perusahaan dapat mengurangkan pengeluaran tersebut sebagai biaya, kepada 
            masing-masing karyawan harus diberikan tunjangan pengobatan sebesar jumlah 
            biaya yang dipakai untuk keperluan pengobatan tersebut. Untuk mengetahui jumlah 
            ini Klinik atau Rumah Sakit harus membuat tata usaha mengenai besarnya biaya 
            pengobatan masing-masing karyawan tiap bulan.

            Tunjangan pengobatan ini kemudian oleh perusahaan dipotong kembali dari
            penghasilan karyawan yang telah dikenakan pajak pada tiap akhir bulan, dan jumlah 
            hasil pemotongan itu dibayarkan untuk penyelenggaraan Klinik atau Rumah Sakit.

            Tunjangan ini merupakan penghasilan yang dikenakan pajak bagi karyawan, dan
            dengan demikian merupakan pengeluaran yang dapat dikurangkan bagi perusahaan.

            Dengan pertambahan penghasilan karyawan sebagai akibat dari tunjangan 
            pengobatan ini, karyawan dengan sendirinya akan membayar PPh yang lebih besar. 
            Tambahan beban PPh ini dapat diringankan oleh perusahaan dengan jalan 
            memberikan tunjangan pajak kepada karyawan yang bersangkutan sebesar 
            tambahan beban pajak tersebut. Pembayaran tunjangan pajak ini bagi perusahaan 
            juga merupakan pengeluaran yang dapat dikurangkan sebagai biaya.

    1.2.    Di Klinik, Dokter dan Rumah Sakit di luar perusahaan.
        Jika biaya pengobatan karyawan dibayarkan langsung kepada Klinik, Dokter, dan Rumah 
        Sakit lain di luar perusahaan, maka bagi karyawan merupakan kenikmatan, yang tidak
        dikenakan PPh, dengan demikian biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dalam menghitung 
        penghasilan kena pajak perusahaan. Jika biaya pengobatan tersebut diberikan kepada 
        karyawan dalam bentuk penggantian tunai, bagi karyawan penggantian ini merupakan 
        penghasilan karyawan yang dikenakan pajak pada karyawan yang bersangkutan. Dengan 
        demikian merupakan biaya yang dapat dikurangkan dalam menghitung penghasilan kena 
        pajak perusahaan. Pertambahan penghasilan sebagai akibat pemberian penggantian ini akan 
        menambah beban Pajak Penghasilan karyawan yang bersangkutan; untuk meringankan 
        beban tambahan pajak ini dapat ditempuh jalan sebagaimana diuraikan pada butir 1.1. di atas.

2.      Perumahan karyawan yang berkaitan erat dengan aktifitas pertambangan.

    2.1.    Pemberian perumahan karyawan yang tidak terletak di daerah terpencil. Bagi karyawan
        fasilitas perumahan tersebut bukan merupakan obyek pajak, dengan demikian bagi 
        perusahaan pengeluaran untuk perumahan tersebut (penyusutan dan exploitasi) tidak dapat 
        dikurangkan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak.

        Agar perusahaan dapat mengurangkan pengeluaran tersebut sebagai biaya, kepada karyawan 
        harus diberikan tunjangan perumahan minimal sebesar jumlah penyusutan dan exploitasi 
        rumah yang bersangkutan.

        Pertambahan penghasilan sebagai akibat pemberian tunjangan perumahan ini akan 
        menambah beban Pajak Penghasilan karyawan yang bersangkutan. Untuk meringankan
        tambahan pajak kepada karyawan ini, dapat ditempuh jalan sebagaimana diuraikan pada
        butir 1.1. tersebut diatas.

    2.2.    Pemberian perumahan yang terletak di daerah terpencil.
        Pengeluaran untuk perumahan di daerah terpencil, sebagaimana dimaksud dalam Keputusan 
        Menteri Keuangan Nomor 960/KMK.04/1983 adalah merupakan pengeluaran yang dapat 
        dibebankan sebagai biaya perusahaan, dan berdasarkan prinsip umum sebagaimana 
        diuraikan di atas, merupakan penghasilan yang dikenakan pajak kepada karyawan yang 
        bersangkutan.

    2.3.    Mess untuk transit.
        Bagi karyawan fasilitas tersebut bukan merupakan penghasilan, dan bagi perusahaan
        merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya.

3.      Perlengkapan keselamatan kerja yang diwajibkan oleh Peraturan-peraturan keselamatan kerja.
    Bagi karyawan yang bersangkutan bukan merupakan penghasilan dan bagi perusahaan adalah
    merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan dalam menghitung PPh 
    perusahaan.

4.      Fasilitas rekreasi dan olahraga di lapangan untuk menjaga kesehatan dan moral karyawan karena
    jauh dari kota.

    Bagi karyawan yang bersangkutan bukan merupakan penghasilan dan bagi perusahaan merupakan 
    pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya.

5.      Biaya perjalanan.
    5.1.    Biaya perjalanan dalam rangka perjalanan dinas.
        Sesuai dengan jawaban pada butir 3.

    5.2.    Biaya perjalanan bagi karyawan yang berpisah keluarga.
        Dalam hal diberikan dalam bentuk kenikmatan, maka bagi karyawan yang bersangkutan
        bukan merupakan penghasilan dan bagi perusahaan bukan merupakan pengeluaran yang
        dapat dibebankan sebagai biaya. Dalam hal biaya tersebut diberikan dalam bentuk
        tunjangan, maka perlakuannya sesuai dengan jawaban pada butir 1.1.

    5.3.    Biaya perjalanan pemulangan karyawan ke tempat semula melamar pekerjaan karena PHK, 
        sakit-sakitan dan pensiun.
        Sesuai dengan jawaban pada butir 3.

6.      Fasilitas latihan dan pendidikan beserta biaya-biaya untuk itu dalam rangka meningkatkan 
    keterampilan karyawan agar proses Indonesianisasi dapat terlaksana sesuai Keppres No. 37/72.

    Sesuai dengan jawaban pada butir 3.

7.      Fasilitas cafetaria.
    Bagi karyawan yang bersangkutan bukan merupakan penghasilan, dan dengan demikian bagi
    perusahaan bukan merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya untuk menghitung 
    PPh perusahaan.

    Agar pengeluaran ini dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan ditempuh cara pada butir 1, yaitu 
    kepada karyawan ditambahkan pada penghasilannya yang kena pajak tunjangan makan di cafetaria.

8.      Fasilitas kendaraan untuk keperluan dinas di lapangan.
    Apabila semata-mata dipakai untuk keperluan perusahaan dan sama sekali tidak pernah dipakai untuk 
    keperluan pribadi (tidak pernah dibawa pulang ke rumah), sesuai dengan jawaban pada butir 3.

9.      Asuransi kecelakaan.
    Bagi karyawan merupakan penghasilan, dan dengan demikian bagi perusahaan merupakan 
    pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya.

    Untuk meringankan karyawan membayar tambahan pajak akibat pembayaran asuransi kecelakaan 
    ini, kepada karyawan dapat diberikan tunjangan pajak sebagaimana diuraikan pada butir 1.1.

    Dalam hal dikemudian hari karyawan memperoleh penggantian karena kecelakaan dari perusahaan 
    asuransi, penggantian ini tidak lagi merupakan penghasilan karyawan yang dikenakan Pajak 
    Penghasilan; perusahaan asuransi tidak memotong PPh atas pembayaran uang asuransi.

10.     Jawaban atas pertanyaan ini dapat di berikan jika bentuk fasilitas yang diberikan sudah pasti, namun 
    prinsip umum : "fringe benefits" tidak merupakan penghasilan karyawan dan bukan biaya yang boleh 
    dikurangkan dari penghasilan kena pajak perusahaan.

Demikian jawaban kami untuk dimaklumi.




DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd

Drs. SALAMUN A.T.