tkb_admin_user_images_images_logo_20pp.bmp
 


PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 97 TAHUN 2014

TENTANG

PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang

:

a.

bahwa dalam rangka mendekatkan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat serta memperpendek proses pelayanan guna mewujudkan pelayanan yang cepat, mudah, murah, transparan, pasti, dan terjangkau dilaksanakan suatu pelayanan terpadu satu pintu;

 

 

b.

bahwa pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan untuk menyatukan proses pengelolaan pelayanan baik yang bersifat pelayanan Perizinan dan Nonperizinan;

 

 

c.

 bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu;

Mengingat

:

1.

Pasal 4 ayat  (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 

 

 

2.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

 

 

3.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);

 

 

4.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843);

 

 

5.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor   4846);

 

 

6.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038);

 

 

7.

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor  4741);

 

 

8.

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

 

 

9.

Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 88, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nornor 4861);

 

 

10.

Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012  tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor  215,  Tambahan Lembaran Negara Republik  Indonesia Nomor  5357);


MEMUTUSKAN:
 

Menetapkan

:

PERATURAN PRESIDEN TENTANG  PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU  SATU PINTU.

 

 

 

 

 

BAB I

 

 

KETENTUAN UMUM

 

 

Pasal 1

 

 

 

 

 

Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan:

 

 

1.

Pelayanan Terpadu Satu Pintu, yang selanjutnya disingkat PTSP adalah pelayanan secara terintegrasi dalam satu kesatuan proses dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap penyelesaian produk pelayanan melalui satu pintu.

 

 

2.

Penyelenggara PTSP adalah Pemerintah, pemerintah daerah, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, dan Administrator Kawasan Ekonomi Khusus.

 

 

3.

Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing, untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.

 

 

4.

Penanam Modal adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing.

 

 

5.

Perizinan adalah segala bentuk persetujuan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah yang memiliki kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

6.

Nonperizinan adalah segala bentuk kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

7.

Pendelegasian wewenang adalah penyerahan tugas, hak, kewajiban, dan pertanggungjawaban Perizinan dan Nonperizinan, termasuk penandatanganannya atas nama pemberi wewenang.

 

 

8.

Pelimpahan Wewenang adalah penyerahan tugas, hak, kewajiban, dan pertanggungjawaban  Perizinan dan Nonperizinan, termasuk penandatanganannya atas nama penerima  wewenang.

 

 

9.

Pelayanan Secara Elektronik, yang selanjutnya disingkat PSE adalah pelayanan Perizinan dan Nonperizinan yang diberikan melalui PTSP secara elektronik.

 

 

10.

Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik, yang selanjutnya disingkat SPIPISE adalah Sistem pelayanan Perizinan dan Nonperizinan yang terintegrasi antara Pemerintah yang memiliki kewenangan Perizinan dan Nonperizinan dengan pemerintah daerah.

 

 

 

 

 

 

BAB II

 

 

TUJUAN,  PRINSIP,   DAN RUANG LINGKUP

 

 

Pasal 2

 

 

 

 

 

PTSP  bertujuan:

 

 

a.

memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat;

 

 

b.

memperpendek proses pelayanan;

 

 

c.

mewujudkan proses pelayanan yang cepat, mudah, murah, transparan, pasti, dan terjangkau; dan

 

 

d.

mendekatkan dan mernberikan pelayanan yang lebih luas kepada masyarakat.

 

 

 

 

 

 

Pasal 3

 

 

 

 

 

PTSP dilaksanakan dengan prinsip:

 

 

a.

keterpaduan;

 

 

b.

ekonomis;

 

 

c.

koordinasi;

 

 

d.

pendelegasian atau pelimpahan wewenang;

 

 

e.

akuntabilitas; dan

 

 

f.

aksesibilitas.

 

 

 

 

 

 

Pasal 4

 

 

 

 

 

Ruang lingkup PTSP meliputi seluruh pelayanan Perizinan dan Nonperizinan yang menjadi kewenangan Pemerintah dan pemerintah daerah.

 

 

 

 

 

Pasal 5

 

 

 

 

 

(1)

Penyelenggaraan PTSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dilaksanakan oleh:

 

 

 

a.

Pemerintah yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk pelayanan Perizinan dan Nonperizinan di bidang penanaman modal yang merupakan urusan Pemerintah;

 

 

 

b.

Pemerintah provinsi untuk pelayanan Perizinan dan Nonperizinan dari urusan wajib dan urusan pilihan yang menjadi urusan provinsi; dan

 

 

 

c.

Pemerintah kabupaten/kota untuk pelayanan Perizinan dan Nonperizinan dari urusan wajib dan urusan pilihan yang menjadi urusan  kabupaten/  kota.

 

 

(2)

Urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota

 

 

 

 

 

BAB III

 

 

PENYELENGGARAAN

 

 

PTSP Bagian Kesatu

 

 

Penyelengaran PTSP oleh   Pemerintah

 

 

 

 

 

Pasal 6

 

 

 

 

 

(1)

Penyelenggaraan PTSP oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a mencakup urusan pemerintahan di bidang Penanaman Modal yang menjadi kewenangan Pemerintah.

 

 

2)

Urusan pemerintahan di bidang Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:

 

 

 

a.

penyelenggaraan Penanaman Modal yang ruang lingkupnya lintas provinsi;

 

 

 

b.

urusan pemerintahan di bidang Penanaman Modal yang meliputi:

 

 

 

 

1)

Penanarnan Modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat risiko kerusakan lingkungan yang tinggi;

 

 

 

 

2)

Penanaman Modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional;

 

 

 

 

3)

Penanaman Modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antar wilayah atau ruang lingkupnya  lintas   provinsi;

 

 

 

 

4)

Penanaman Modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan kearnanan nasional;

 

 

 

 

5)

Penanaman Modal Asing dan Penanam Modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah  negara  lain;  dan

 

 

 

 

6)

Bidang Penanaman Modal lain yang menjadi urusan Pemerintah menurut  undang-undang.

 

 

 

(3)

Penanaman Modal Asing dan Penanam Modal yang menggunakan modal asing, sebagaimana dimaksud pada ayat  (2) huruf   b angka   5 meliputi:

 

 

 

 

a.

Penanaman Modal Asing yang dilakukan oleh pemerintah negara lain;

 

 

 

 

b.

Penanaman Modal Asing yang dilakukan oleh warga negara asing atau badan usaha asing;

 

 

 

 

c.

Penanam Modal yang menggunakan modal asing yang berasal dari pemerintah negara lain,

 

 

 

 

yang didasarkan pada perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah  negara lain

 

 

 

 

 

 

 

Pasal 7

 

 

 

 

 

(1)

Dalam menyelenggarakan PTSP di bidang Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6:

 

 

 

a.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari Menteri teknis/Kepala Lernbaga yang merniliki kewenangan Perizinan dan Non perizinan yang merupakan urusan  Pernerintah di bidang Penanarnan Modal;

 

 

 

b.

Kepala Badan Koordinasi Penanarnan Modal dapat melirnpahkan  wewenang yang diberikan oleh Menteri teknis/Kepala Lembaga dengan hak subsitusi kepada PTSP provinsi, PTSP kabupaten/kota, PTSP Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, atau Administrator Kawasan Ekonorni Khusus;

 

 

 

c.

Menteri teknis/Kepala Lernbaga dapat menugaskan pejabatnya di Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk menerima dan menandatangani Perizinan dan Nonperizinan yang kewenangannya tidak dapat dilimpahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

 

 

2)

Pendelegasian atau Pelimpahan Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan melalui Peraturan Menteri teknis/Kepala Lernbaga.

 

 

 

 

 

 

Pasal 8

 

 

 

 

 

1)

Menteri teknis/Kepala Lernbaga yang merniliki kewenangan Perizinan dan Nonperizinan yang rnerupakan urusan Pernerintah di bidang Penanarnan Modal, menyusun dan menetapkan bidang bidang usaha Penanarnan Modal sebagairnana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1),  angka  2), angka  3),  angka 4), dan angka  6).

 

 

2)

Kepala Badan Koordinasi Penanarnan Modal berkoordinasi dengan Menteri teknis/Kepala Lernbaga untuk menginventarisasi perjanjian yang dibuat oleh Pernerintah dan pernerintah negara lain di bidang Penanarnan Modal sebagairnana dimaksud dalam Pasal 6 ayat  (2) huruf b angka 5.

 

 

 

 

 

 

Pasal 9

 

 

 

 

 

(1)

Menteri teknis/Kepala Lernbaga yang memiliki kewenangan Perizinan dan Nonperizinan yang merupakan urusan Pernerintah di bidang Penanarnan Modal, menetapkan jenis-jenis Perizinan dan Nonperizinan untuk penyelenggaraan PTSP di bidang Penanaman Modal.

 

 

(2)

Tata cara Perizinan dan Nonperizinan untuk setiap jenis sebagairnana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri teknis/Kepala Lernbaga yang merniliki kewenangan tersebut dalam bentuk Petunjuk  Teknis   yang  meliputi:

 

 

 

a.

persyaratan teknis dan nonteknis;

 

 

 

b.

tahapan memperoleh Perizinan dan Nonperizinan; dan

 

 

 

c.

mekanisrne pengawasan dan sanksi.

 

 

(3)

Dalam menetapkan jenis dan tata cara Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana dimaksud ada ayat (1) dan ayat (2), Menteri teknis/Kepala Lembaga berkoordinasi dengan lembaga/instansi terkait.

 

 

 

 

 

 

Pasal 10

 

 

 

 

 

(1)

Penyelenggaraan PTSP oleh pemerintah provinsi

 

 

(2)

Kepala Badan Koordinasi Penanarnan Modal berkoordinasi dengan Menteri teknis/Kepala Lembaga untuk menginventarisasi perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah negara lain di bidang Penanarnan Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 5.

 

 

 

a.

urusan pemerintah provinsi yang diatur dalam perundang-undangan;

 

 

 

b.

urusan pemerintahan provinsi yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota; dan

 

 

 

c.

urusan pemerintah yang diberikan pelimpahan wewenang kepada Gubernur.

 

 

(3)

Penyelenggaraan PTSP oleh pemerintah provinsi dilaksanakan oleh Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi (BPMPTSP).

 

 

(4)

Dalam menyelenggarakan PTSP oleh provinsi, Gubernur memberikan pendelegasian wewenang Perizinan dan Nonperizinan yang menjadi urusan pemerintah provinsi kepada Kepala BPMPTSP Provinsi.

 

 

(5)

BPMPTSP Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

 

 

Pasal 11

 

 

 

 

 

(1)

Penyelenggaraan PTSP oleh pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c mencakup urusan pemerintahan kabupaten/kota dalam penyelenggaraan Perizinan dan Nonperizinan yang diselenggarakan dalam PTSP.

 

 

2)

Urusan pemerintahan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

 

 

 

a.

urusan pemerintah kabupaten/kota yang diatur dalam  peraturan perundang-undangan; dan

 

 

 

b.

urusan pemerintah yang diberikan pelimpahan wewenang kepada  Bupati/Walikota.

 

 

3)

Penyelenggaraan PTSP oleh pemerintah kabupaten/kota dilaksanakan oleh Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten/Kota (BPMPTSP) Kabupaten/Kota.

 

 

4)

Dalam menyelenggarakan PTSP oleh kabupaten/kota Bupati/Walikota memberikan pendelegasian wewenang Perizinan dan Nonperizinan yang menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota kepada Kepala BPMPTSP Kabupaten/Kota.

 

 

5)

BPMPTSP Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai peraturan perundang-undangan

 

 

 

 

 

 

Pasal 12

 

 

 

 

 

BPMPTSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (3) selain penyelenggaraan fungsi pelayanan terpadu Perizinan dan Nonperizinan, melakukan fungsi penyelenggaraan penanaman modal.

 

 

 

 

 

Pasal 13

 

 

 

 

 

(1)

Perizinan dan Nonperizinan yang menjadi urusan Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas atau di Kawasan Ekonomi Khusus diselenggarakan oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas atau Administrator Kawasan Ekonomi Khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

(2)

Penyelenggaraan Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pelimpahan atau pendelegasian kewenangan dari Menteri/Kepala Lembaga, Gubernur, dan/atau  Bupati/ Walikota.

 

 

 

 

 

 

BAB IV

 

 

STANDAR DAN PEMBINAAN PTSP

 

 

Bagian Kesatu

 

 

Standar

 

 

 

 

 

Pasal   14

 

 

 

 

 

1)

Penyelenggara PTSP wajib menyusun standar pelayanan publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayanan publik.

 

 

2)

Standar pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi komponen:

 

 

 

a.

dasar hukum;

 

 

 

b.

persyaratan;

 

 

 

c.

sistem, mekanisme dan prosedur/Standar Operasional Prosedur;

 

 

 

d.

jangka waktu penyelesaian;

 

 

 

e.

biaya/tarif;

 

 

 

f.

produk pelayanan;

 

 

 

g.

prasarana dan Sarana;

 

 

 

h.

kompetensi pelaksana;

 

 

 

i.

pengawasan internal;

 

 

 

j.

penanganan pengaduan, saran dan masukan;

 

 

 

k

jumlah pelaksana;

 

 

 

l.

jaminan pelayanan;

 

 

 

m.

jarninan keamanan dan keselamatan pelayanan; dan

 

 

 

n.

evaluasi kinerja pelaksana;

 

 

(3)

Standar Pelayanan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh:

 

 

 

a.

Kepala badan Koordinasi Penanaman Modal untuk pelayanan Perizinan dan Nonperizinan di bidang Penanaman Modal;

 

 

 

b.

Gubernur untuk pelayanan Perizinan dan Nonperizinan provinsi;

 

 

 

c.

Bupati/Walikota untuk pelayanan Perizinan dan Nonperizinan kabupaten/kota;

 

 

 

d.

Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas untuk pelayanan Perizinan dan Nonperizinan di kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas atau Administrator Kawasan ekonomi Khusus untuk pelayanan Perizinan dan Nonperizinan di Kawasan Ekonomi Khusus.

 

 

(4)

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Gubernur, Bupati/Walikota, Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, dan Administrator Kawasan Ekonomi Khusus dalam menetapkan Standar Pelayanan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri/Kepala Lembaga

 

 

 

 

 

 

Pasal 15

 

 

 

 

 

Jangka waktu pelayanan PTSP ditetapkan paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya dokumen Perizinan dan Nonperizinan secara lengkap dan benar, kecuali yang diatur waktunya dalam undang-undang atau peraturan pernerintah.

 

 

 

 

 

 

Bagian Kedua

 

 

Pembinaan

 

 

 

 

 

Pasal 16

 

 

 

 

 

(1)

Menteri Dalam Negeri melakukan pembinaan penyelenggaraan BPMPTSP Provinsi dan BPMPTSP Kabupaten/

 

 

(2)

Menteri teknis/Kepala Lembaga melakukan pembinaan teknis penyelenggaraan BPMPTSP sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

 

 

(3)

Kepala BKPM melakukan pembinaan atas penyelenggaraan pelayanan Perizinan dan Nonperizinan di bidang Penanaman Modal dan penyelenggaraan fungsi koordinasi penanaman modal oleh BPMPTSP Provinsi, BPMPBTSP Kabupaten/ Kota, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, dan Administrator Kawasan Ekonomi Khusus.

 

 

 

 

 

 

BAB V

 

 

PERIZINAN DAN NONPERIZINAN SECARA ELEKTRONIK

 

 

 

 

 

Pasal 17

 

 

 

 

 

Penyelenggaraan Perizinan dan Nonperizinan oleh PTSP wajib menggunakan PSE.

 

 

 

 

 

Pasal 18

 

 

 

 

 

1)

PSE oleh PTSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 mencakup aplikasi otomasi proses kerja (business process) dan informasi yang diperlukan dalam pelayanan Perizinan dan Nonperizinan.

 

 

2)

Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurangkurangnya meliputi:

 

 

 

a.

potensi dan peluang usaha;

 

 

 

b.

perencanaan umum penanaman modal;

 

 

 

c.

pelaksanaan promosi dan kerjasama ekonomi;

 

 

 

d.

perkembangan realisasi penanaman modal;

 

 

 

e.

daftar bidang usaha tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan;

 

 

 

f.

jenis, persyaratan teknis, mekanisme penelusuran posisi dokumen pada setiap proses, biaya, dan waktu pelayanan;

 

 

 

g.

tata cara layanan pengaduan; dan

 

 

 

h.

hal-hal lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan di bidang Penanaman Modal.

 

 

 

 

 

 

 

Pasal 19

 

 

 

 

 

PTSP dalam mengelola PSE, mempunyai kewajiban:

 

 

a.

menjamin PSE beroperasi secara terus menerus sesuai standar tingkat layanan, keamanan data dan informasi;

 

 

b.

melakukan manajemen sistem aplikasi otomatisasi proses kerja (business process) pelayanan Perizinan dan Nonperizinan, serta data dan informasi;

 

 

c.

melakukan koordinasi dan sinkronisasi pertukaran data dan informasi secara langsung (online) dengan pihak terkait;

 

 

d.

melakukan tindakan untuk mengatasi gangguan terhadap PSE;

 

 

e.

menyediakan jejak audit (audit trail); dan

 

 

f.

menjamin keamanan dan kerahasiaan data dan informasi yang disampaikan Kementerian/ Lembaga, BPMPTSP Provinsi, dan BPMPTSP Kabupaten/ Kota melalui PSE.

 

 

 

 

 

 

Pasal 20

 

 

 

 

 

PSE untuk Perizinan dan Nonperizinan di bidang Penanaman Modal clilakukan melalui SPIPISE.

 

 

 

 

 

Pasal 21

 

 

 

 

 

1)

Kementerian/ Lembaga yang memiliki kewenangan Perizinan dan Nonperizinan yang merupakan urusan Pemerintah menyampaikan dan membuka akses informasi Perizinan dan Nonperizinan meliputi jenis, persyaratan teknis, mekanisme, biaya dan Service Level Arrangement (SLA) serta informasi potensi Penanaman Modal kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal dan/atau BPMPTSP Provinsi dan BPMPTSP Kabupaten/ Kota dan secara bertahap mengintegrasikan dengan PSE.

 

 

2)

Kementerian/Lembaga yang memiliki kewenangan Perizinan dan Nonperizinan yang merupakan urusan Pemerintah yang belum memberikan pendelegasian wewenang atau pelimpahan wewenang kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal:

 

 

 

a.

menetapkan tingkat layanan SLA; dan

 

 

 

b.

menggunakan standar data referensi yang ditetapkan PSE.

 

 

3)

BPMPTSP Provinsi dan BPMPTSP Kabupaten/ Kota menggunakan standar data referensi yang ditetapkan dalam SPIPISE serta menyampaikan dan membuka akses informasi Perizinan dan Nonperizinan yang meliputi jenis, persyaratan teknis, mekanisme, biaya dan SLA serta informasi potensi Penanaman Modal daerah kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal.

 

 

4)

Kementerian/Lembaga, BPMPTSP Provinsi, dan BPMPTSP Kabupaten/ Kota menyediakan perangkat pendukung untuk pengolahan data, jaringan dan keterhubungan (interkoneksi) PSE di lingkungan masing-masing.

 

 

 

 

 

 

 

Pasal 22

 

 

 

 

 

(1)

Kementerian/Lembaga, BPMPTSP Provinsi, dan BPMPTSP Kabupaten/Kota memiliki hak akses terhadap PSE.

 

 

(2)

Kementerian/Lembaga, BPMPTSP Provinsi, dan BPMPTSP Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas data dan informasi dan menjaga keamanan atas penggunaan hak akses tersebut.

 

 

 

 

 

 

Pasal 23

 

 

(1)

Kernenterian/Lembaga, BPMPTSP Provinsi, dan BPMPTSP Kabupaten/Kota yang menggunakan PSE menyediakan jejak audit (audit trail) atas seluruh kegiatan dalam PSE.

 

 

(2)

Jejak audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk mengetahui dan menguji kebenaran proses transaksi elektronik melalui PSE.

 

 

(3)

Badan Koordinasi Penanaman Modal, Kementerian/ Lembaga BPMPTSP Provinsi, dan BPMPTSP Kabupaten/Kota menggunakan jejak audit yang ada di PSE sebagai dasar penelusuran apabila terjadi perbedaan data dan informasi.

 

 

 

 

 

 

Pasal 24

 

 

 

 

 

Dalam menyelenggarakan PSE tanggung jawab pembiayaan dibebankan kepada:

 

 

a.

Badan Koordinasi Penanaman Modal, untuk antarmuka sistem (interface) dari Badan Koordinasi Penanaman Modal ke kementerian/lembaga, BPMPTSP Provinsi, dan BPMPTSP Kabupaten/Kota;

 

 

b.

Kementerian/lembaga untuk jaringan dan keterhubungan dari BPMPTSP Provinsi, dan BPMPTSP Kabupaten/Kota;

 

 

c.

Pemerintah Provinsi, untuk jaringan dan keterhubungan dari BPMPTSP Provinsi ke Badan Koordinasi Penanaman Modal dan BPMPTSP Kabupaten/Kota; dan

 

 

d.

Pemerintah Kabupaten/Kota, untuk jaringan dan keterhubungan dari BPMPTSP Kabupaten/Kota ke Badan Koordinasi Penanaman Modal dan BPMPTSP Provinsi.

 

 

 

 

 

 

Pasal 25

 

 

(1)

Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan PSE diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.

 

 

(2)

Ketentuan pelaksanaan SPIPISE diatur dengan Peraturan Kepala/Badan Koordinasi Penanaman Modal.

 

 

 

 

 

 

BAB VI

 

 

PEMBIAYAAN PTSP

 

 

 

 

 

Pasal 26

 

 

 

 

 

Biaya yang diperlukan oleh pemerintah daerah untuk penyelenggaraan PTSP dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing-masing.

 

 

 

 

 

Pasal 27

 

 

 

 

 

(1)

Segala penerimaan negara yang timbul dari pelayanan Perizinan dan Nonperizinan yang merupakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah diserahkan kepada Kementerian/ Lembaga sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak.

 

 

(2)

Segala penerimaan daerah yang timbul dari pelayanan Perizinan dan Nonperizinan yang merupakan urusan pernerintahan daerah diserahkan kepada daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak dan retribusi daerah.

 

 

 

 

 

 

BAB VII

 

 

KETENTUAN PERALIHAN

 

 

 

 

 

Pasal 28

 

 

 

 

 

Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku:

 

 

a.

Dalam hal BPMPTSP Provinsi atau BPMPTSP Kabupaten/Kota belum terbentuk, permohonan Perizinan dan Nonperizinan yang telah disampaikan kepada daerah dan belum memperoleh persetujuan diselesaikan lebih lanjut oleh instansi yang berwenang.

 

 

b.

Dalam hal BPMPTSP Provinsi atau BPMPTSP Kabupaten/Kota telah terbentuk permohonan Perizinan dan Nonperizinan yang telah disampaikan kepada daerah dan belum memperoleh persetujuan diselesaikan lebih lanjut oleh BPMPTSP Provinsi atau BPMPTSP Kabupaten/ Kota.

 

 

 

 

 

 

Pasal 29

 

 

 

 

 

(1)

Pemerintah daerah yang belum membentuk atau menetapkan penyelenggara PTSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (3), agar membentuk dan mengoperasikan PTSP paling lama 1 (satu) tahun setelah Peraturan Presiden ini diundangkan.

 

 

(2)

Pemerintah daerah yang telah membentuk atau menetapkan penyelenggara PTSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (3) namun belum beroperasi, segera mengoperasikan PTSP paling lama 6 (enam) bulan setelah Peraturan Presiden ini diundangkan.

 

 

 

 

 

 

Pasal 30

 

 

 

 

 

(1)

Peraturan Menteri/Kepala Lembaga mengenai pendelegasian wewenang atau pelimpahan wewenang Pemberian Perizinan dan Nonperizinan di bidang Penanaman Modal yang diberikan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Gubernur, dan/atau Bupati/Walikota sebelum ditetapkannya Peraturan Presiden ini, dinyatakan tetap berlaku dan disesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Presiden ini paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan Presiden ini diundangkan.

 

 

(2)

Pendelegasian wewenang atau pelimpahan wewenang pemberian Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a yang belum diberikan Menteri/Kepala Lembaga kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal pada saat ditetapkannya Peraturan Presiden ini, dilakukan paling lambat 24 (dua puluh empat) bulan sejak Peraturan Presiden ini diundangkan.

 

 

(3)

Menteri/Kepala Lembaga dalam rangka pendelegasian wewenang atau pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), melakukan penyederhanaan tahapan memperoleh Perizinan dan Nonperizinan untuk setiap jenis Perizinan dan Nonperizinan yang berada dalam lingkup tugas dan kewenangannya paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak Peraturan Presiden ini diundangkan.

 

 

(4)

Penyederhanaan tahapan memperoleh Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan Menteri/Kepala Lembaga secara berkoordinasi dengan Lembaga/Instansi terkait tanpa mengurangi faktor keselamatan, keamanan, kesehatan dan perlindungan lingkungan dari kegiatan Penanarnan Modal.

 

 

 

 

 

 

Pasal 31

 

 

 

 

 

(1)

Perizinan dan Nonperizinan yang telah diperoleh dari Pemerintah sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya Perizinan dan Nonperizinan terse but dan dapat diperpanjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

(2)

Penanam Modal yang sebelumnya telah memperoleh Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang membutuhkan Perizinan dan Nonperizinan lebih lanjut, permohonannya diajukan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal atau BPMPTSP Provinsi atau BPMPTSP Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya.

 

 

 

 

 

 

Pasal 32

 

 

 

 

 

Badan yang telah melaksanakan fungsi pelayanan Perizinan dan Nonperizinan secara terpadu satu pintu sebelum berlakunya dan tidak bertentangan dengan Peraturan Presiden ini, tetap menjalankan tugas dan fungsinya sampai dengan terbentuknya BPMPTSP Provinsi atau BPMPTSP Kabupaten/Kota berdasarkan Peraturan Presiden ini.

 

 

 

 

 

BAB VIII

 

 

KETENTUAN PENUTUP

 

 

 

 

 

Pasal 33

 

 

 

 

 

Dengan berlakunya Peraturan Presiden ini maka Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 

 

 

 

 

Pasal 34

 

 

 

 

 

Peraturan yang mengatur PTSP yang telah ada disesuaikan dengan ketentuan Peraturan Presiden ini paling lambat 6 (enam) bulan setelah Peraturan Presiden ini diundangkan.

 

 

 

 

 

Pasal 35

 

 

 

 

 

Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

 

 

 

 

 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

 

 

 

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 15 September 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 18 September 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 221