KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
                              NOMOR 76 TAHUN 2000

                        TENTANG

            PENGUSAHAAN SUMBER DAYA PANAS BUMI UNTUK PEMBANGKITAN TENAGA LISTRIK

                       PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a.  bahwa sesuai dengan kebijaksanaan diversifikasi dan konservasi energi, perlu dilakukan usaha dan 
    upaya untuk lebih mendorong penggunaan sumber daya panas bumi sebagai energi untuk 
    pembangkitan tenaga listrik secara efisien dan berdaya saing;
b.  bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, dan guna mendapatkan harga listrik yang layak 
    serta adanya rasio risiko antara pembeli dan pemasok yang seimbang, perlu dilakukan pembaruan 
    pengaturan tentang pengusahaan sumber daya panas bumi untuk pembangkitan tenaga listrik;

Mengingat :

1.  Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;
2.  Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik 
    Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3317);
3.  Undang-undang Nomor 20 TAHUN 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara 
    Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3687);
4.  Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara 
    Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
5.  Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik 
    Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
6.  Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan 
    Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara 
    Nomor 3848);
7.  Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup 
    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 
    3838);
8.  Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1998 tentang Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta 
    dalam Pembangunan dan atau Pengelolaan Infrastruktur;
9.  Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 1999 tentang Restrukturisasi dan Rehabilitasi PT. (PERSERO) 
    Perusahaan Listrik Negara;

                           MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA PANAS BUMI UNTUK PEMBANGKITAN TENAGA 
LISTRIK.


                         BAB I
                       KETENTUAN UMUM

                        Pasal 1

Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan :
1.  Pengusahaan sumber daya panas bumi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi kegiatan eksplorasi, 
    eksploitasi dan pembangkitan tenaga listrik.
2.  Eksplorasi adalah kegiatan penyelidikan geologi, geokimia, geofisika, dan landaian suhu yang apabila 
    diintegrasikan pada suatu daerah panas bumi dapat menghasilkan uap atau fluida melalui pengeboran 
    sumur eksplorasi untuk mengetahui tingkat cadangan terduga, tingkat cadangan mungkin dan tingkat 
    cadangan terbukti.
3.  Eksploitasi adalah kegiatan yang meliputi pengeboran sumur produksi dan injeksi untuk mencapai 
    target kapasitas produksi, pembangunan fasilitas lapangan panas bumi untuk pembangkitan tenaga 
    listrik.
4.  Wilayah Usaha adalah wilayah tertentu untuk melakukan kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan 
    pembangkitan tenaga listrik yang batas-batas dan syarat-syarat wilayah ditetapkan oleh Kepala 
    Daerah.
5.  Iuran Eksploitasi adalah iuran yang dibayarkan kepada Negara atas hasil yang diperoleh dari 
    pengusahaan sumber daya panas bumi.
6.  Izin Pengusahaan adalah izin yang diberikan oleh Kepala Daerah kepada Badan Usaha untuk 
    melakukan kegiatan pengembangan sumber daya panas bumi untuk pembangkitan tenaga listrik untuk 
    kepentingan sendiri di wilayah usahanya.
7.  Badan Usaha adalah Badan Usaha Milik Negara sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan 
    (PKUK), Koperasi dan Badan Usaha Swasta yang berbadan hukum yang dibentuk dan didirikan 
    berdasarkan hukum Indonesia.
8.  Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang sumber daya panas bumi dan 
    ketenagalistrikan.
9.  Pemerintah adalah Departemen Pertambangan dan Energi c.q. unit yang bertanggung jawab di bidang 
    sumber daya panas bumi.
10. Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) adalah rencana kebutuhan daya listrik nasional 
    yang ditetapkan oleh Menteri.


                        BAB II
                           EKSPLORASI

                        Pasal 2

(1) Eksplorasi sumber daya panas bumi dapat dilaksanakan oleh Pemerintah, Koperasi dan Badan Usaha 
    Swasta.
(2) Eksplorasi sumber daya panas bumi oleh Pemerintah didasarkan pada prospek panas bumi dan 
    kebutuhan daya listrik.
(3) Eksplorasi sumber daya panas bumi oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat 
    dilaksanakan sampai dengan penemuan cadangan terbukti.
(4) Data hasil eksplorasi sumber daya panas bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah milik 
    Pemerintah.
(5) Eksplorasi sumber daya panas bumi oleh Koperasi dan Badan Usaha Swasta sebagaimana dimaksud 
    dalam ayat (1) dilakukan untuk pembangkitan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri.
(6) Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), diberikan batas waktu paling lama 3 (tiga) tahun 
    sejak tanggal izin pengusahaan dikeluarkan sampai dengan penemuan cadangan terbukti dan apabila 
    perlu dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun.
(7) Ketentuan mengenai tata cara dan persyaratan Eksplorasi ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.


                        BAB III
                            EKSPLOITASI

                        Pasal 3

(1) Badan Usaha yang melakukan Eksploitasi untuk pembangkitan tenaga listrik untuk kepentingan umum 
    harus membuat rencana Eksploitasi.
(2) Eksploitasi sumber daya panas bumi oleh Koperasi dan Badan Usaha Swasta untuk pembangkitan 
    tenaga listrik untuk kepentingan umum, pelaksanaannya dilakukan atas kerja sama dengan PKUK 
    melalui lelang.
(3) Dalam hal eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) tidak sampai pada penemuan 
    cadangan terbukti, Badan Usaha dapat melakukan eksplorasi lanjutan dan eksploitasi untuk 
    pembangkitan tenaga listrik.
(4) Eksplorasi lanjutan dan eksploitasi untuk pembangkitan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam 
    ayat (3) oleh Badan Usaha Swasta dan Koperasi, dilakukan atas kerja sama dengan PKUK melalui 
    lelang.
(5) Eksploitasi sumber daya panas bumi yang dilakukan oleh Badan Usaha untuk pembangkitan tenaga 
    listrik untuk kepentingan umum didasarkan pada RUKN.
(6) Koperasi dan Badan Usaha Swasta yang mengikuti lelang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) 
    dan ayat (4) wajib memiliki kemampuan keuangan, teknis operasional, dan penilaian kinerja yang 
    baik.
(7) Eksploitasi sumber daya panas bumi yang dilakukan oleh Koperasi dan Badan Usaha Swasta untuk 
    pembangkitan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri tidak mengikat Pemerintah atau PKUK untuk 
    membeli tenaga listrik yang dihasilkan.
(8) Tata cara dan syarat-syarat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) ditetapkan lebih lanjut 
    oleh Menteri.


                        BAB IV
                      PEMBANGKITAN TENAGA LISTRIK

                        Pasal 4

Pembangunan dan pengoperasian instalasi pembangkit tenaga listrik dilaksanakan berdasarkan peraturan 
perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan.


                         BAB V
                             PERIZINAN

                        Pasal 5

(1) Pengusahaan sumber daya panas bumi selain yang dilakukan oleh Pemerintah dan atau oleh PKUK, 
    pada tingkat eksplorasi, hanya dapat dilakukan berdasarkan Izin Pengusahaan.
(2) Pengusahaan sumber daya panas bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan 
    pembiayaan tanpa jaminan dan tanpa kewajiban dari pemerintah terhadap modal yang ditanamkan.
(3) Izin Pengusahaan sumber daya panas bumi untuk pembangkitan tenaga listrik hanya dapat diberikan
    kepada Badan Usaha Swasta dan Koperasi yang telah memenuhi syarat-syarat administrasi, teknis 
    dan keuangan.
(4) Kepala Daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing memberikan Izin Pengusahaan sumber 
    daya panas bumi untuk pembangkitan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri di wilayah usahanya 
    dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender setelah permohonan izin diterima 
    secara lengkap.
(5) Dalam hal permohonan izin tidak mendapat persetujuan, Kepala Daerah menyampaikan jawaban 
    tertulis disertai alasan penolakan.
(6) Badan Usaha Wajib melaksanakan Eksploitasi dan membangun instalasi pembangkit tenaga listrik 
    sampai dengan beroperasinya tenaga listrik paling lambat 5 (lima) tahun sejak tanggal dikeluarkan 
    Izin Pengusahaan.
(7) Kepala Daerah dapat mencabut atau membatalkan Izin Pengusahaan, dalam hal Badan Usaha Swasta 
    dan Koperasi :
    a.  memindahkan Izin Pengusahaan kepada pihak lain tanpa persetujuan Kepala Daerah; atau
    b.  tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (6).
(8) Tata cara perizinan pengusahaan sumber daya panas bumi untuk pembangkitan tenaga listrik 
    ditetapkan oleh Menteri.


                        BAB VI
                          HAK

                        Pasal 6

Pemegang Izin Pengusahaan berhak melakukan kegiatan Eksplorasi dan atau Eksploitasi serta pembangkitan 
tenaga listrik dalam Wilayah Usaha selama Izin Pengusahaan masih berlaku.


                        BAB VII
                             KEWAJIBAN

                        Pasal 7

(1) Pemerintah, PKUK atau Pemegang Izin Pengusahaan harus memberitahukan lebih dulu kepada 
    Pemerintah Daerah setempat sebelum melaksanakan kegiatan Eksplorasi dan atau Eksploitasi serta 
    pembangkitan tenaga listrik.
(2) Dalam hal di Wilayah Usaha terdapat bagian-bagian tanah yang dikuasai oleh pemegang hak atas 
    tanah atau pemakai tanah, maka sebelum memulai kegiatannya, Badan Usaha wajib menyelesaikan 
    masalah tanah tersebut sesuai peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
(3) Dalam hal di Wilayah Usaha terdapat tanah ulayat dan yang serupa dari masyarakat hukum adat, 
    maka penyelesaian hak-hak atas tanah di Wilayah Usaha tersebut dilakukan oleh Badan Usaha dengan 
    masyarakat hukum adat yang bersangkutan sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
(4) Perolehan tanah-tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dapat dilakukan dengan 
    cara perjanjian pemakaian, pengalihan hak, pelepasan hak atau kerja sama.
(5) Perolehan tanah-tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilakukan hanya terhadap tanah yang
    dipergunakan langsung untuk kepentingan Badan Usaha yang bersangkutan.
(6) Perolehan tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dilakukan dengan cara yang paling 
    menguntungkan bagi kedua belah pihak.


                        Pasal 8

(1) Pemegang Izin Pengusahaan dalam melaksanakan kegiatan Eksplorasi dan atau Eksploitasi serta 
    pembangkitan tenaga listrik mengutamakan tenaga setempat sesuai dengan keahliannya.
(2) Pemegang Izin Pengusahaan wajib menyampaikan rencana kerja dan anggaran kepada Kepala 
    Daerah serta bertanggung jawab atas segala akibat yang timbul dari pelaksanaan izin yang dimiliki.
(3) Pemegang Izin Pengusahaan wajib melaporkan setiap rencana perubahan yang berhubungan dengan 
    kegiatan Eksplorasi dan atau Eksploitasi kepada Kepala Daerah.


                        BAB VIII
                PENETAPAN DAN PENGEMBALIAN WILAYAH

                        Pasal 9

Batas dan luas wilayah kegiatan Eksplorasi, Eksploitasi dan pembangkitan tenaga listrik ditetapkan oleh 
Kepala Daerah berdasarkan pertimbangan teknis dan kondisi setempat, dan dicantumkan dalam surat Izin 
Pengusahaan.


                        Pasal 10

(1) Dalam hal Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) telah selesai, Badan Usaha wajib 
    mengembalikan seluruh wilayah yang tidak dipergunakan lagi.
(2) Dalam hal Eksploitasi telah selesai dan telah dilaksanakan usaha pelestarian fungsi lingkungan, Badan 
    Usaha wajib secara tertulis mengembalikan seluruh wilayah yang tidak dipergunakan lagi kepada 
    Kepala Daerah dengan tembusan kepada Menteri, selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari 
    kalender setelah kegiatan pembangkitan dimulai.
(3) Pengembalian Wilayah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) adalah sah setelah 
    mendapat persetujuan tertulis dari Kepala Daerah berdasarkan evaluasi teknis dan rekomendasi 
    Pemerintah Daerah setempat dalam pelaksanaan pelestarian fungsi lingkungan.
(4) Kepala Daerah menetapkan persetujuan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari 
    kalender setelah menerima permohonan pengembalian wilayah.


                        Pasal 11

(1) Apabila Badan Usaha telah mengembalikan sebagian atau seluruh wilayah usaha kepada Pemerintah, 
    maka Badan Usaha yang bersangkutan dibebaskan dari segala kewajiban yang berhubungan dengan 
    penguasaan dan penggunaan tanah di wilayah yang dikembalikan tersebut.
(2) Apabila sebagian atau seluruh wilayah usaha telah dikembalikan, maka Badan Usaha yang 
    bersangkutan wajib menyerahkan kepada Menteri semua foto, ukuran tanah, dan data 
    kepanasbumian lainnya baik dalam bentuk analog maupun digital yang ada hubungannya dengan 
    pelaksanaan pengusahaan sumber daya panas bumi.


                         BAB IX
                     PENERIMAAN NEGARA

                        Pasal 12

(1) Badan Usaha yang melaksanakan pengusahaan sumber daya panas bumi wajib menyetorkan Iuran 
    Eksploitasi ke kas Negara.
(2) Penerimaan iuran eksploitasi merupakan penerimaan Negara yang dibagi menurut perimbangan 
    bagian Pemerintah Pusat dan bagian Pemerintah Daerah sesuai dengan peraturan perundang-
    undangan yang berlaku.
(3) Penerimaan iuran eksploitasi yang merupakan bagian Pemerintah Pusat adalah Penerimaan Negara 
    Bukan Pajak.
(4) Tarif, tata cara pengenaan, pemungutan dan penggunaan iuran eksploitasi ditetapkan sesuai dengan 
    peraturan perundang-undangan yang berlaku.


                        Pasal 13

(1) Badan Usaha yang melaksanakan pengusahaan sumber daya panas bumi wajib memenuhi ketentuan 
    perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Badan Usaha yang melaksanakan penanaman modal di bidang pengusahaan sumber daya panas bumi 
    dapat diberikan fasilitas perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


                         BAB X
                        HARGA JUAL TENAGA LISTRIK

                        Pasal 14

(1) Harga jual tenaga listrik oleh Badan Usaha kepada konsumen dinyatakan dalam rupiah.
(2) Tata cara dan syarat-syarat jual beli tenaga listrik ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.


                         BAB XI
                  KESELAMATAN KERJA DAN LINGKUNGAN

                        Pasal 15

(1) Pekerja yang melakukan kegiatan dalam pengusahaan sumber daya panas bumi wajib menggunakan 
    peralatan dan perlengkapan sesuai kebutuhan yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan 
    kerja.
(2) Setiap orang yang diizinkan masuk wilayah kegiatan pengusahaan sumber daya panas bumi, harus 
    didampingi oleh petugas yang berwenang dan wajib menggunakan peralatan keselamatan kerja.
(3) Pada tempat kerja, jalan dan gedung di wilayah usaha harus dilengkapi dengan tanda-tanda larangan, 
    peringatan dan anjuran yang jelas dan mudah dimengerti, yang ditempatkan pada lokasi yang 
    strategis.


                        Pasal 16

Pemerintah, PKUK, dan Pemegang Izin Pengusahaan wajib menjaga kelestarian fungsi lingkungan.


                        Pasal 17

(1) PKUK dan Pemegang Izin Pengusahaan wajib menyediakan peralatan pencegahan dan penanggulangan
    pencemaran lingkungan, antara lain :
    a.  kolam penampungan lumpur bekas pengeboran (mud pit) yang kedap air dengan daya 
        tampung yang cukup memadai dan daya serap terhadap bahan pencemaran yang tinggi, 
        sehingga kualitas air limbah yang mengalir ke luar dapat memenuhi ketentuan peraturan 
        perundang-undangan yang berlaku;
    b.  peredam suara, sehingga tingkat kebisingan yang terjadi di daerah perumahan dan 
        pemukiman adalah di bawah nilai ambang batas 55 dB dan untuk daerah Ruang Terbuka Hijau 
        adalah di bawah 50 dB.
(2) PKUK dan Pemegang Izin Pengusahaan wajib melakukan:
    a.  pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh pengusahaan 
        sumber daya panas bumi; dan
    b.  pencegahan terjadinya erosi tanah yang diakibatkan oleh pengusahaan sumber daya panas 
        bumi.
(3) Dalam mempersiapkan lokasi pengeboran, PKUK dan Pemegang Izin Pengusahaan harus 
    memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
    a.  membuat saluran air (drainage) sepanjang jalan baru dan di sekitar lokasi pengeboran;
    b.  pembukaan lahan untuk jalan dan lokasi pengeboran harus dilakukan seminimal mungkin;
    c.  pengambilan air untuk keperluan pengeboran harus memperhatikan kepentingan pihak lain.
(4) PKUK dan Pemegang Izin Pengusahaan wajib menutup sumur bor Eksplorasi yang tidak dimanfaatkan 
    lagi, untuk menghindari terjadinya semburan liar uap dan gas yang berbahaya terhadap lingkungan di 
    sekitarnya.
(5) PKUK dan Pemegang Izin Pengusahaan wajib mengelola sumur bor Eksplorasi dan atau Eksploitasi 
    yang berpotensi terjadinya semburan gas yang tidak terkendali.


                        Pasal 18

(1) PKUK dan Pemegang Izin Pengusahaan wajib melakukan pencegahan dan penanggulangan 
    pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan Eksploitasi sumber daya panas bumi.
(2) PKUK dan Pemegang Izin Pengusahaan dilarang membuang limbah padat, limbah cair dan emisi gas 
    yang dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan.
(3) PKUK dan Pemegang Izin Pengusahaan harus mempunyai alat pengelola limbah (padat, cair dan gas 
    buang) yang mempunyai persyaratan teknis, sebagai berikut :
    a.  mempunyai kapasitas yang mampu mengolah limbah (limbah padat (B3/non B3), cair dan gas 
        buang) yang bersangkutan;
    b.  mampu menurunkan kadar limbah (padat, cair dan gas buang) yang membahayakan;
    c.  memungkinkan pengambilan contoh limbah (padat, cair dan gas buang).


                        Pasal 19

PKUK dan Pemegang Izin Pengusahaan harus memenuhi baku mutu udara dan limbah cair sebagai berikut:
a.  Baku mutu udara ambient untuk SO2 tidak lebih dari 365 ug/Nm3, CO tidak lebih dari 10.000 ug/Nm3, 
    NO2 tidak lebih dari 150 ug/Nm3;
b.  Baku mutu udara emisi untuk SO2 tidak lebih dari 800 mg/m3, NO2 tidak lebih dari 100 mg/m3, H2S 
    tidak lebih dari 35 mg/m3, amonia (NH3) tidak lebih dari 0,5 mg/m3;
c.  baku mutu kualitas limbah cair yaitu temperatur air buangan tidak lebih dari 38 OC, kekeruhan 30 
    NTU, padatan terlarut 2000 mg/1, padatan tersuspensi 80 mg/1, pH 6-9, BOD tidak lebih dari 50 mg/1, 
    COD tidak lebih dari 100 mg/1, klorin bebas (C12) tidak lebih dari 1 mg/1, sianida (CN) 0,02 mg/1, 
    Arsen (As) 0,1 mg/1, Sulfida (H2S) 0,05 mg/1.


                        Pasal 20

Pengusahaan sumber daya panas bumi untuk pembangkitan tenaga listrik tidak boleh dilaksanakan di kawasan 
suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan kawasan cagar budaya.


                        BAB XII
                        SANKSI

                        Pasal 21

(1) Pemegang Izin Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8 ayat 
    (2) dan ayat (3), Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 13 ayat (1),    
    Pasal 14 ayat (1), Pasal 15, dan Pasal 17 diberikan sanksi oleh Kepala Daerah, berupa :
    a.  Pencabutan sementara Izin Pengusahaan, atau
    b.  Pencabutan Izin Pengusahaan.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan setelah terlebih dahulu mendapat peringatan 
    secara tertulis.


                        BAB XIII
                      JANGKA WAKTU DAN PENGAKHIRAN

                        Pasal 22

(1) Izin Pengusahaan berlaku paling lama 30 (tiga puluh) tahun, dengan ketentuan :
    a.  dalam hal kegiatan pengusahaan sumber daya panas bumi dilakukan oleh Koperasi dan 
        Badan Usaha Swasta untuk pembangkitan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri 
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5), Izin Pengusahaan dihitung sejak dimulainya 
        tahap Eksplorasi;
    b.  dalam hal kegiatan pengusahaan sumber daya panas bumi dilakukan oleh Koperasi dan 
        Badan Usaha Swasta untuk pembangkitan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagai 
        tindak lanjut atas ekplorasi yang dilaksanakan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud dalam 
        Pasal 3 ayat (3), Izin Pengusahaan dihitung sejak dimulainya tahap Eksploitasi.
(2) Paling lambat 6 (enam) bulan setelah jangka waktu Izin Pengusahaan berakhir, Badan Usaha wajib 
    mengembalikan Wilayah Usaha kepada Kepala Daerah.
(3) Setelah berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) semua aset yang berkaitan 
    dengan pengusahaan panas bumi menjadi milik Negara.
(4) Kepala Daerah menetapkan persetujuan pengakhiran pengusahaan setelah Badan Usaha 
    melaksanakan pelestarian dan pemulihan fungsi lingkungan pada lokasi pengusahaan panas bumi yang 
    dinyatakan oleh Pemerintah Daerah setempat.


                        Pasal 23

(1) Izin Pengusahaan sumber daya panas bumi untuk pembangkitan tenaga listrik dapat diperbarui 
    dengan izin Kepala Daerah.
(2) Kepala Daerah mengeluarkan pembaruan izin pengusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
    berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh tenaga ahli yang berwenang.


                        BAB XIV
                       PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

                        Pasal 24

(1) Menteri dan Kepala Daerah, sesuai dengan fungsinya masing-masing, melakukan pembinaan dan 
    pengawasan terhadap pelaksanaan Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kelangsungan 
    penyediaan tenaga listrik, keselamatan ketenagalistrikan yang mencakup keselamatan instalasi sumur 
    panas bumi maupun instalasi tenaga listrik, keselamatan kerja, keselamatan umum, lindungan fungsi 
    lingkungan, dan tercapainya standardisasi.


                         BAB XV
                      KETENTUAN PERALIHAN

                        Pasal 25

(1) Kontrak Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi dan atau Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Sumber 
    Daya Panas Bumi yang telah ditandatangani sebelum ditetapkan Keputusan Presiden ini, tetap berlaku, 
    dan tetap dikenakan peraturan perpajakan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 49 TAHUN 1991 
    sampai Kontrak Kerja Sama yang bersangkutan berakhir, sepanjang tidak ditetapkan lain berdasarkan 
    hasil negosiasi ulang kontrak oleh Tim Restrukturisasi dan Rehabilitasi PT. (PERSERO) Perusahaan 
    Listrik Negara sesuai Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 1999 tentang Tim Restrukturisasi dan 
    Rehabilitasi PT. (PERSERO) Perusahaan Listrik Negara.
(2) Kuasa dan wilayah kerja pengusahaan sumber daya panas bumi yang telah diberikan kepada 
    Pertamina sebelum ditetapkan Keputusan Presiden ini tetap berlaku selama 2 (dua) tahun sejak 
    diberlakukan Keputusan Presiden ini, dan Pertamina wajib melakukan penyesuaian kegiatannya 
    berdasarkan Keputusan Presiden ini.
(3) Pertamina wajib menyerahkan kepada Menteri dokumen Eksplorasi dan Eksploitasi dalam 
    pengusahaan sumber daya panas bumi yang telah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
    dan yang akan dilakukan dalam sisa jangka waktu 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat 
    (2).


                        BAB XVI
                        KETENTUAN PENUTUP

                        Pasal 26

Dengan ditetapkannya Keputusan Presiden ini, Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1981 sebagaimana telah 
diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 1991 dan Keputusan Presiden Nomor 49 TAHUN 1991 
tentang Perlakuan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pungutan-pungutan Lainnya terhadap 
Pelaksanaan Kuasa dan Izin Pengusahaan Panas Bumi untuk Pembangkitan Tenaga/Energi Listrik dinyatakan 
tidak berlaku lagi.


                        Pasal 27

Pelaksanaan ketentuan Keputusan Presiden ini ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.


                        Pasal 28

Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Mei 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ABDURRAHMAN WAHID