KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP - 02/PJ.7/1990
TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN PENGAMATAN, PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN DAN PENYIDIKAN
TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
Bahwa untuk memberikan arahan kerja, keseragaman dan kelancaran proses tindakan, keseragaman
penyelenggaraan administrasi serta untuk memperjelas kaitan antara kegiatan pengamatan, pemeriksaan
bukti permulaan dan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, dipandang perlu mengatur petunjuk
pelaksanaan pengamatan, pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3258) dan
peraturan-peraturan pelaksanaannya;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1986 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Perpajakan
(Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3339) dan peraturan-
peraturan pelaksanaannya;
5. Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 380/KMK.04/1989 tanggal 20 April
1989 tentang Tata Cara Penyegelan Dalam Rangka Pemeriksaan di Bidang Perpajakan;
6. Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal
10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana;
7. Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.04.PW.07.03 Tahun 1984 tanggal
27 September 1984 tentang Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil;
8. Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.PW.07.03-762 tanggal 15 Juli 1986
tentang Pelaksanaan Ketentuan Pasal 44 ayat (3) Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983;
9. Fatwa Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA/114/IV/1990 tanggal 7 April 1990
tentang penyerahan hasil penyidikan PPNS kepada Penuntut Umum.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGAMATAN, PEMERIKSAAN
BUKTI PERMULAAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan ini, yang dimaksud dengan :
a. Pengamatan ialah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh petugas pengamat untuk mencocokkan
dengan kenyataan, membahas dan mengembangkan lebih lanjut informasi, data, laporan dan/atau
pengaduan yang berisi petunjuk adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan;
b. Petugas Pengamat ialah setiap pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang khusus ditugaskan untuk
melakukan tugas pengamatan;
c. Bukti Permulaan ialah keadaan dan/atau bukti-bukti, baik berupa keterangan, tulisan, perbuatan atau
benda-benda yang dapat memberikan petunjuk bahwa suatu tindak pidana sedang atau telah terjadi
yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang dapat menimbulkan kerugian pada Negara;
d. Pemeriksaan Bukti Permulaan ialah pemeriksaan pajak untuk mendapatkan bukti permulaan tentang
adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan;
e. Laporan Bukti Permulaan ialah laporan hasil pemeriksaan pajak untuk mendapatkan bukti permulaan;
f. Pemeriksa Pajak ialah pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak
yang melakukan pemeriksaan Bukti Permulaan atas perintahnya;
g. Penyidik Pajak ialah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
yang diangkat sebagai Penyidik oleh Menteri Kehakiman sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
h. Penyidikan ialah serangkaian tindakan Penyidik Pajak dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
ketentuan perundang-undangan untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang diperlukan, sehingga
dapat membuat terang tentang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi dan guna menemukan
tersangka, serta mengetahui besarnya kerugian Negara berupa pajak yang diduga digelapkan;
i. Pemeriksaan tersangka/saksi ialah serangkaian tindakan Penyidik Pajak untuk mendapatkan
keterangan, kejelasan dan kecocokan tersangka/saksi dan atau barang bukti maupun tentang unsur-
unsur tindak pidana di bidang perpajakan yang telah terjadi, sehingga kedudukan atau peranan
seseorang, barang bukti maupun unsur-unsur tindak pidana di dalam tindak pidana di bidang
perpajakan tersebut menjadi jelas;
j. Penggeledahan ialah pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan,
pencatatan dan dokumen-dokumen lain dalam rangka tindakan penyidikan sebagaimana diatur dalam
Pasal 44 Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
k. Penyitaan ialah serangkaian tindakan Penyidik Pajak untuk mengambil alih dan atau menyimpan
di bawah penguasaannya suatu benda atau benda-benda untuk kepentingan pembuktian dalam
penyidikan, penuntutan dan peradilan tindak pidana di bidang perpajakan;
l. Bahan Bukti ialah benda-benda berupa buku-buku, catatan-catatan, dokumen atau benda lainnya yang
menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lainnya yang berhubungan dengan usaha
atau pekerjaan Wajib Pajak;
m. Barang Bukti ialah bahan bukti yang telah disortir menurut macam, jenis maupun jumlahnya, yang
dapat digunakan sebagai sarana pembuktian dalam proses penyidikan, penuntutan dan peradilan
tindak pidana di bidang perpajakan;
n. Tersangka ialah orang dan atau badan yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan
bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana di bidang perpajakan;
o. Saksi ialah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan
peradilan tentang suatu perkara pidana di bidang perpajakan yang didengar, dilihat dan atau dialami
sendiri;
p. Saksi Ahli ialah seseorang yang memiliki keahlian dalam sesuatu bidang khusus yang dapat
memberikan keterangan tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana
di bidang perpajakan, guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan.
BAB II
PENGAMATAN
Pasal 2
(1) Setiap informasi, data, laporan, dan/atau pengaduan yang diterima harus dianalisa dan dinilai terlebih
dahulu mengenai mutu dan bobotnya untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pengamatan.
(2) Dalam melaksanakan pengamatan, Petugas Pengamat harus berusaha memperoleh tambahan bahan
bukti mengenai segala sesuatu yang bersangkut-paut dengan informasi, data, laporan dan/atau
pengaduan yang diperoleh.
(3) Petugas Pengamat dilarang menjanjikan sesuatu kepada Pemberi informasi/data, Pelapor atau
Pengadu dan wajib merahasiakan jati diri sumber informasi tersebut.
Pasal 3
(1) Kegiatan pengamatan dilaksanakan oleh petugas pengamat pada Sub Direktorat Penyidikan Direktorat
Pemeriksaan Pajak dan/atau Unit Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak.
(2) Proses kegiatan pengamatan terdiri dari pencocokan dengan kenyataan, pembahasan, penilaian dan
pengembangan lebih lanjut atas informasi, data, laporan, dan/atau pengaduan mengenai adanya
dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
(3) Pengamatan dilaksanakan oleh Petugas Pengamat didasarkan atas informasi, data, laporan dan/atau
pengaduan yang diterima.
(4) Pengamatan dilaksanakan dengan Surat Perintah Pengamatan yang ditandatangani oleh Kepala Sub
Direktorat Penyidikan Direktorat Pemeriksaan Pajak atau Kepala Unit Pemeriksaan dan Penyidikan
Pajak.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya, Petugas Pengamat dapat meminta keterangan dari pihak ketiga untuk
menambah dan melengkapi informasi/data yang telah ada.
(6) Petugas Pengamat tidak diperkenankan menyatakan jati dirinya sebagai Pengamat dalam mengadakan
kontak langsung terhadap yang diamati.
(7) Setiap pengamatan harus dibuatkan Laporan Pengamatan.
(8) Laporan Pengamatan digunakan sebagai dasar untuk dilakukan atau tidak dilakukannya Pemeriksaan
Bukti Permulaan.
BAB III
PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
Pasal 4
(1) Sepanjang tidak diatur tersendiri, tata cara melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan berpedoman
kepada Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1986 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang
Perpajakan.
(2) Pemeriksaan Bukti Permulaan dilaksanakan oleh Pemeriksa Pajak dengan Surat Perintah Pemeriksaan
yang diterbitkan berdasarkan Laporan Pengamatan dan atau Laporan Pemeriksaan Pajak.
(3) Kegiatan Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan oleh Sub Direktorat Penyidikan Direktorat
Pemeriksaan Pajak dan atau oleh Unit Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak.
Pasal 5
(1) Wajib Pajak yang menolak memperlihatkan dan meminjamkan pembukuan atau pencatatan, dokumen
yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas Wajib Pajak, atau tidak memberi kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang
dipandang perlu atau tidak memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan atau menolak memberi
keterangan yang diperlukan, harus membuat Surat Pernyataan Penolakan Pemeriksaan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak menolak membuat Surat Pernyataan Penolakan Pemeriksaan, Pemeriksa Pajak
membuat Berita Acara Penolakan Penandatanganan Surat Pernyataan Penolakan Pemeriksaan.
(3) Surat Pernyataan Penolakan Pemeriksaan atau Berita Acara Penolakan Penandatanganan Surat
Pernyataan Penolakan Pemeriksaan, dapat dijadikan dasar untuk dilakukannya penyidikan.
Pasal 6
Apabila dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan ditemukan bahan bukti dan keadaan yang menimbulkan dugaan
kuat tentang terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang sedang
diperiksa, maka Pemeriksa Pajak harus mengamankan bahan-bahan bukti yang mendukung dugaan tersebut.
Pasal 7
(1) Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan dituangkan dalam Laporan Bukti Permulaan.
(2) Laporan Bukti Permulaan harus berisi perhitungan mengenai jumlah kerugian Negara, rincian bahan
bukti yang ditemukan serta uraian tentang perbuatan Wajib Pajak yang merupakan unsur-unsur
tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud Pasal 38 dan atau Pasal 39 Undang-undang
Nomor 6 TAHUN 1983.
(3) Laporan Bukti Permulaan disampaikan langsung kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur
Pemeriksaan Pajak untuk ditentukan tindak lanjutnya.
BAB IV
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN
Pasal 8
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dilakukan oleh Penyidik Pajak.
Pasal 9
Di dalam melakukan penyidikan, Penyidik Pajak wajib memperhatikan asas-asas hukum yang berlaku
termasuk :
a. Asas praduga tak bersalah, yaitu bahwa setiap orang yang disangka, dituntut dan atau dihadapkan di
muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. Asas persamaan di muka hukum, yaitu bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama
di muka hukum, tanpa ada perbedaan.
c. Hak memperoleh bantuan penasehat hukum, yaitu bahwa setiap tersangka perkara tindak pidana
di bidang perpajakan wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata
diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya sejak saat dilakukan pemeriksaan
tersangka terhadapnya.
Pasal 10
Di dalam melaksanakan tugas penyidikan, Penyidik Pajak tunduk pada Norma Penyidikan yang meliputi :
a. Dalam melakukan tugasnya, Penyidik Pajak harus berlandaskan kepada ketentuan Peraturan
Perundang-undangan Perpajakan, KUHAP dan hukum pidana yang berlaku;
b. Penyidik Pajak sebagai penegak hukum, wajib memelihara dan meningkatkan sikap terpuji sejalan
dengan tugas, fungsi, wewenang serta tanggung jawabnya;
c. Penyidik Pajak harus membawa tanda pengenal Penyidik Pajak dan Surat Perintah Penyidikan pada
saat melakukan penyidikan;
d. Penyidik Pajak dapat dibantu oleh petugas pajak lain atas tanggung jawabnya berdasarkan izin tertulis
dari atasannya;
e. Penyidikan dilaksanakan berdasarkan Laporan Bukti Permulaan dan Surat Perintah Penyidikan;
f. Penyidik Pajak dalam setiap tindakannya harus membuat Laporan dan Berita Acara yang akan diatur
lebih lanjut dalam Petunjuk Teknis Penyidikan.
Pasal 11
(1) Penyidikan terhadap Wajib Pajak dilaksanakan berdasarkan instruksi Direktur Jenderal Pajak.
(2) Surat Perintah Penyidikan ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pajak atau Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk olehnya.
(3) Penyidik Pajak wajib memberitahukan secara tertulis saat dimulainya penyidikan kepada Penyidik
POLRI dan Jaksa/Penuntut Umum dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Jaksa/Penuntut
Umum melalui Penyidik POLRI sesuai ketentuan yang berlaku.
Pasal 12
(1) Penyidik Pajak yang akan melakukan penggeledahan dan atau penyitaan harus terlebih dahulu
mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat.
(2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana Penyidik Pajak harus segera bertindak dan
tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, Penyidik Pajak dapat melakukan
penggeledahan dan atau penyitaan atas benda-benda bergerak dengan kewajiban melaporkannya
kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam guna
memperoleh persetujuannya.
(3) Penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh Penyidik Pajak harus disaksikan oleh 2 (dua) orang
saksi.
(4) Penyidik Pajak yang melakukan penggeledahan dan atau penyitaan harus membuat Berita Acara,
membacakannya kepada pihak atau wakil atau kuasa atau pegawai dari pihak yang menguasai tempat
dan atau bahan bukti yang digeledah atau disita serta menandatangani bersama-sama.
(5) Salinan Berita Acara tersebut pada ayat (4) yang dilengkapi daftar perincian dari bahan bukti yang
disita diserahkan kepada pihak atau wakil atau kuasa atau pegawai dari yang menguasai bahan bukti
tersebut, dengan disertai bukti penerimaan.
Pasal 13
(1) Dalam hal pihak atau wakil atau kuasa atau pegawainya dari yang menguasai bahan bukti menolak
untuk menandatangani Berita Acara Penyitaan Penggeledahan maka penolakan tersebut dicatat dan
disebutkan alasan penolakannya dalam Berita Acara Penyitaan Penggeledahan dan ditandatangani
oleh Penyidik dan 2 (dua) orang saksi yang menyaksikan penyitaan/penggeledahan tersebut.
(2) Setiap pengembalian bahan bukti kepada pihak atau wakil atau kuasa atau pegawainya dari yang
menguasai bahan bukti yang disita wajib dibuatkan Berita Acara Pengembalian Bahan Bukti yang
ditandatangani oleh Penyidik Pajak dan pihak yang menerima pengembalian bahan bukti tersebut dan
oleh 2 (dua) orang saksi yang menyaksikan.
(3) Penggeledahan dan atau penyitaan terhadap bahan bukti tersangka anggota MPR, DPR, DPA dan BPK,
dilakukan sesuai dengan tata cara sebagaimana tercantum dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku terhadapnya.
Pasal 14
(1) Barang sitaan sebagai barang bukti harus dicatat dalam Buku Barang Bukti dan disimpan di tempat
penyimpanan barang bukti di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara atau di tempat lain yang
ditentukan.
(2) Setiap penyerahan dan pengembalian barang bukti harus dibuatkan tanda bukti oleh petugas yang
ditunjuk.
(3) Petugas yang ditunjuk untuk menyimpan barang bukti bertanggung jawab atas kelengkapan dan
keutuhan barang-barang bukti yang disimpannya.
Pasal 15
(1) Pemanggilan Tersangka, Saksi atau Saksi Ahli oleh Penyidik Pajak dimaksudkan untuk menambah
atau melengkapi petunjuk dan bukti permulaan yang ada.
(2) Dalam hal seseorang yang dipanggil tidak ada di tempat, surat panggilan tersebut dapat diterimakan
kepada keluarganya atau Ketua RT atau Ketua RW atau Ketua Lingkungan atau Kepala Desa atau
orang lain yang dapat menjamin bahwa surat panggilan tersebut akan disampaikan kepada yang
bersangkutan.
(3) Terhadap Tersangka atau Saksi atau Saksi Ahli yang tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang
patut dan wajar atau menolak untuk menerima dan menandatangani surat panggilan, kepadanya
diterbitkan dan disampaikan surat panggilan kedua.
(4) Dalam hal Tersangka atau Saksi atau Saksi Ahli yang dipanggil untuk kedua kalinya tetap tidak
memenuhi panggilan tanpa alasan yang patut dan wajar atau tetap menolak untuk menerima dan
menandatangani surat panggilan kedua, Penyidik Pajak dapat meminta bantuan POLRI untuk
menghadirkan yang bersangkutan.
Pasal 16
(1) Sebelum pemeriksaan Tersangka dimulai, kepadanya wajib diberitahukan hak Tersangka untuk
mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum.
(2) Penasihat Hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan pada saat Penyidik Pajak melakukan
pemeriksaan Tersangka dengan cara melihat atau mendengarkan pemeriksaan.
(3) Tersangka atau Saksi yang diperiksa harus dalam keadaan sehat jasmani dan rokhani.
(4) Kepada Tersangka diberitahukan tentang apa yang disangkakan kepadanya dengan jelas dan dalam
bahasa yang dimengerti.
(5) Tersangka berhak didampingi penerjemah dalam hal Tersangka tidak mengerti Bahasa Indonesia.
Pasal 17
(1) Dalam hal Tersangka dan atau Saksi dikhawatirkan akan meninggalkan wilayah Indonesia, Penyidik
Pajak segera meminta bantuan Kejaksaan Agung untuk melakukan penghambatan.
(2) Jika Saksi diperkirakan tidak dapat hadir, pada saat persidangan, maka pemeriksaan terhadapnya
dilakukan dengan terlebih dahulu diambil sumpahnya oleh Penyidik Pajak.
(3) Hasil pemeriksaan Tersangka, Saksi serta keterangan Saksi Ahli dituangkan dalam Berita Acara.
Pasal 18
(1) Penyidik Pajak menyelesaikan penyusunan Berkas Perkara yang terdiri dari :
a. Pembuatan Berita Acara Pendapat/Resume.
b. Penyusunan isi berkas.
c. Pemberkasan.
(2) Penyidik Pajak menyerahkan Berkas Perkara, Tanggung Jawab Tersangka dan Barang Bukti kepada
Jaksa/Penuntut Umum, melalui Penyidik POLRI sesuai ketentuan yang berlaku.
(3) Dalam hal Berkas Perkara dikembalikan oleh POLRI/Penuntut Umum, Penyidik Pajak harus segera
menyempurnakan dan melengkapi sesuai dengan petunjuk POLRI, Penuntut Umum.
Pasal 19
(1) Penghentian Penyidikan dapat dilakukan dalam hal :
a. tidak terdapat cukup bukti, atau
b. peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, atau
c. tersangka meninggal dunia, atau
d. peristiwanya telah kedaluwarsa, atau
e. nebis in idem.
(2) Dalam hal Penyidik Pajak menghentikan penyidikan :
a. Penyidik Pajak harus membuat laporan kemajuan penyidikan;
b. memberitahukan penghentian tersebut setelah mendapat petunjuk tertulis dari Penyidik POLRI
kepada Jaksa Penuntut Umum dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan dilampiri
laporan kemajuan penyidikan;
c. penghentian tersebut harus diberitahukan kepada tersangka atau keluarganya.
Pasal 20
(1) Laporan kemajuan pelaksanaan penyidikan secara berkala disampaikan kepada Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
(2) Untuk mengamankan jalannya penyidikan, Penyidik Pajak dapat meminta bantuan pengamanan
kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
BAB V
PENUTUP
Pasal 21
(1) Rincian tindakan pelaksanaan dan petunjuk administrasi mengenai Pengamatan, Pemeriksaan Bukti
Permulaan dan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, diatur lebih lanjut dalam Petunjuk
Teknis.
(2) Bentuk, jenis dan kode formulir dan buku-buku serta petunjuk pengisiannya yang diperlukan untuk
melaksanakan kegiatan Pengamatan, Pemeriksaan Bukti Permulaan dan Penyidikan, akan diatur
tersendiri.
Pasal 22
Dengan ditetapkannya Surat Keputusan ini, Surat Edaran Nomor : SE-03/PJ.56/1988 tanggal 12 Januari 1988
tentang Pemeriksaan Untuk Tujuan Lain Dalam Rangka Mendapatkan Bukti Permulaan tentang Telah
Terjadinya Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 23
Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Desember 1990
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
ttd.
Drs. MAR'IE MUHAMMAD