PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI 
                            NOMOR P - 25/BC/2007

                              TENTANG

    PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-21/BC/2007 
          TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TATALAKSANA KEPABEANAN DI BIDANG IMPOR 
              PADA KANTOR PELAYANAN UTAMA BEA DAN CUKAI TANJUNG PRIOK

                   DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

Menimbang :

a.  bahwa sehubungan dengan upaya optimalisasi pelayanan dan pengawasan kepada pengguna jasa 
    kepabeanan di bidang impor melalui penerapan manajemen risiko atas pemeriksaan barang dan 
    dokumen;
b.  bahwa sehubungan dengan pengaturan kembali pelayanan dan pengawasan pemindahan barang 
    impor antar Tempat Penimbunan Sementara baik di dalam wilayah maupun dari dan ke Kantor 
    Pelayanan Utama;
c.  bahwa sehubungan dengan pemberlakuan mekanisme pelayanan keberatan dimana importir tidak 
    wajib menyerahkan jaminan dalam hal barang impor belum dikeluarkan dari Kawasan Pabean;
d.  bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan c, perlu menetapkan 
    Peraturan Direktur Jenderal tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai 
    Nomor P-21/BC/2007 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Tatalaksana Kepabeanan di Bidang Impor Pada 
    Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Priok;

Mengingat :

1.  Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia 
    Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana 
    telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia 
    Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
2.  Undang-undang Nomor 11 TAHUN 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 
    1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613);
3.  Peraturan Presiden Nomor 95 tahun 2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal 
    di Lingkungan Departemen Keuangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 22 
    tahun 2007;
4.  Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.01/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi 
    Vertikal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; 
5.  Keputusan Menteri Keuangan Nomor 453/KMK.04/2002 tentang Tatalaksana Kepabeanan di Bidang 
    Impor sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 
    112/KMK.04/2003;

                           MEMUTUSKAN :

Menetapkan:

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR 
JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-21/BC/2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TATALAKSANA 
KEPABEANAN DI BIDANG IMPOR PADA KANTOR PELAYANAN UTAMA BEA DAN CUKAI TANJUNG PRIOK.


                        Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-21/BC/2007 tentang Petunjuk 
Pelaksanaan Tatalaksana Kepabeanan di Bidang Impor Pada Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung 
Priok diubah sebagai berikut.

1.  Pasal 1 angka 21, 22, 23, dan 24 diubah dan diantara angka 22 dan 23 disisipkan 1 (satu) angka yakni 
    angka 22a, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut :

    21. Jalur Hijau adalah mekanisme pelayanan dan pengawasan pengeluaran barang impor dengan 
        tidak dilakukan pemeriksaan fisik, tetapi dilakukan penelitian dokumen setelah penerbitan 
        Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).
    22.     Jalur Merah adalah mekanisme pelayanan dan pengawasan pengeluaran barang impor dengan 
        dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen sebelum penerbitan SPPB;
        22a.        Jalur Kuning adalah mekanisme pelayanan dan pengawasan pengeluaran barang 
            impor dengan tidak dilakukan pemeriksaan fisik, tetapi dilakukan penelitian dokumen 
            sebelum penerbitan SPPB.
    23.     Mitra Utama (MITA) adalah:
            a.  Importir Jalur Prioritas, yang penetapannya dilakukan oleh Direktur Teknis 
            Kepabeanan atas nama Direktur Jenderal, untuk selanjutnya disebut MITA Prioritas;
            dan
        b.  Importir yang memenuhi persyaratan dan ditetapkan sebagai Mitra Utama 
            (non prioritas) dengan keputusan Kepala Kantor Pabean atas nama Direktur Jenderal, 
            untuk selanjutnya disebut MITA Non Prioritas.
    24.     Jalur Mitra Utama (MITA) adalah:
            c.  Jalur MITA Prioritas yaitu mekanisme pelayanan dan pengawasan pengeluaran barang 
            impor oleh Importir Jalur Prioritas dengan langsung diterbitkan SPPB tanpa dilakukan 
            pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen; dan
        d.  Jalur MITA Non Prioritas yaitu mekanisme pelayanan dan pengawasan pengeluaran 
            barang impor oleh importir dengan langsung diterbitkan SPPB tanpa dilakukan 
            pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen, kecuali dalam hal:
            i.  importasi komoditi berisiko tinggi;
            ii.     impor sementara,
            iii.    re-impor,
            iv.     barang impor dengan penangguhan pembayaran Bea Masuk, atau  
            v.  barang impor tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah, maka diterbitkan 
                SPPB setelah selesainya penelitian dokumen.


2.  Pasal 16 diubah, sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut :

                        Pasal 16

    (1)     Berdasarkan kriteria yang ditentukan, sistem aplikasi pelayanan menetapkan jalur 
        pengeluaran barang impor yang terdiri dari Jalur Merah, Jalur Kuning, Jalur Hijau, dan Jalur 
        MITA.
    (2)         Jalur pengeluaran barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan 
        Profil Importir dan/atau Profil Komoditi.
    (3)     Jalur pengeluaran barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut :
            a.  Jalur Merah ditetapkan dalam hal:
            1)  Importasi oleh Importir berisiko sangat tinggi;
            2)  Importir yang berisiko tinggi yang mengimpor komoditi berisiko tinggi atau 
                menengah;
            3)  Importir berisiko menengah yang mengimpor komoditi berisiko tinggi;
            4)  Importir berisiko rendah yang mengimpor komoditi berisiko tinggi;
            5)  Barang impor sementara, kecuali oleh MITA prioritas;
            6)  Barang re-impor, kecuali oleh MITA prioritas;
            7)  Barang impor dengan fasilitas penangguhan pembayaran Bea Masuk, cukai, 
                dan PDRI, kecuali oleh MITA prioritas;
            8)  Terkena pemeriksaan acak;
            9)  Barang impor tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah.
        b.  Jalur Kuning ditetapkan dalam hal:
            1)  Importir berisiko tinggi yang mengimpor komoditi berisiko rendah;
            2)  Importir berisiko menengah yang mengimpor komoditi berisiko menengah;
            3)  MITA Non Prioritas yang mengimpor komoditi berisiko tinggi.
        c.  Jalur Hijau ditetapkan dalam hal:
            1)  Importir berisiko menengah yang mengimpor komoditi berisiko rendah;
            2)  Importir berisiko rendah yang mengimpor komoditi berisiko rendah atau 
                menengah;
        d.  Jalur MITA ditetapkan dalam hal importasi oleh MITA.
    (4)     Dalam hal jalur pengeluaran barang impor ditetapkan Jalur Kuning dan Pejabat Pemeriksa 
        Dokumen memerlukan pemeriksaan laboratorium, importir mengajukan permohonan 
        pengambilan contoh barang kepada Kepala Bidang Pelayanan Pabean dan Cukai atau pejabat 
        yang ditunjuknya.
    (5)     Jalur Kuning sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat dilakukan pemeriksaan fisik 
        melalui mekanisme NHI berdasarkan informasi dari Pejabat Pemeriksa Dokumen.


3.      Pasal 17 diubah, sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai berikut :

                        Pasal 17

    (1)     Barang impor yang diberitahukan dengan PIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) 
        hanya dapat dikeluarkan dari Kawasan Pabean atau tempat lain yang berada di bawah 
        pengawasan Kantor Pabean setelah dilakukan pemeriksaan pabean dan diberikan persetujuan 
        pengeluaran barang oleh Pejabat.
    (2)         Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penelitian dokumen dan 
        pemeriksaan fisik barang.
    (3)     Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara selektif.
    (4)     Terhadap barang yang diimpor oleh importir yang termasuk dalam kategori risiko sangat 
        tinggi dilakukan pemeriksaan pabean secara mendalam untuk mengetahui kebenaran fisik 
        barang, tarif, nilai pabean, dan pemenuhan persyaratan impor dari instansi teknis.    
    (5)     Pemeriksaan fisik barang harus dimulai paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal Surat 
        Pemberitahuan Jalur Merah (SPJM).
    (6)     Importir atau kuasanya menyampaikan kesiapan dimulainya pemeriksaan fisik barang kepada 
        Pejabat.
    (7)     Dalam hal barang impor ditetapkan jalur merah dan dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja 
        setelah tanggal SPJM importir atau kuasanya:
            a.  tidak menyerahkan hardcopy PIB dan Dokumen Pelengkap Pabean;
        b.  tidak menyiapkan barang untuk diperiksa; atau
        c.  tidak hadir untuk pelaksanaan pemeriksaan fisik;
            maka dapat dilakukan pemeriksaan jabatan oleh Pejabat atas risiko dan biaya importir.
    (8)     Atas permintaan importir atau kuasanya, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) 
        dapat diperpanjang paling lama 2 (dua) hari kerja apabila yang bersangkutan dapat 
        memberikan alasan tentang penyebab tidak bisa dilakukannya pemeriksaan fisik.
    (9)     Barang impor berupa Barang Kena Cukai yang wajib dilekati Tanda Pelunasan atau 
        Pengawasan Cukai, hanya dapat dikeluarkan dari Kawasan Pabean atau tempat lain yang 
        berada di bawah pengawasan pabean setelah kewajiban pelekatan tersebut dipenuhi.
    (10)        Petunjuk teknis pemeriksaan fisik barang impor diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal 
        tentang Pemeriksaan Fisik Barang Impor.


4.      Pasal 18 diubah, sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut :

                        Pasal 18

    (1)     Untuk pengamanan hak keuangan negara dan menjamin dipenuhinya ketentuan impor yang 
        berlaku, Pejabat melakukan penelitian terhadap:
            a.  PIB untuk mengetahui kebenaran tarif dan kewajaran nilai pabean yang diberitahukan;  
        b.  PIBT untuk menetapkan tarif dan nilai pabean.
    (2)         Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diselesaikan dalam jangka waktu 
        paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pendaftaran PIB.
    (3)     Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, 
        Pejabat menetapkan tarif dan nilai pabean yang mengakibatkan tambah bayar:
            c.  Dalam hal Jalur Merah atau Jalur Kuning, Pejabat menerbitkan SPPB:
            1)  setelah importir melunasi kekurangan Bea Masuk, Cukai, PDRI, dan/atau 
                sanksi administrasi berupa denda; atau
            2)  setelah importir menyerahkan jaminan sebesar Bea Masuk, Cukai, PDRI, dan/
                atau sanksi administrasi berupa denda dalam hal diajukan keberatan.
        d.  Dalam hal Jalur Hijau, Pejabat menerbitkan Surat Penetapan Kekurangan Pembayaran 
            Bea Masuk, Cukai, PDRI, dan/atau Sanksi Administrasi berupa denda;
    (4)     Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a angka 2 tidak wajib diserahkan dalam 
        hal barang impor belum dikeluarkan dari Kawasan Pabean.
    (5)     Ketentuan dan tatacara keberatan diatur lebih lanjut dengan peraturan Direktur Jenderal.
   
5.      Judul Bagian Kelima BAB III dihapus. 

6.      Pasal 23 dihapus. 

7.      Di antara Pasal 23 dan Pasal 24 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 23A yang berbunyi sebagai 
    berikut :

                        Pasal 23A

    (1)     Pengeluaran barang impor dari TPS dengan tujuan untuk diangkut ke TPS lainnya dalam 
        wilayah pengawasan Kantor Pabean dilakukan dengan menggunakan pemberitahuan pindah 
        lokasi.
    (2)         Pengusaha TPS mengajukan permohonan pindah lokasi kepada Kepala Bidang Pelayanan 
        Pabean dan Cukai atau Pejabat yang ditunjuknya.
    (3)     Syarat dan tatakerja pengeluaran barang impor dari TPS untuk diangkut ke TPS lainnya dalam 
        wilayah pengawasan Kantor Pabean diatur dengan peraturan Direktur Jenderal tersendiri.


8.      Pasal 24 diubah, sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut :

                        Pasal 24

    (1) Pengeluaran barang impor dari Kawasan Pabean dengan tujuan untuk diangkut lanjut 
        dilakukan dengan menggunakan Pemberitahuan Pabean (BC 1.2) yang diajukan oleh 
        Pengangkut kepada Kepala Bidang Pelayanan Pabean dan Cukai atau Pejabat yang 
        ditunjuknya.
    (2)         Persetujuan pengeluaran dan/atau pemuatan barang diberikan apabila berdasarkan 
        pemeriksaan terhadap jumlah, jenis, nomor, merk, dan ukuran kemasan atau peti kemas 
        yang tercantum dalam BC 1.2 kedapatan sesuai dengan kemasan atau peti kemas yang 
        bersangkutan.
    (3)     Kriteria barang impor yang dapat diangkut lanjut diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal 
        tersendiri;
    (4)     Tatakerja pengeluaran barang impor untuk diangkut lanjut adalah sebagaimana ditetapkan 
        dalam Lampiran III huruf C Peraturan Direktur Jenderal ini.


9.      Judul Bagian Kelima BAB V diubah sehingga menjadi berbunyi :

                           Bagian Kelima
                Penimbunan Barang Impor di Gudang atau Lapangan 
                        Importir di luar Kawasan Pabean


10.     Pasal 34 diubah, sehingga Pasal 34 berbunyi sebagai berikut :

                        Pasal 34

    (1)     Penimbunan barang impor dapat dilakukan di gudang atau lapangan penimbunan milik 
        importir di luar Kawasan Pabean setelah mendapat persetujuan dari Kepala Bidang Pelayanan 
        Pabean dan Cukai atau pejabat yang ditunjuknya.
    (2)         Persetujuan penimbunan barang impor di Gudang atau Importir di luar Kawasan Pabean 
        sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan dalam hal:
            a.  keadaan darurat (force majeur);  
        b.  sifat barang yang bersangkutan sedemikian rupa sehingga tidak dapat ditimbun 
            di Tempat Penimbunan Sementara di Kawasan Pabean;
        c.  kongesti yang dinyatakan secara tertulis oleh pihak yang terkait/berwenang; dan/atau 
        d.  alasan lainnya berdasarkan pertimbangan Kepala Bidang Pelayanan Pabean dan 
            Cukai atau Pejabat yang ditunjuknya;
            dan tempat tersebut memenuhi syarat untuk dilakukan penimbunan.
    (3)     Tatakerja penimbunan barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 
        sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV huruf D Peraturan Direktur Jenderal ini.


11.     Pasal 35 diubah, sehingga Pasal 35 berbunyi sebagai berikut :

                        Pasal 35

    (1)     Pemeriksaan fisik barang impor di gudang atau lapangan penimbunan milik Importir dapat 
        dilakukan setelah mendapat persetujuan Kepala Bidang Pelayanan Pabean dan Cukai atau 
        Pejabat yang ditunjuknya.
    (2)         Persetujuan pemeriksaan fisik barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekaligus 
        merupakan izin untuk menimbun barang impor di gudang atau lapangan penimbunan milik 
        Importir yang bersangkutan.
    (3)     Penyelesaian pemeriksaan fisik barang impor dilakukan sesuai tatakerja sebagaimana 
        dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan Direktur Jenderal Nomor P-21/BC/2007.
    (4)     Tatakerja penimbunan barang impor untuk pemeriksaan fisik barang impor di gudang atau 
        lapangan penimbunan milik Importir adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV huruf 
        E Peraturan Direktur Jenderal ini.

12.     Lampiran II diubah sehingga menjadi sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur 
    Jenderal ini. 

13.     Lampiran III diubah sehingga menjadi sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Direktur 
    Jenderal ini. 

14.     Lampiran VI diubah sehingga menjadi sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III Peraturan Direktur 
    Jenderal ini. 

15.     Lampiran VII diubah sehingga menjadi sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV Peraturan Direktur 
    Jenderal ini. 

16.     Ditambahkan Lampiran IX yang berisi bentuk-bentuk formulir sebagaimana ditetapkan dalam 
    Lampiran V Peraturan Direktur Jenderal ini.


                        Pasal II

Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal 1 September 2007.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 2007
DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

ANWAR SUPRIJADI
NIP 120050332