PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
                     NOMOR 36 TAHUN 1983

                        TENTANG

                    PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984

                       PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
    
bahwa pelaksanaan Pasal 9 ayat (1) huruf b dan huruf d, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (3), Pasal 25, Pasal 
27, dan Pasal 35 Undang-undang tentang Pajak Penghasilan perlu diatur lebih lanjut dengan Peraturan 
Pemerintah;

Mengingat :

1.  Pasal 5 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945;
2.  Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran 
    Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);
3.  Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 
    Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263);
4.  Peraturan Pemerintah Nomor 35 TAHUN 1983 tentang Pendaftaran, Pemberian Nomor Pokok Wajib 
    Pajak, Penyampaian Surat Pemberitahuan, dan Persyaratan Pengajuan Keberatan (Lembaran Negara 
    Tahun 1983 Nomor 52);

                         MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984.


                        BAB I
            DANA CADANGAN KHUSUS DAN FAKTOR PENYESUAIAN

                        Pasal 1

(1) Untuk menghitung penghasilan netto pada usaha bank dan asuransi diperbolehkan dikurangi sebagai 
    biaya, penyisihan untuk keperluan pembentukan dan pemupukan dana cadangan khusus.

(2) Dana cadangan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari:
   a.  dana cadangan penghapusan piutang ragu-ragu untuk jenis usaha bank;memperlihatkan kartu 
        tanda pengenal Jurusita Pajak;
   b.  dana cadangan premi untuk jenis usaha asuransi jiwa;
   c.  dana cadangan premi dan cadangan kerugian untuk jenis usaha kerugian.

(3) Besarnya dana cadangan khusus serta hal-hal lain yang bersangkutan dengan pembentukan dan 
    pemupukan dana cadangan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih 
    lanjut oleh Menteri Keuangan.


                        Pasal 2

(1) Dasar penghitungan pajak bagi : 
   a.  penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta yang tidak dipergunakan dalam perusahaan 
        dan telah dimiliki sebelum tanggal 1 Januari 1984, adalah selisih antara harga penjualan 
        dengan nilai peroleh harta pada tanggal 1 Januari 1984;
   b.  penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta yang tidak dipergunakan dalam perusahaan 
        yang dimiliki setelah tanggal 31 Desember 1983, adalah selisih antara harga penjualan atau 
        nilai pengalihan pada saat terjadinya transaksi dengan harga atau nilai perolehan harta 
        tersebut.

(2) Nilai perolehan harta pada tanggal 1 Januari 1984 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan 
    harga atau nilai perolehan harta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b harus terlebih dahulu 
    dikalikan dengan suatu faktor penyesuaian yang besarnya akan ditetapkan oleh Menteri Keuangan.  


                        BAB II
                          TARIF EFEKTIF RATA-RATA

                        Pasal 3

(1) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta yang tidak dipergunakan dalam perusahaan 
    atau penghasilan beberapa tahun yang diterima atau diperoleh sekaligus, dikenakan Pajak 
    Penghasilan dengan cara menerapkan tarif efektif rata-rata.

(2) Tarif efektif rata-rata sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh dengan cara menerapkan 
    Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 atas suatu jumlah penghasilan yang terdiri dari 
    penghasilan teratur ditambah dengan penghasilan beberapa tahun yang diterima atau diperoleh 
    sekaligus yang dibagi dengan banyaknya tahun pajak yang berkenaan.

(3) Untuk Wajib Pajak orang pribadi atau perseorangan jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud ayat 
    (2) dikurangi terlebih dahulu dengan penghasilan tidak kena pajak.

(4) Tarif efektif rata-rata yang dihasilkan dari penghitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), 
    dibulatkan ke bawah apabila angka di belakang koma 5 atau kurang, dan dibulatkan ke atas apabila 
    angka dibelakang koma lebih dari 5.

(5) Penghasilan teratur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah penghasilan yang pada umumnya 
    secara berkala diterima atau diperoleh dalam setiap masa atau tahun pajak.

(6) Untuk uang tebusan pensiun yang diterima atau diperoleh sekaligus, banyaknya tahun pajak yang 
    berkenaan dihitung sebanyak 10 (sepuluh) tahun.


                        BAB III
           PELUNASAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN MELALUI PIHAK KETIGA

                        Pasal 4

(1) Pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
    21 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 terhutang pada saat 
    pembayaran atau saat lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

(2) Pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari modal dan jasa-jasa oleh pihak-pihak 
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 
    terhutang pada saat pembayaran atau pada saat terhutangnya penghasilan yang bersangkutan.


                        Pasal 5

Hal-hal yang bersangkutan dengan pelaksanaan pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 21 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 atas penghasilan pegawai atau karyawan 
harian dan mingguan serta atas penghasilan berupa honorarium yang tidak termasuk pembayaran yang 
teratur, dan pelaksanaan pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
22 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.


                        Pasal 6

(1) Dividen dari saham yang diperdagangkan melalui Pasar Modal dan dividen dari sertifikat yang 
    jumlahnya tidak melebihi suatu jumlah tertentu, tidak dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan 
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.   

(2) Batas jumlah tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebesar Rp. 960.000,- 
    (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) untuk setiap tahun atau Rp. 480.000,- (empat ratus delapan 
    puluh ribu rupiah) untuk setiap 6 (enam) bulan. 

(3) Besarnya batas jumlah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) akan disesuaikan dengan suatu faktor 
    penyesuaian yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.  


                        BAB IV
        PELUNASAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN OLEH WAJIB PAJAK SENDIRI

                        Pasal 7

(1) dasar penghitungan Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun 
    berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, yang 
    selanjutnya disingkat PPh Pasal 25, dalam hal terdapat sisa kerugian yang belum dikompensasikan 
    adalah Pajak Penghasilan yang dihitung atas dasar penghasilan netto menurut Surat Pemberitahuan 
    Tahunan terakhir, kecuali apabila pajak yang ditetapkan terakhir oleh Direktur Jenderal Pajak 
    jumlahnya lebih besar dikurangi dengan jumlah sisa kerugian yang belum dikompensasikan tersebut.

(2) Dasar penghitungan PPh Pasal 25 setelah tahun pelaksanaan kompensasi kerugian terakhir, adalah 
    Pajak Penghasilan yang dihitung atas dasar penghasilan netto menurut Surat Pemberitahuan Tahunan 
    terakhir, kecuali apabila pajak yang ditetapkan terakhir oleh Direktur Jenderal Pajak jumlahnya lebih 
    beasr, maka kompensasi kerugian tidak dihitungkan.  


                        Pasal 8

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan bagi :
a.  jenis usaha bank dan lembaga keuangan lainnya serta badan-badan lain yang ditunjuk oleh Direktur 
    Jenderal Pajak, adalah jumlah Pajak Penghasilan yang terhutang atas penghasilan kena pajak 
    berdasarkan laporan keuangan triwulanan terakhir yang dijadikan 1 (satu) tahun, dibagi 12 (dua 
    belas); 
b.  badan usaha milik Negara dan Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, adalah jumlah Pajak 
    Penghasilan yang terhutang atas penghasilan kena pajak berdasarkan Rencana Anggaran Pendapatan 
    dan Belanja (RAPB) yang telah selesai disusun pada awal tahun pajak dikurangi kredit pajak 
    sebelumnya, dibagi 12 (dua belas).  


                        Pasal 9

(1) Penghasilan teratur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) yang dijadikan dasar penghitungan 
    PPh Pasal 25 atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta, atau penghasilan beberapa tahun 
    yang diterima atau diperoleh sekaligus adalah penghasilan teratur  berdasarkan Surat Pemberitahuan 
    Tahunan terakhir, kecuali apabila pajak ditetapkan terakhir oleh Direktur Jenderal Pajak jumlahnya 
    lebih besar.    

(2) PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kredit pajak untuk Pajak Penghasilan 
    yang terhutang dari tahun pajak yang bersangkutan.  


                        Pasal 10

Apabila dasar penghitungan PPh Pasal 25 mengandung penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 
(1), maka penghasilan tersebut dikurangkan terlebih dahulu.


                        Pasal 11

(1) Besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan bagi Wajib Pajak baru yang wajib menyelenggarakan 
    pembukuan, adalah jumlah yang dihasilkan dari penerapan tarif menurut Pasal 17 Undang-undang 
    Pajak Penghasilan 1984 atas penghasilan netto berdasarkan pembukuannya yang dijadikan 1 (satu) 
    tahun dibagi 12 (dua belas).    

(2) Besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan bagi Wajib Pajak baru dengan peredaran atau 
    penerimaan bruto yang berjumlah kurang dari Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) yang tidak 
    wajib menyelenggarakan pembukuan, adalah jumlah yang dihasilkan dari penerapan tarif 15% (lima 
    belas persen) atas persentase penghasilan netto berdasarkan Norma Penghitungan dikalikan 
    peredaran atau penerimaan bruto dibagi 12 (dua belas).  


                        BAB V
                     KETENTUAN LAIN-LAIN

                        Pasal 12

(1) Wajib Pajak yang dapat menunjukan bahwa Pajak Penghasilan yang akan terhutang pada akhir tahun 
    pajak kurang dari 3/4 dari Pajak Penghasilan yang menjadi dasar penghitungan besarnya angsuran 
    PPh Pasal 25, dapat mengajukan permintaan pengurangan besarnya angsuran kepada Direktur 
    Jenderal Pajak. 

(2) Dalam pengajuan permintaan pengurangan angsuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Wajib 
    Pajak harus menyebutkan jumlah pajak dan angsuran pajak yang menurut penghitungannya 
    seharusnya terhutang.   

(3) Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal penerimaan surat permintaan pengurangan 
    angsuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Direktur Jenderal Pajak tidak memberi keputusan, 
    maka permintaan pengurangan tersebut dianggap diterima dan Wajib Pajak dapat melakukan 
    angsuran sesuai dengan penghitungannya.


                        Pasal 13

Penyusutan dan amortisasi dimulai pada tahun pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses 
pengerjaan, penyusutan dan amortisasi dimulai pada tahun selesainya pengerjaan harta tersebut, dan untuk 
harta dalam usaha leasing penyusutan dimulai pada tahun harta yang bersangkutan dileasingkan.


                        Pasal 14

Pengeluaran yang merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, yang besarnya ditetapkan oleh Menteri 
Keuangan.


                        Pasal 15
 
Pihak-pihak yang berkewajiban untuk melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 
ayat (1) huruf d Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 antara lain yayasan, badan usaha milik Negara dan 
Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, badan Pemerintah Republik Indonesia, badan perwakilan 
negara asing, badan perwakilan organisai internasional, dan badan atau organisasi lain dengan sifat dan dalam
bentuk apapun.


                        BAB VI
                    KETENTUAN PERALIHAN

                        Pasal 16

(1) Dasar penghitungan Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk tahun 1984 
    dan selanjutnya sampai dengan diketahuinya Pajak Penghasilan yang terhutang sebagaimana dimaksud 
    dalam Pasal 25 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 :   
   a.  bagi Wajib Pajak badan, adalah jumlah Pajak Perseroan menurut Surat Ketetapan Pajak 
        Pajak Perseroan terakhir dikurangi pemotongan dan pemungutan pajak untuk tahun yang 
        bersangkutan;   
   b.  bagi Wajib Pajak orang pribadi atau perseorangan, adalah jumlah Pajak Pendapatan menurut 
        Surat Ketetapan Pajak Pajak Pendapatan terakhir dikurangi pemotongan dan pemungutan 
        pajak untuk tahun yang bersangkutan.    

(2) Pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak ketiga yang diperbolehkan dikurangkan sebagaimana 
    dimaksud dalam ayat (1), hanya pemungutan pajak yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan 
    Cukai dan bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah.


                        Pasal 17

Pembayaran dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya oleh perusahaan penambangan minyak dan gas 
bumi serta perusahaan penambangan lainnya sehubungan dengan Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil yang 
masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, diperbolehkan dikurangkan 
sebagai biaya dan bagi pihak yang menerima atau memperoleh merupakan penghasilan.


                        Pasal 18

Penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi 
sehubungan dengan Kontrak Bantuan Teknik (Technical Assistance Contract), Kontrak Risiko Pinjaman (Loan 
Risk Contract), Kontrak Usaha Bersama (Joint Venture Contract) dan kontrak-kontrak lainnya yang serupa, 
yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, dipersamakan dengan 
penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan Kontrak Bagi Hasil sebagaimana 
diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.


                        BAB VII
                       KETENTUAN PENUTUP

                        Pasal 19

Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.


                        Pasal 20

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan 
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




                            Ditetapkan di Jakarta   
                            pada tanggal 31 Desember 1983   
                            PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

                            ttd

                            SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1983   
MENTERI /SEKRETARIS NEGARA 
REPUBLIK INDONESIA

ttd 

SUDHARMONO, S.H.




            LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1983 NOMOR 53





                             PENJELASAN
                           ATAS

                    PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
                     NOMOR 36 TAHUN 1983

                        TENTANG

                    PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984

UMUM

Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 disusun dalam struktur yang sederhana. Kesederhanaan ini meliputi 
pengaturan, jenis pajak, tarif, dan cara pengenaannya. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat Wajib Pajak 
dapat dengan mudah memenuhi kewajiban perpajakannya dan juga mempermudah pengawasannya. Dalam 
beberapa hal diperlukan ketentuan dan pengaturan lebih lanjut. Ketentuan dan pengaturan lebih lanjut itu 
diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, sedangkan kebijaksanaan pelaksanaannya akan diatur oleh Menteri 
Keuangan dan teknis pelaksanaannya akan diatur oleh Direktur Jenderal Pajak.


PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

    Ayat (1)

        Pada hakekatnya pembentukan dan pemupukan dana cadangan tidak diperbolehkan 
        dikurangkan dari penghasilan bruto. Khusus untuk jenis usaha bank, jenis usaha asuransi jiwa 
        dan asuransi kerugian, pembentukan dan pemupukan dana cadangan ini merupakan suatu 
        keharusan guna menjaga kelangsungan hidup perusahaan dan yang secara ekonomis 
        memang diperlukan untuk menutup beban atau kerugian yang pasti terjadi. Untuk jenis usaha 
        ini pembentukan dan pemupukan dana cadangan dengan batas -batas tertentu diperbolehkan 
        dikurangkan dari penghasilan bruto sebagai biaya perusahaan.

    Ayat (2)

        Cukup Jelas.

    Ayat (3)

        Cukup Jelas.

Pasal 2

    Yang dimaksud dengan harta yang tidak dipergunakan dalam perusahaan menurut ketentuan ini 
    adalah harta yang tidak dipakai dalam kegiatan usaha. Misalnya PT. A yang berusaha dalam bidang 
    kegiatan industri rokok memiliki harta berupa rumah peristirahatan. Menurut ketentuan ini, rumah 
    peristirahatan milik PT.A tersebut termasuk dalam pengertian harta yang tidak dipergunakan dalam 
    perusahaan.

    Ayat (1)

        huruf a

            Ketentuan ini dimaksudkan untuk tidak menerapkan ketentuan Undang-undang Pajak 
            Penghasilan 1984 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebelum 
            berlakunya Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.

            Oleh karena itu perlu terlebih dahulu dilakukan penilaian harga atas harta yang 
            bersangkutan pada tanggal 1 Januari 1984.

            Penilaian harga atas harta tersebut dalam ketentuan ini disebut nilai perolehan harta.

            Contoh :
            Wajib Pajak A tahun 1980 membeli sebidang tanah seharga Rp. 10.000.000,- (sepuluh 
            juta rupiah). Dalam tahun 1988 tanah tersebut dijual dengan harga Rp. 50.000.000,- 
            (lima puluh juta rupiah). Pertama-tama perlu ditentukan beberapa nilai perolehan 
            harta (berupa tanah) tersebut pada tanggal 1 januari 1984.

            huruf b

            Cukup jelas.

    Ayat (2)

        Dibawah ini diberikan contoh sebagai berikut :

        a.  Wajib Pajak A tahun 1980 membeli sebidang tanah seharga Rp. 10.000.000,- 
            (sepuluh juta rupiah) Dalam tahun 1988 tanah tersebut dijual dengan harga 
            Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Pertama-tama perlu ditentukan nilai 
            perolehan tanah tersebut pada tanggal 1 januari 1984, misalnya Rp. 20.000.000,- 
            (dua puluh juta rupiah). Apabila faktor penyesuaian untuk tahun 1988 terhadap tahun 
            1984 adalah a, maka penghasilan dari penjualan tanah tersebut sebesar 
            Rp. 50.000.000,-  - ( Rp. 20.000.000,- x a).    

        b.  Wajib Pajak B membeli sebidang tanah pada tahun 1985 seharga Rp. 30.000.000,- 
            (tiga puluh juta rupiah). Dalam tahun 1989 tanah tersebut dijual dengan harga 
            Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah). Apabila faktor penyesuaian untuk tahun 
            1989 terhadap tahun 1985 adalah b, maka penghasilan dari penjualan tanah tersebut 
            sebesar Rp. 60.000.000,-   - (Rp. 30.000.000,- x b) 

Pasal 3

    Ayat (1)

        Cukup jelas.

    Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4)

        Untuk memperoleh tarif efektif rata-rata dan penerapannya dalam penghitungan Pajak 
        Penghasilan yang terutang diberikan contoh sebagai berikut :
        Wajib Pajak A kawin dengan tanggungan 3 (tiga) anak, mengontrakkan rumahnya untuk 
        jangka 5 (lima) tahun (1984 s/d 1988) dengan harga kontrak Rp. 100.000.000,- (seratus juta 
        rupiah) yang diterima dalam bulan Mei 1984. 

        Penghasilan teratur A dalam tahun 1984 diketahui sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta 
        rupiah). Penghitungan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dalam tahun 1984 :

        Penghasilan kontrak rumah rata-rata setahun :
        1/5 X Rp. 100.000.000,-     =   Rp.  20.000.000,-
        Penghasilan teratur tahun 1984  =   Rp.  10.000.000,-
                            ______________
        Jumlah              =   Rp.  30.000.000,-
        PTKP                =   Rp.    2.880.000,-
                            ______________
        Penghasilan Kena Pajak      =   Rp.  27.120.000,-

        Tarif :
        15 % X Rp. 10.000.000,-     =   Rp.    1.500.000,-
        25 % X Rp. 17.120.000,-     =   Rp.    4.280.000,-
                            ______________
        Jumlah Pajak Penghasilan    =   Rp.    5.780.000,-
         
        Tarif efektif rata-rata :         
        5,78 
        ____    X 100 %         =   21,3 %
        27,12         
        (dibulatkan ke bawah)       =   21 %
    
        Penghitungan Pajak Penghasilan menjadi sebagai berikut :
        21 % X (Rp. 10.000.000,- + Rp. 100.000.000,-)  =  Rp. 23.100.000,-

        Ayat (5)

        Cukup jelas.

    Ayat (6)

        Mengingat jangka waktu penerimaan uang pensiun sulit diketahui dan untuk memudahkan 
        penghitungan Pajak Penghasilan terhadap uang tebusan pensiun yang diterima atau diperoleh 
        sekaligus, penghasilan tersebut dihitung sebagai penghasilan 10 (sepuluh) tahun.

Pasal 4

    Cukup jelas.


Pasal 5

    Cukup jelas.


Pasal 6

    Ayat (1)

        Ketentuan ini dimaksudkan agar supaya terhadap pemegang sertifikat dan/atau pemegang 
        saham dari saham yang dijual melalui Pasar Modal yang pada umumnya menerima atau 
        memperoleh penghasilan berupa dividen yang dalam setahunnya tidak melampaui jumlah 
        tertentu tidak perlu dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam 
        Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.

        Jika terhadap pemegang sertifikat dan/atau pemegang saham tersebut dikenakan pemotongan 
        pajak, hal ini akan menjadi beban mereka karena harus mengurus pengembaliannya. 
        Pembebasan dari pemotongan atas dividen tersebut tidak berarti bahwa dividen itu dibebaskan 
        dari pengenaan Pajak Penghasilan, yaitu apabila dividen tersebut bersama dengan penghasilan 
        lain jumlahnya melampaui penghasilan tidak kena pajak.

    Ayat (2)

        Cukup jelas.

    Ayat (3)

        Menteri Keuangan diberi wewenang untuk melakukan penyesuaian batas jumlah yang 
        dibebaskan dari pemotongan pajak, sesuai dengan penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam 
        Pasal 7 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.

Pasal 7

    Jumlah Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan 
    didasarkan atas pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan terakhir, kecuali apabila 
    pajak yang ditetapkan terakhir oleh Direktur Jenderal Pajak jumlahnya lebih besar.

    Dalam hal terdapat sisa kerugian yang belum dikompensasikan, jumlah Pajak Penghasilan yang harus 
    dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan, dapat diberikan penjelasan berikut :

    Contoh :
    Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak badan menunjukkan keterangan sebagai berikut :
    1985    :   Wajib Pajak menderita kerugian          :   Rp.  250.000.000,-
          Setelah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, 
            kerugian adalah                 :   Rp.  200.000.000,-

            Kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan netto dalam 5 tahun 
            terhitung mulai tahun pertama sesudah kerugian tersebut diderita (mulai tahun 1986).

            Angsuran Pajak Penghasilan tahun berjalan 1986 :    Nihil

    1986    :   Penghasilan netto Wajib Pajak           :   Rp.   50.000.000,-
          Kompensasi kerugian untuk tahun 1986                :   Rp.  200.000.000,-
                                        _______________
          Sisa kerugian yang belum dikompensasikan         :  Rp.  150.000.000,-
          Angsuran Pajak Penghasilan tahun berjalan 1987  :   Nihil
 
    1987    :   Penghasilan netto Wajib Pajak           :   Rp.   80.000.000,-
          Kompensasi kerugian untuk tahun 1987                :   Rp.  150.000.000,-
                                        _______________
          Sisa kerugian yang belum dikompensasikan         :  Rp.    70.000.000,-

            Angsuran Pajak Penghasilan tahun berjalan 1988 didasarkan atas Pajak Penghasilan 
            yang dihitung dari penghasilan netto berdasarkan Surat Pemberitahuan tahunan 1987 
            dikurangi sisa kerugian untuk tahun 1988  =  
            (Rp. 80.000.000,-  -  Rp. 70.000.000,-) =  Rp. 10.000.000,-.

            Angsuran Pajak Penghasilan setiap bulan adalah Pajak Penghasilan yang dihitung atas 
            Rp. 10.000.000,- dibagi 12 (dua belas).

    1988    :   Penghasilan netto Wajib Pajak           :   Rp.  100.000.000,-
          Sisa kerugian yang belum dikompensasikan    :   Rp.    70.000.000,-
                                        _______________
          Penghasilan netto 1988              :   Rp.    30.000.000,-
                        
    Penghitungan angsuran Pajak Penghasilan tahun berjalan 1989 adalah sebagai berikut :
    Penghasilan netto tahun 1988  =  Rp. 100.000.000,- (tidak ada lagi sisa kerugian yang belum 
    dikompensasikan).

    Penghasilan kena pajak tahun 1988  =  Rp. 100.000.000,-
    Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun 1988 :  
    15 % X Rp. 10.000.000,-                         =   Rp.   1.500.000,-
    25 % X Rp. 40.000.000,-                         =   Rp. 10.000.000,-
    35 % X Rp. 50.000.000,-                         =   Rp. 17.500.000,-
                                            _____________
                                          Rp. 29.000.000,-

    Misalnya :
    Pajak Penghasilan yang dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah
    yang dibayar tahun 1988             Rp.  4.000.000,-    
    Pajak Penghasilan yang di potong oleh pihak lain 
    yang dibayar tahun 1988             Rp.  1.000.000
                            _____________
                                            Rp.   5.000.000,-
                                            _____________   
                                           Rp. 24.000.000,-

    Angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan tahun 1989  =  1/12 X Rp. 24.000.000,-    =  Rp.   2.000.000,-.

Pasal 8

    Huruf a

        Untuk jenis bank dan lembaga keuangan lainnya serta jenis usaha lain yang ditunjuk oleh 
        Direktur Jenderal Pajak, laporan keuangan triwulan yang secara berkala dibuat, menunjukkan 
        penghasilan yang lebih mendekati penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam triwulan 
        yang bersangkutan, oleh karena itu dipakai sebagai dasar penghitungan PPh Pasal 25.

        Khusus untuk jenis usaha bank dan lembaga keuangan lainnya, kewajiban memasukkan 
        laporan keuangan triwulan tidak memerlukan penunjukan terlebih dahulu dari Direktur 
        Jenderal Pajak.

        Contoh :
        Laporan keuangan triwulan Bank A untuk bulan April s/d Juni 1984 menunjukkan penghasilan 
        netto Rp. 60.000.000,-

        Laporan keuangan ini menjadi dasar penghitungan angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan 
        sesudahnya sampai dibuatnya laporan keuangan triwulanan berikutnya.

        Jumlah angsuran PPh Pasal 25 yang harus dibayar untuk bulan-bulan tersebut dihitung 
        sebagai berikut :

        Penghasilan netto triwulan disetahunkan : 4 X Rp.  60.000.000,-    =      Rp. 240.000.000,-
        Pajak Penghasilan terutang menurut Pasal 17 Undang-undang pajak Penghasilan 1984 :
        15 % X Rp.   10.000.000,-   =   Rp.     1.500.000,-
        25 % X Rp.   40.000.000,-   =   Rp.   10.000.000,-
        35 % X Rp. 190.000.000,-    =   Rp.   66.500.000,-
                            ______________
                          Rp.   78.000.000,-

        Angsuran Pajak Penghasilan untuk bulan-bulan Juli dan seterusnya (sampai adanya laporan 
        keuangan triwulan yang baru)  1/12 X Rp. 78.000.000,-  = Rp. 6.500.000,-.

    Huruf b

        Dengan pertimbangan bahwa Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPB) perusahaan 
        yang disusun setiap saat awal tahun oleh badan usaha milik negara dan daerah yang telah 
        disahkan oleh Menteri yang bersangkutan dapat menunjukkan penghasilan yang lebih 
        mendekati penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak yang 
        bersangkutan, oleh karena itu lebih sesuai dipakai sebagai dasar penghitungan PPh Pasal 25.

        Contoh :
        Suatu badan usaha milik negara pada awal tahun 1985 telah selesai menyusun RAPB 
        perusahaan untuk tahun 1985 dengan Pajak Penghasilan yang diperkirakan akan terhutang 
        sebesar Rp. 1.800.000.000,-. Kredit Pajak tahun sebelumnya sebesar Rp. 600.000.000,-. 
        Besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan dalam tahun 1985 adalah 
        1/12 x (Rp. 1.800.000.000,-  -  Rp. 600.000.000,-  = Rp. 100.000.000,-.

Pasal 9

    Ayat (1)

        Untuk menghitung besarnya PPh Pasal 25 diberikan contoh sebagai berikut :
        Wajib Pajak A kawin dengan tanggungan 3 (tiga) anak, mengontrakkan rumahnya untuk 
        jangka waktu 5 (lima) tahun (1984 s/d 1988) dengan harga kontrak Rp. 100.000.000,- yang 
        diterima dalam bulan Mei 1984.

        Penghasilan teratur A dalam tahun 1983 diketahui sebesar Rp. 10.000.000,-.
        Penghitungan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari kontrak rumah pada saat diterima atau 
        diperoleh tahun 1984 :
        Penghasilan kontrak rumah rata-rata setahun :
        1/5 X Rp. 100.000.000,-     =   Rp.  20.000.000,-
        Penghasilan teratur tahun 1983  =   Rp.  10.000.000,-

        berdasarkan Surat Pemberitahuan tahunan (tahun sebelumnya)
        Jumlah          =   Rp.  30.000.000,-
        PTKP            =   Rp.  28.800.000,-
        Penghasilan Kena Pajak  =   Rp.  27.120.000,-

        Tarif :
        15 % X Rp. 10.000.000,-     =   Rp.    1.500.000,-
        25 % X Rp. 17.120.000,-     =   Rp.    4.280.000,-
        Jumlah Pajak Penghasilan    =   Rp.    5.780.000,-

        Tarif efektif rata-rata :
        5,78
        ____ X 100 %   =  21,3 % 
        27,12         

        (dibulatkan ke bawah)  =  21 %

        Pajak Penghasilan atas seluruh kontrak rumah yang terhutang dalam tahun 1984 yang harus 
        dilunasi    dalam tahun berjalan  =  21 % X Rp.  100.000.000,-  =  Rp.  21.000.000,-.

    Ayat (2)

        Dalam penghitungan Pajak Penghasilan yang terhutang berdasarkan Surat Pemberitahuan 
        Tahunan, pelunasan pajak PPh Pasal 25 atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta 
        atau penghasilan beberapa tahun yang diterima atau diperoleh sekaligus, dikurangkan 
        sebagai kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan.

Pasal 10

    Untuk menghitung dasar penghitungan angsuran PPh Pasal 25 penghasilan dari penjualan atau 
    pengalihan harta atau penghasilan beberapa tahun yang diterima atau diperoleh sekaligus, 
    dikurangkan terlebih dahulu dari penghasilan netto.

            Contoh :
    Misalnya Wajib Pajak kawin dengan tanggungan 2 (dua) orang anak.
    Penghasilan netto tahun 1984       Rp.  12.000.000,-
    
    Dalam jumlah Rp. 12.000.000,- tersebut termasuk penghasilan dari penjualan rumah sebesar 
    Rp. 5.000.000,-
    Penghasilan teratur    Rp.    7.000.000,-
    Penghasilan tidak kena pajak    Rp.    2.400.000,-
                    ______________
                  Rp.    4.600.000,-

    Penghasilan Kena Pajak Pajak penghasilan yang terhutang
    15 % X Rp. 4.600.000,-     Rp.       690.000,-
    Kredit-kredit pajak    Rp.       210.000,-
                    ______________
                  Rp.       480.000,-
         
    Besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan adalah sebesar
    Rp. 480.000,- 
    ----------------  x  100 %   =   Rp.  40.000,- 
             12       

Pasal 11

    Yang dimaksud dengan Wajib Pajak baru dalam Pasal ini adalah Wajib Pajak yang baru terdaftar yang 
    pada waktu penghitungan PPh Pasal 25 harus dilakukan belum berkewajiban menyampaikan Surat 
    Pemberitahuan tahunan dan belum pernah dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak terhadap Wajib Pajak 
    tersebut.

Pasal 12

    Ayat (1)

        Ketentuan ini dibuat dengan tujuan :
        a.  untuk tidak memberatkan Wajib Pajak melunasi Pajak Penghasilan yang jumlahnya 
            jauh melampuai jumlah yang seharusnya terhutang;
        b.  untuk meringankan beban administrasi, karena dapat menimbulkan pengembalian 
            pajak yang lebih dibayar. 

            Contoh : 
            Seorang Wajib Pajak sesuai dengan dasar penghitungan angsuran pajak Penghasilan 
            yang harus dibayar sendiri dalam tahun berjalan harus membayar sebesar 
            Rp. 1.000.000,- tiap bulan  =  (12.000.000,- setahun). 

            Pada bulan Mei terjadi peristiwa yang menyebabkan jumlah pajak yang diperkirakan 
            terhutang oleh Wajib Pajak dalam tahun yang bersangkutan akan menjadi sebesar 
            Rp. 8.400.000,-  ( Rp. 8.400.000,-   =   70 %  dari Rp.  12.000.000,-). 

            Karena jumlah pajak yang diperkirakan terhutang kurang dari 75 % dari Pajak 
            Penghasilan tahun yang bersangkutan, Wajib Pajak tersebut dapat mengajukan 
            permintaan kepada Direktur Jenderal Pajak agar besarnya angsuran Pajak 
            Penghasilan ditinjau kembali. Jika bukti-bukti yang diajukan dapat diterima, dasar 
            penghitungan angsuran pajak Penghasilan untuk bulan-bulan berikutnya terhitung 
            sejak surat keputusan yang berkenaan dengan permohonan yang bersangkutan 
            diterbitkan adalah 
            Rp. 8.400.000,-  atau  =  Rp. 8.400.000,-/12  =  Rp.  700.000,-  per bulan. 

    Ayat (2)

            Cukup jelas

    Ayat (3)

        Cukup jelas

Pasal 13

    Penyusutan dan amortisasi atas harta perusahaan pada umumnya dimulai pada tahun pengeluaran. 
    Namun untuk harta perusahaan yang memerlukan jangka waktu beberapa tahun untuk 
    penyelesaiannya, penyusutan dan amortisasi dimulai pada tahun selesainya pengerjaan harta 
    yang bersangkutan.

    Misalnya untuk membangun sebuah pabrik, diperlukan jangka waktu 3 (tiga) tahun. Pengeluaran 
    sehubungan dengan pembangunan pabrik tersebut selama 3 tahun, mulai disusutkan dan diamortisasi 
    pada tahun selesainya pembangunan pabrik tersebut. Bagi harta dalam usaha leasing, penyusutan 
    dimulai pada tahun harta tersebut di leasingkan, misalnya penyusutan dimulai pada tahun 1988.

Pasal 14

    Bagi Wajib Pajak yang memerima atau memperoleh penghasilan sebagai karyawan atau pensiunan, 
    perlu dipertimbangkan biaya yang dikeluarkan atau terhutang untuk mendapatkan, menagih, dan 
    memelihara penghasilan tersebut.

    Jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto karyawan atau pensiunan akan ditetapkan oleh 
    Menteri Keuangan.

Pasal 15

    Yayasan, badan uasaha milik Negara dan Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, badan 
    Pemerintah Republik Indonesia, badan perwakilan negara asing, badan perwakilan organisasi 
    internasional dan badan atau organisasi lain dengan sifat dan dalam bentuk apapun, sebagai 
    pemotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf d Undang-undang Pajak 
    Penghasilan 1984 kewajibannya meliputi juga pemotongan pajak atas pembayaran honorarium atau 
    remunerasi lain kepada tenaga ahli dan/atau persekutuan tenaga ahli atas jasa yang dilakukan di 
    Indonesia.


Pasal 16

    Ayat (1)

        Cukup jelas.

    Ayat (2)

        Cukup jelas.

Pasal 17

    Menurut ketentuan Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 pembayaran dalam bentuk natura dan 
    kenikmatan lainnya oleh Wajib Pajak, kecuali perumahan di daerah terpencil berdasarkan Keputusan 
    Menteri Keuangan, tidak diperbolehkan dikurangkan sebagai biaya.

    Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) undang-undang Pajak Penghasilan 1984 bagi Wajib Pajak perusahaan 
    penambangan minyak dan gas bumi serta penambangan lainnya sehubungan dengan Kontrak Karya 
    dan Bagi Hasil yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 
    pengenaan pajaknya masih mengikuti mekanisme sistim lama yakni ketentuan Ordonansi Pajak 
    Perseroan 1925 dan Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti 1970, sehingga 
    pembayaran seperti tersebut di atas diperbolehkan untuk dikurangkan sebagai biaya.

    Sebagai konsekwensi dari pembayaran dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dapat 
    dibebankan sebagai biaya, bagi pegawai atau karyawan yang menerimanya adalah merupakan 
    penghasilan yang harus dikenakan Pajak Penghasilan.

    Dengan demikian walaupun mekanismenya menggunakan sistem lama, tetapi penghitungan pajak 
    atas penghasilan pegawai atau karyawan digunakan tarif berdasarkan Undang-undang Pajak 
    Penghasilan 1984, termasuk penghasilan Tidak Kena Pajak, yang lebih rendah dari tarif berdasarkan 
    Ordonansi pajak Pendapatan 1944.

Pasal 18

    Cukup jelas.


Pasal 19

    Cukup jelas.


Pasal 20

    Cukup jelas.




                     TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA  NOMOR 3265