KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 
                    NOMOR 426/KMK.06/2003

                        TENTANG 

         PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI

                MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a.  bahwa dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam industri perasuransian 
    nasional, perlu dilakukan penyesuaian secara menyeluruh terhadap ketentuan mengenai Perizinan 
    Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri 
    Keuangan Nomor 223/KMK.017/1993 tahun 1993;
b.  bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan 
    Keputusan Menteri Keuangan tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan 
    Perusahaan Reasuransi;

Mengingat :

1.  Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik 
    Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3467);
2.  Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian 
    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120; Tambahan Lembaran Negara Nomor 
    3506) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 (Lembaran 
    Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3861);
3.  Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001;

                           MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN ASURANSI 
DAN PERUSAHAAN REASURANSI.


                         BAB I
                        KETENTUAN UMUM

                        Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
1.  Prinsip Syariah adalah prinsip perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Perusahaan Asuransi atau 
    Perusahaan Reasuransi dengan pihak lain, dalam menerima amanah dengan mengelola dana peserta 
    melalui kegiatan investasi atau kegiatan lain yang diselenggarakan sesuai syariah.
2.  Direksi adalah direksi untuk perseroan terbatas atau persero, atau yang setara dengan itu untuk 
    koperasi dan usaha bersama.
3.  Komisaris adalah komisaris untuk perseroan terbatas atau persero, atau yang setara dengan itu untuk 
    koperasi dan usaha bersama.
4.  Kantor Pemasaran adalah kantor selain kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (4) 
    Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian 
    sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999.
5.  Asosiasi adalah asosiasi dari Perusahaan-perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan-perusahaan 
    Asuransi Jiwa, atau Perusahaan-perusahaan Reasuransi.


                        BAB II
                             IZIN USAHA

                          Bagian Pertama
                 Persyaratan dan Tata Cara Memperoleh Izin Usaha
                 Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi Konvensional

                        Pasal 2

(1) Untuk mendapatkan izin usaha, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus mengajukan 
    permohonan tertulis kepada Menteri dengan melampirkan hal-hal sebagai berikut:
    a.  bukti pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 9 
        Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian 
        sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999; dan
    b.  dokumen pendukung lainnya yang meliputi:
        1)  susunan organisasi dan kepengurusan, termasuk uraian tugas dan wewenangnya;
        2)  neraca pembukaan, yang dilengkapi dengan bukti pendukungnya, dan proyeksi 
            keuangan yang terdiri dari proyeksi neraca, perhitungan laba rugi, dan arus kas, yang 
            didukung oleh asumsi-asumsi yang wajar untuk periode sekurang-kurangnya 3 (tiga) 
            tahun mendatang;
        3)  rencana di bidang kepegawaian termasuk rencana pengembangan sumber daya 
            manusia untuk sekurang-sekurangnya tiga tahun mendatang;
        4)  daftar riwayat hidup Direksi, Komisaris dan tenaga ahli yang dipekerjakan, yang 
            dilengkapi dengan bukti pendukungnya;
        5)  pernyataan tidak merangkap bekerja pada perusahaan lain, masing-masing bagi 
            Direksi dan tenaga ahli;
        6)  Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perusahaan, Direksi, dewan komisaris dan 
            pemegang saham;
        7)  bukti pemenuhan modal disetor;
        8)  bukti penempatan deposito jaminan;
        9)  uraian tentang sistem administrasi dan sistem pengolahan data yang digunakan;
        10) alamat lengkap perusahaan; dan
        11) pernyataan dari pemegang saham bahwa sumber dana yang dijadikan modal tidak 
            berasal dari Tindak Pidana Kejahatan Asal sebagaimana dimaksud dalam Undang-
            undang Tindak Pidana Pencucian Uang.

(2) Bagi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang di dalamnya terdapat penyertaan 
    langsung oleh pihak asing, selain harus memenuhi ketentuan ayat (1) maka pihak asing dimaksud 
    harus pula memenuhi ketentuan:
    a.  memiliki rating sekurang-kurangnya A atau yang setara dengan itu dari lembaga pemeringkat 
        yang diakui secara internasional;
    b.  memiliki modal sendiri sekurang-kurangnya 5 (lima) kali dari besarnya penyertaan langsung 
        pada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang akan didirikan;
    c.  menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit untuk 2 (dua) tahun terakhir yang 
        menunjukkan tingkat kesehatan keuangan yang sehat; dan
    d.  menyampaikan perjanjian kerjasama antara pihak Indonesia dan pihak asing yang dibuat 
        dalam bahasa Indonesia, yang sekurang-kurangnya memuat:
        1)  komposisi permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) Peraturan 
            Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian 
            sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999;
        2)  susunan anggota dewan komisaris dan Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 
            ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha 
            Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 
            Tahun 1999; dan
        3)  kewajiban pihak asing untuk menyusun dan melaksanakan program pendidikan dan 
            pelatihan sesuai bidang keahliannya.


                            Bagian Kedua
                   Persyaratan dan Tata Cara Memperoleh Izin Usaha
                    Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
                       dengan Prinsip Syariah

                        Pasal 3

Setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan Prinsip Syariah dengan cara:
a.  pendirian baru Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah;
b.  konversi dari Perusahaan Asuransi dengan prinsip konvensional menjadi Perusahaan Asuransi dengan 
    Prinsip Syariah atau konversi dari Perusahaan Reasuransi dengan prinsip konvensional menjadi 
    Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah;
c.  pendirian kantor cabang baru dengan Prinsip Syariah dari Perusahaan Asuransi dengan prinsip 
    konvensional atau Perusahaan Reasuransi dengan prinsip konvensional; atau
d.  konversi dari kantor cabang Perusahaan Asuransi dengan prinsip Konvensional menjadi kantor cabang 
    dengan Prinsip Syariah dari Perusahaan Asuransi dengan prinsip konvensional, atau konversi dari 
    kantor cabang Perusahaan Reasuransi dengan prinsip konvensional menjadi kantor cabang dengan 
    Prinsip Syariah dari Perusahaan Reasuransi dengan prinsip konvensional.


                        Pasal 4

(1) Untuk pendirian Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam 
    Pasal 3 huruf a, harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

(2) Konversi Perusahaan asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 
    huruf b, harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan memenuhi ketentuan 
    sebagai berikut:
    a.  tidak merugikan tertanggung atau pemegang polis;
    b.  memberitahukan konversi tersebut kepada pemegang polis; dan
    c.  memindahkan portofolio pertanggungan ke perusahaan asuransi konvensional lain atau 
        membayarkan nilai tunai pertanggungan, bagi tertanggung atau pemegang polis yang tidak 
        bersedia menjadi tertanggung atau pemegang polis dari perusahaan asuransi dengan Prinsip 
        Syariah.

(3) Selain harus memenuhi ketentuan dalam ayat (1), pendirian atau konversi Perusahaan Asuransi atau 
    Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah harus pula menyampaikan:
    a.  bukti pendukung bahwa tenaga ahli yang dipekerjakan memiliki keahlian di bidang asuransi 
        dan atau ekonomi syariah;
    b.  bukti pengesahan Dewan Syariah Nasional tentang penunjukkan anggota Dewan Pengawas 
        Syariah Perusahaan;
    c.  bukti pengesahan Dewan Pengawas Syariah Perusahaan atas produk asuransi yang akan 
        dipasarkan yang sekurang-kurangnya meliputi:
        1)  dasar perhitungan tarif premi, cadangan premi dan asset share atau profit testing 
            bagi Perusahaan asuransi Jiwa;
        2)  dasar perhitungan tarif premi, cadangan premi dan proyeksi underwriting bagi 
            Perusahaan Asuransi Kerugian;
        3)  cara pemasaran;
        4)  rencana dukungan reasuransi otomatis bagi Perusahaan Asuransi dan rencana 
            dukungan retrosesi bagi Perusahaan Reasuransi; dan
        5)  contoh polis, surat permohonan penutupan asuransi (SPPA) dan brosur.
    d.  pedoman pelaksanaan manajemen keuangan sesuai syariah yang sekurang-kurangnya 
        mengatur mengenai penempatan investasi baik batasan jenis maupun jumlah;
    e.  pedoman penyelenggaraan usaha sesuai syariah yang sekurang-kurangnya mengatur 
        mengenai penyebaran risiko; dan
    f.  bukti pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bagi konversi 
        Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 
        huruf b.


                            Bagian Ketiga
                  Pemberian atau Penolakan Permohonan Izin Usaha

                        Pasal 5

(1) Pemberian atau penolakan permohonan izin usaha bagi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan 
    Reasuransi diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal permohonan 
    diterima secara lengkap.

(2) Setiap penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai dengan penjelasan secara 
    tertulis.


                        Pasal 6

Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang ditolak atau yang membatalkan permohonan izin 
usahanya, dapat mengajukan permohonan pencairan deposito jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 
ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian 
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999.


                        Pasal 7

Selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal pemberian izin usaha, Perusahaan Asuransi atau 
Perusahaan Reasuransi harus menyampaikan program dukungan reasuransi otomatis.


                        BAB III
                          KELEMBAGAAN

                          Bagian Pertama
                       Susunan Organisasi

                        Pasal 8

Susunan organisasi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus memenuhi persyaratan:
a.  sekurang-kurangnya menggambarkan secara jelas adanya fungsi pengelolaan risiko, fungsi 
    pengelolaan keuangan dan fungsi pelayanan, yang terpisah satu dengan yang lainnya; dan
b.  dilengkapi dengan uraian tugas, wewenang, tanggung jawab dan prosedur kerja dari masing-masing 
    unit organisasi.


                           Bagian Kedua
                  Direksi, Komisaris dan Pemegang Saham

                        Pasal 9

Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi wajib memiliki sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota 
Direksi.


                        Pasal 10

Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus memiliki paling sedikit 1 (satu) orang Komisaris 
independen, yaitu Komisaris yang tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan pemegang saham dan atau 
Direksi.


                        Pasal 11

(1) Setiap Direksi, Komisaris atau pemegang saham Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi 
    harus telah lulus pengujian penilaian kemampuan dan kepatutan.

(2) Dalam hal ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pemegang saham belum 
    diberlakukan, pemegang saham dianggap memenuhi ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan 
    kepatutan apabila yang bersangkutan tidak termasuk dalam daftar orang tercela di bidang perbankan.


                           Bagian Ketiga
                            Tenaga Ahli

                              Paragraf 1
                Tenaga Ahli Perusahaan Asuransi Kerugian

                        Pasal 12

(1) Perusahaan Asuransi Kerugian harus mengangkat seorang tenaga ahli asuransi kerugian.

(2) Tenaga ahli asuransi kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan 
    sebagai berikut:
    a.  memiliki kualifikasi sebagai ahli manajemen asuransi kerugian dari Asosiasi Ahli Manajemen 
        Asuransi Indonesia (AAMAI) atau dari asosiasi sejenis dari luar negeri setelah terlebih dahulu 
        memperoleh pengakuan dari AAMAI;
    b.  memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan risiko sekurang-kurangnya 3 (tiga) 
        tahun;
    c.  tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesinya; dan
    d.  terdaftar sebagai tenaga ahli asuransi kerugian di Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan.


                        Pasal 13

(1) Tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 wajib melakukan evaluasi terhadap aspek teknis 
    penyelenggaraan usaha asuransi kerugian.

(2) Dalam melaksanakan tugasnya, tenaga ahli harus berpedoman pada standar praktek dan kode etik 
    profesi yang berlaku.


                        Pasal 14

Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi hanya dapat mempekerjakan tenaga underwriting yang telah 
mengikuti pendidikan dan atau pelatihan mengenai cabang asuransi yang dipasarkan.


                              Paragraf 2
                    Tenaga Ahli Perusahaan Asuransi Jiwa

                        Pasal 15

(1) Perusahaan Asuransi Jiwa harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang tenaga ahli 
    manajemen asuransi jiwa.

(2) Tenaga ahli manajemen asuransi jiwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus memenuhi 
    persyaratan sebagai berikut:
    a.  memiliki kualifikasi sebagai ahli manajemen asuransi jiwa dari Asosiasi Ahli Manajemen 
        Asuransi Indonesia (AAMAI) atau dari asosiasi sejenis dari luar negeri setelah terlebih dahulu 
        memperoleh pengakuan dari AAMAI;
    b.  memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan risiko sekurang-kurangnya 3 (tiga) 
        tahun;
    c.  tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesinya; dan
    d.  terdaftar sebagai tenaga ahli asuransi jiwa di Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan.

(3) Tenaga ahli manajemen asuransi jiwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib melakukan 
    evaluasi terhadap aspek teknis penyelenggaraan usaha asuransi jiwa.


                        Pasal 16

(1) Perusahaan Asuransi Jiwa harus mengangkat seorang aktuaris sebagai aktuaris perusahaan.

(2) Aktuaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    a.  memiliki kualifikasi sebagai aktuaris dari Persatuan Aktuaris Indonesia atau asosiasi sejenis 
        dari luar negeri yang terdaftar sebagai anggota penuh dari asosiasi aktuaris internasional 
        (International Association of Actuaries) dan mendapat pengakuan dari Persatuan Aktuaris 
        Indonesia;
    b.  memiliki pengalaman kerja dalam bidang aktuaria asuransi jiwa sekurang-kurangnya 3 (tiga) 
        tahun;
    c.  mendapat rekomendasi dari Persatuan Aktuaris Indonesia yang menyatakan bahwa yang 
        bersangkutan dinilai layak untuk bekerja pada Perusahaan Asuransi Jiwa di Indonesia, bagi 
        aktuaris selain anggota Persatuan Aktuaris Indonesia; dan
    d.  terdaftar sebagai aktuaris di Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan.


                        Pasal 17

(1) Aktuaris perusahaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 16 ayat (1) wajib melakukan valuasi terhadap 
    kewajiban Perusahaan Asuransi Jiwa dan aspek teknis aktuaria lainnya.

(2) Dalam melaksanakan tugasnya, aktuaris perusahaan harus berpedoman pada standar praktek dan 
    kode etik profesi yang berlaku.


                        Pasal 18

Perusahaan Asuransi Jiwa wajib menunjuk Perusahaan Konsultan Aktuaria yang tidak memiliki hubungan 
afiliasi dengan perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan untuk melakukan valuasi kewajiban perusahaan 
sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun.


                               Paragraf 3
                     Tenaga Ahli Perusahaan Reasuransi

                        Pasal 19

(1) Perusahaan Reasuransi harus mengangkat seorang tenaga ahli asuransi kerugian.

(2) Tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    a.  memiliki kualifikasi sebagai ahli manajemen asuransi kerugian dari Asosiasi Ahli Manajemen 
        Asuransi Indonesia (AAMAI) atau dari asosiasi sejenis dari luar negeri setelah terlebih dahulu 
        memperoleh pengakuan dari AAMAI;
    b.  memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan risiko sekurang-kurangnya 3 (tiga) 
        tahun;
    c.  tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesinya; dan
    d.  terdaftar sebagai tenaga ahli asuransi kerugian di Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan.


                        Pasal 20

(1) Tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) wajib melakukan evaluasi terhadap aspek 
    teknis penyelenggaraan usaha reasuransi.

(2) Dalam melaksanakan tugasnya, tenaga ahli harus berpedoman pada standar praktek dan kode etik 
    profesi yang berlaku.


                        Paragraf 4
                Pengangkatan, Pemberhentian, dan Penggantian
                     Tenaga Ahli atau Aktuaris Perusahaan

                        Pasal 21

(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus melaporkan pengangkatan tenaga ahli dan 
    atau aktuaris perusahaan kepada Menteri, selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak tanggal 
    pengangkatan.

(2) Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya laporan pengangkatan tenaga 
    ahli dan atau aktuaris perusahaan sebagaimana dimaksud ayat (1), Menteri tidak memberikan 
    tanggapan, maka proses pelaporan pengangkatan tenaga ahli dan atau aktuaris perusahaan dimaksud 
    dinyatakan telah dilakukan.


                        Pasal 22

(1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi wajib memberhentikan tenaga ahli asuransi atau   
    aktuaris perusahaan yang melanggar peraturan perundangan di bidang usaha perasuransian 
    selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak ditemukannya pelanggaran.

(2) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang memberhentikan tenaga ahli asuransi atau 
    aktuaris perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengangkat tenaga ahli asuransi 
    atau aktuaris perusahaan dan melaporkannya kepada Menteri selambat-lambatnya 14 (empat belas) 
    hari kerja sejak tanggal pemberhentian.


                        Paragraf 5
                        Tenaga Ahli pada Kantor Cabang

                        Pasal 23

(1) Perusahaan Asuransi Kerugian dan Perusahaan Reasuransi wajib mengangkat seorang tenaga ajun 
    ahli asuransi kerugian pada setiap kantor cabang.

(2) Tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    a.  memiliki kualifikasi sebagai ajun ahli manajemen asuransi kerugian dari Asosiasi Ahli 
        Manajemen Asuransi Indonesia (AAMAI) atau dari asosiasi sejenis dari luar negeri setelah 
        terlebih dahulu memperoleh pengakuan dari AAMAI;
    b.  memiliki pengalaman kerja di bidang teknis asuransi kerugian sekurang-kurangnya 2 (dua) 
        tahun; dan
    c.  tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesi.


                        Pasal 24

(1) Perusahaan Asuransi Jiwa harus mengangkat seorang tenaga ajun ahli asuransi jiwa pada setiap 
    kantor cabang.

(2) Tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    a.  memiliki kualifikasi sebagai ajun ahli manajemen asuransi jiwa dari Asosiasi Ahli Manajemen 
        Asuransi Indonesia (AAMAI) atau dari asosiasi sejenis dari luar negeri setelah terlebih dahulu 
        memperoleh pengakuan dari AAMAI;
    b.  memiliki pengalaman kerja di bidang teknis asuransi jiwa sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun; 
        dan
    c.  tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesi.


                        Paragraf 6
                Pendaftaran Tenaga Ahli Asuransi dan Aktuaris

                        Pasal 25

Setiap tenaga ahli asuransi dan aktuaris wajib mendaftarkan diri dengan mengajukan permohonan pendaftaran 
secara tertulis kepada Direktur Jenderal Lembaga Keuangan dengan melampirkan:
a.  daftar riwayat hidup yang dilengkapi dengan data pendukungnya;
b.  copy sertifikat gelar profesi; dan
c.  keterangan tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesi.


                              Paragraf 7
                Pembatalan Pendaftaran Tenaga Ahli Asuransi
                             dan Aktuaris

                        Pasal 26

Pendaftaran tenaga ahli asuransi dan aktuaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dapat dibatalkan apabila 
tenaga ahli asuransi dan aktuaris dimaksud:
a.  dicabut gelar profesinya oleh asosiasi profesi yang mengeluarkan gelar tersebut;
b.  sedang dalam pengenaan sanksi oleh asosiasi profesi;
c.  melakukan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan di bidang usaha perasuransian;
d.  tidak lulus pengujian kemampuan dan kepatutan karena faktor integritas, dalam hal tenaga ahli atau 
    aktuaris pernah mengikuti pengujian dimaksud.


                           Bagian Keempat
                Sistem Administrasi dan Pengolahan Data

                        Pasal 27

Pelaksanaan pengelolaan perusahaan sekurang-kurangnya didukung dengan:
a.  pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia;
b.  sistem administrasi yang memenuhi fungsi pengendalian intern; dan
c.  sistem pengolahan data yang dapat menghasilkan informasi yang akurat dan dapat 
    dipertanggungjawabkan dalam pengambilan keputusan.


                            Bagian Kelima
                    Penggunaan Tenaga Asing

                        Pasal 28

(1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dapat mempekerjakan tenaga asing sebagai tenaga 
    ahli, penasihat atau konsultan, atau sebagai tenaga eksekutif di luar Direksi bagi perusahaan yang di 
    dalamnya terdapat penyertaan langsung pihak asing, dengan ketentuan tenaga asing dimaksud:
    a.  memiliki keahlian sesuai dengan bidang tugas yang akan menjadi tanggung jawabnya; dan
    b.  memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

(2) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang mempekerjakan tenaga asing sebagaimana 
    dimaksud dalam ayat (1) wajib menyampaikan kepada Menteri:
    a.  program kerja tenaga asing tersebut sesuai dengan tugasnya; dan
    b.  program pendidikan dan pelatihan di bidang keahliannya yang akan diberikan tenaga asing 
        tersebut kepada karyawan dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang 
        mempekerjakannya.

(3) Laporan pelaksanaan program pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk 
    setiap semester yang berakhir pada bulan Juni dan Desember wajib disampaikan kepada Menteri     
    selambat-lambatnya pada akhir bulan berikutnya.

(4) Tenaga asing yang bekerja sebagai penasihat atau konsultan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), 
    dilarang menjalankan fungsi di luar fungsi penasihat atau konsultan.


                             Bagian Keenam
                       Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan

                        Pasal 29

(1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi wajib menganggarkan dana untuk pelaksanaan 
    pendidikan dan pelatihan sekurang-kurangnya 5% (lima per seratus) dari jumlah biaya pegawai, 
    Direksi dan Komisaris, untuk meningkatkan keterampilan, pengetahuan, dan keahlian di bidang usaha 
    perasuransian bagi karyawannya.

(2) Laporan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan termasuk penggunaan dana sebagaimana dimaksud 
    pada ayat (1), untuk setiap periode satu tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember, dilaporkan 
    kepada Menteri selambat-lambatnya pada tanggal 31 Januari tahun berikutnya.


                            Bagian Ketujuh
                       Keanggotaan Asosiasi

                        Pasal 30

(1) Setiap Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi wajib menjadi anggota Asosiasi perusahaan 
    sejenis.

(2) Asosiasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas antara lain:
    a.  menyusun standar praktek dan kode etik pemasaran produk asuransi dalam rangka 
        memelihara terciptanya persaingan pasar yang sehat;
    b.  mengkoordinir pelaksanaan pembentukan profil risiko, tabel mortalita, dan produk 
        semacamnya;
    c.  mengkoordinir upaya untuk mengoptimalkan kapasitas retensi asuransi nasional;
    d.  mengkoordinir upaya bersama atau pembentukan perusahaan asuransi untuk menutup risiko 
        khusus;
    e.  melaksanakan pendidikan dan pelatihan keagenan; dan
    f.  melaksanakan dan menetapkan sertifikasi keagenan.

(3) Pelaksanaan kegiatan Asosiasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikonsultasikan secara berkala 
    kepada Menteri.


                        BAB IV
                KANTOR CABANG DAN KANTOR PEMASARAN

                          Bagian Pertama
            Pembukaan Kantor Cabang Perusahaan Asuransi dan
                    Perusahaan Reasuransi Konvensional

                        Pasal 31

(1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dapat membuka kantor cabang sebagaimana 
    dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang 
    Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah 
    Nomor 63 Tahun 1999, dengan ketentuan:
    a.  memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas untuk 4 (empat) triwulan terakhir;
    b.  memiliki tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 24 ayat (2), 
        yang bekerja secara penuh pada kantor cabang yang bersangkutan; dan
    c.  tidak sedang dalam pengenaan sanksi administratif.

(2) Untuk memperoleh izin pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Perusahaan 
    Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus memenuhi ketentuan ayat (1) dan mengajukan 
    permohonan secara tertulis kepada Menteri dengan melampirkan:
    a.  uraian tentang sistem administrasi dan sistem pengelolaan data yang memenuhi fungsi 
        pengendalian intern berkenaan dengan kegiatan kantor cabang;
    b.  uraian tentang rincian kewenangan pimpinan cabang dalam penutupan asuransi, penetapan 
        premi, penetapan besarnya komisi dan penyelesaian klaim;
    c.  identitas pimpinan kantor cabang;
    d.  bukti mempekerjakan tenaga ahli pada kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
        huruf b yang akan dipekerjakan pada kantor cabang dimaksud, berikut bukti kualifikasi 
        keahliannya dan daftar riwayat hidup dengan bukti pendukungnya;
    e.  alamat lengkap kantor cabang; dan
    f.  proyeksi keuangan kantor cabang yang meliputi proyeksi pendapatan & biaya serta arus kas, 
        untuk sekurang-kurangnya 3 tahun mendatang.


                            Bagian Kedua
                  Pembukaan Kantor Cabang dengan Prinsip Syariah dari
            Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi Konvensional

                        Pasal 32

(1) Pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c atau konversi kantor cabang 
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d, harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud 
    dalam Pasal 31 dan memenuhi ketentuan sebagai berikut:
    a.  dalam anggaran dasar perusahaan dinyatakan bahwa maksud dan tujuan perusahaan hanya 
        menjalankan usaha asuransi kerugian, asuransi jiwa, atau usaha reasuransi termasuk usaha 
        dengan Prinsip Syariah;
    b.  memiliki modal kerja kantor cabang paling sedikit Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah);
        dan
    c.  memiliki tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 24 ayat (2), 
        yang memiliki keahlian di bidang asuransi dan atau ekonomi syariah.

(2) Selain harus memenuhi ketentuan dalam ayat (1), permohonan pembukaan kantor cabang dengan 
    Prinsip Syariah harus pula dilengkapi dengan bukti:
    a.  pengesahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang;
    b.  bukti mempekerjakan tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf c 
        yang dilengkapi dengan bukti kualifikasi, daftar riwayat hidup termasuk bukti pendukungnya;
    c.  pengesahan Dewan Syariah Nasional tentang penunjukkan anggota Dewan Pengawas 
        Syariah Perusahaan;
    d.  pengesahan Dewan Pengawas Syariah Perusahaan atas:
        1)  sumber modal kerja kantor cabang;
        2)  sistem akuntansi yang terpisah/tersendiri khusus untuk cabang dengan Prinsip 
            Syariah;
        3)  produk asuransi yang akan dipasarkan;
        4)  dasar perhitungan tarif premi, cadangan premi dan asset share atau profit testing 
            bagi Perusahaan Asuransi Jiwa;
        5)  dasar perhitungan tarif premi, cadangan premi dan proyeksi underwriting bagi 
            perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan reasuransi;
        6)  cara pemasaran;
        7)  rencana dukungan reasuransi otomatis bagi perusahaan asuransi dan rencana 
            dukungan retrosesi bagi perusahaan reasuransi; dan
        8)  contoh polis, surat permohonan penutupan asuransi (SPPA) dan brosur.


                             Bagian Ketiga
                 Pembukaan Kantor Cabang dari Perusahaan Asuransi dan
                Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah

                        Pasal 33

Pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, harus memenuhi persyaratan 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan memiliki tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat 
(1) huruf c.


                           Bagian Keempat
                       Pembukaan Kantor Pemasaran

                        Pasal 34

Pembukaan Kantor Pemasaran harus terlebih dahulu dilaporkan secara tertulis kepada Menteri selambat-
lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sebelum tanggal pembukaan kantor dimaksud, dengan menyebutkan 
alamat lengkap dan identitas pimpinan kantor tersebut.


                        Pasal 35

(1) Kantor Pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berfungsi sebagai Kantor Pemasaran yang 
    membantu pelayanan informasi kepada masyarakat pemegang polis atau tertanggung.

(2) Kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang:
    a.  menerima atau menolak penutupan asuransi;
    b.  menandatangani polis; dan
    c.  menetapkan untuk membayar atau menolak klaim.


                            Bagian Kelima
                   Penutupan Kantor Cabang dan Kantor Pemasaran

                        Pasal 36

Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang akan menghentikan atau menutup kegiatan suatu 
kantor cabang dan atau Kantor Pemasaran harus melaporkan terlebih dahulu kepada Menteri selambat-
lambatnya dalam waktu 15 (lima belas) hari kerja sebelum tanggal penghentian atau penutupan kantor 
dimaksud.


                        Pasal 37

Pencabutan izin pembukaan suatu kantor cabang akan dilakukan dalam hal:
a.  adanya laporan penghentian atau penutupan kantor cabang tersebut oleh Perusahaan Asuransi atau 
    Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);
b.  kantor cabang tersebut terbukti tidak melakukan kegiatan operasional dalam waktu tiga bulan sejak 
    tanggal penetapan izin pembukaan; dan atau
c.  kantor cabang tersebut terbukti tidak melakukan kegiatan operasional dalam waktu enam bulan secara 
    terus menerus.


                          BAB V
                    PEMASARAN MELALUI JASA AGEN DAN MELALUI
                      KERJASAMA DENGAN PIHAK BANK

                           Bagian Pertama
                         Pemasaran Melalui Jasa Agen

                        Pasal 38

(1) Perusahaan Asuransi wajib memiliki perjanjian keagenan dengan agen asuransi yang memasarkan 
    produk asuransinya.

(2) Perusahaan Asuransi dilarang mempekerjakan agen yang masih terikat perjanjian keagenan dengan
    Perusahaan Asuransi lain kecuali agen yang bersangkutan telah mengakhiri perjanjian keagenannya 
    sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan.

(3) Dalam hal Perusahaan Asuransi menggunakan jasa pemasaran selain agen asuransi sebagaimana 
    dimaksud dalam ayat (1), maka Perusahaan Asuransi tersebut bertanggung jawab penuh terhadap 
    konsekuensi yang timbul dari penutupan asuransi dimaksud.


                             Bagian Kedua
                        Pemasaran Melalui Kerjasama dengan Bank

                        Pasal 39

(1) Perusahaan Asuransi dapat melakukan pemasaran melalui kerjasama dengan bank (bancassurance).

(2) Perusahaan Asuransi yang melakukan pemasaran melalui kerjasama dengan bank sebagaimana 
    dimaksud dalam ayat (1) bertanggung jawab atas semua tindakan bank yang berkaitan dengan 
    transaksi asuransi yang dipasarkan melalui kerjasama dengan bank dimaksud.


                        Pasal 40

(1) Perusahaan Asuransi yang akan melakukan pemasaran melalui kerjasama dengan bank harus 
    memperoleh persetujuan Menteri.

(2) Untuk memperoleh persetujuan Menteri, Perusahaan Asuransi yang akan melakukan pemasaran 
    melalui kerjasama dengan bank harus mengajukan permohonan kepada Menteri dengan 
    menyampaikan:
    a.  produk yang akan dipasarkan;
    b.  prosedur penutupan dan pembayaran premi;
    c.  prosedur penyelesaian klaim; dan
    d.  konsep perjanjian kerja sama dengan bank yang telah diparaf oleh para pihak.

(3) Petugas bank yang akan melakukan pemasaran produk asuransi harus memenuhi ketentuan sebagai 
    berikut:
    a.  memiliki sertifikasi keagenan asuransi yang dikeluarkan oleh asosiasi terkait; dan
    b.  telah memperoleh pelatihan mengenai produk asuransi yang akan dipasarkan.

(4) Perusahaan Asuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menyampaikan perjanjian 
    kerjasama dengan pihak bank yang telah ditandatangani, paling lambat 14 (empat belas) hari sejak 
    memperoleh persetujuan Menteri.


                         BAB VI
                      LAPORAN PERUBAHAN

                        Pasal 41

(1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi wajib menyampaikan laporan mengenai setiap 
    perubahan:
    a.  alamat kantor perusahaan baik kantor pusat, kantor cabang maupun Kantor Pemasaran;
    b.  tenaga ahli;
    c.  penggunaan tenaga asing;
    d.  susunan organisasi;
    e.  pemimpin kantor cabang maupun Kantor Pemasaran;
    f.  Nomor Pokok Wajib Pajak; dan
    g.  produk asuransi yang dipasarkan.

(2) Perubahan alamat kantor cabang atau selain kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
    hanya dimungkinkan:
    a.  bagi perubahan alamat di dalam wilayah Kotamadya yang sama atau Kabupaten yang sama;
    b.  bagi perubahan alamat antar wilayah Kotamadya pada Ibukota Propinsi;
    c.  bagi perubahan alamat dari kabupaten ke kotamadya yang merupakan pengembangan 
        wilayah kabupaten dimaksud, atau sebaliknya.


                        Pasal 42

(1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang melakukan perubahan anggaran dasar harus 
    menyampaikan bukti persetujuan dari instansi yang berwenang kepada Menteri, selambat-lambatnya 
    14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal diperoleh persetujuan.

(2) Dalam hal perubahan anggaran dasar tidak memerlukan persetujuan dari instansi yang berwenang, 
    maka perubahan yang sudah dimuat dalam akta notaris disampaikan kepada Menteri selambat-
    lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal perubahan.


                        Pasal 43

(1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang akan melakukan perubahan kepemilikan, 
    harus terlebih dahulu melaporkan rencana perubahan kepemilikan tersebut kepada Menteri untuk 
    memperoleh persetujuan.

(2) Dalam hal perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan perubahan kepemilikan yang 
    mengakibatkan terdapatnya penyertaan langsung pihak asing di dalam perusahaan asuransi atau 
    perusahaan reasuransi tersebut, maka pihak asing dimaksud harus Perusahaan Asuransi sejenis atau 
    perusahaan induk (holding company) yang sebagian besar portofolio anak perusahaannya di bidang 
    asuransi.

(3) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus 
    memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2).

(4) Perusahaan induk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2) 
    huruf b, c, dan d.


                          BAB VII
                     MERGER, KONSOLIDASI, DAN AKUISISI

                             Bagian Pertama
                       Merger dan Konsolidasi

                        Pasal 44

(1) Merger dapat dilakukan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dengan menggabungkan 
    dua atau lebih perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi dengan cara tetap mempertahankan 
    berdirinya salah satu perusahaan dengan atau tanpa melikuidasi perusahaan lainnya.

(2) Konsolidasi dapat dilakukan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dengan melebur dua 
    atau lebih perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi dengan cara mendirikan perusahaan baru 
    dan melikuidasi perusahaan yang dilebur.

(3) Merger dan konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat dilakukan 
    dengan memenuhi ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 
    tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan 
    Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999.


                        Pasal 45

(1) Untuk memperoleh persetujuan merger atau konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 
    Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian 
    sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999, Perusahaan Asuransi 
    atau Perusahaan Reasuransi harus mengajukan permohonan kepada Menteri dengan melampirkan 
    bukti sebagai berikut:
    a.  Perjanjian dalam bahasa Indonesia, mengenai pengalihan semua hak dan kewajiban dari 
        perusahaan-perusahaan yang akan melakukan merger atau konsolidasi dengan tidak 
        mengurangi hak tertanggung;
    b.  laporan keuangan terakhir yang telah diaudit dari perusahaan-perusahaan yang akan 
        melakukan merger atau konsolidasi;
    c.  laporan keuangan proforma dari perusahaan hasil merger atau konsolidasi yang memenuhi 
        ketentuan mengenai tingkat solvabilitas; dan
    d.  rancangan perubahan anggaran dasar.

(2) Perjanjian pengalihan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, antara lain 
    harus mencantumkan bahwa hak dan kewajiban yang timbul dari semua penutupan obyek asuransi 
    yang dilakukan oleh perusahaan yang melakukan merger atau konsolidasi, menjadi tanggung jawab 
    perusahaan baru hasil merger atau konsolidasi.


                        Pasal 46

(1) Perusahaan hasil merger atau konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Peraturan 
    Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah 
    diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999, wajib melaporkan hasil pelaksanaan 
    merger atau konsolidasi kepada Menteri dengan melampirkan:
    a.  anggaran dasar perusahaan yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang;
    b.  susunan organisasi dan kepengurusan perusahaan;
    c.  surat pengangkatan tenaga ahli;
    d.  Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perusahaan, Direksi, dewan komisaris dan pemegang 
        saham; dan
    e.  alamat lengkap perusahaan.

(2) Laporan kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disampaikan selambat-
    lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal persetujuan atau pengesahan anggaran dasar 
    perusahaan dari instansi yang berwenang.

(3) Setelah mendapatkan laporan hasil merger atau konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
    Menteri mencabut izin usaha yang sudah tidak digunakan lagi oleh perusahaan yang melakukan 
    merger, atau mencabut izin usaha perusahaan yang melakukan konsolidasi dan menerbitkan izin 
    usaha perusahaan hasil konsolidasi.


                            Bagian Kedua
                        Akuisisi

                        Pasal 47

(1) Akuisisi dapat dilakukan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dengan mengambil-alih 
    seluruh atau sebagian besar saham perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi lain sehingga
    mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perusahaan tersebut.

(2) Untuk melaksanakan akuisisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perusahaan asuransi atau 
    perusahaan reasuransi harus memperoleh persetujuan dari Menteri.

(3) Pelaksanaan akuisisi terhadap perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi sebagaimana 
    dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan memenuhi ketentuan sebagai berikut:
    a.  perusahaan yang melakukan akuisisi adalah perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi 
        sejenis;
    b.  pelaksanaan akuisisi tersebut tidak mengakibatkan berkurangnya hak tertanggung; dan
    c.  pelaksanaan akuisisi tersebut harus memperhatikan ketentuan tentang pembatasan kekayaan 
        yang diperkenankan dalam bentuk investasi sehingga tidak mengakibatkan perusahaan yang 
        melakukan akuisisi menjadi tidak memenuhi ketentuan tentang tingkat solvabilitas.

(4) Untuk memperoleh persetujuan melakukan akuisisi, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi 
    harus memenuhi ketentuan dalam ayat (3) dan mengajukan permohonan secara tertulis kepada 
    Menteri dengan melampirkan bukti sebagai berikut:
    a.  perjanjian dalam bahasa Indonesia, mengenai pengalihan hak dan kewajiban dari perusahaan 
        yang akan diakuisisi kepada perusahaan yang akan mengakuisisi, dengan tidak mengurangi 
        hak tertanggung;
    b.  laporan keuangan terakhir yang telah diaudit dari perusahaan yang akan diakuisisi dan yang 
        akan mengakuisisi;
    c.  laporan keuangan proforma dari perusahaan setelah pelaksanaan akuisisi, yang memenuhi 
        ketentuan mengenai tingkat solvabilitas; dan
    d.  rancangan perubahan anggaran dasar dari perusahaan yang diakuisisi.


                         BAB VIII
                        KETENTUAN LAIN-LAIN

                        Pasal 48

Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dilarang melakukan penutupan pertanggungan melalui jasa 
keperantaraan perusahaan pialang asuransi atau pialang reasuransi yang tidak memiliki izin usaha dari 
Menteri.


                          BAB IX
                       KETENTUAN PERALIHAN

                        Pasal 49

(1) Setiap Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang telah memperoleh izin usaha sebelum 
    ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan ini, wajib melakukan penyesuaian terhadap ketentuan-
    ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan ini paling lambat 1 (satu) tahun sejak Keputusan 
    Menteri Keuangan ini ditetapkan.

(2) Setiap tenaga ahli asuransi dan aktuaris wajib mendaftarkan diri kepada Direktur Jenderal Lembaga 
    Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 paling lambat 6 (enam) bulan sejak Keputusan 
    Menteri Keuangan ini ditetapkan.


                          BAB X
                      KETENTUAN PENUTUP

                        Pasal 50

Pada saat Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 
223/KMK.017/1993 tentang Perizinan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dinyatakan tidak 
berlaku.


                        Pasal 51

Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini dengan 
menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2003
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

BOEDIONO