DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
                       DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
                                                       3 Juni 2003

                           SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
                         NOMOR S - 361/PJ.31/2003

                            TENTANG

         PENEGASAN PENGENAAN PPN DAN PPH PASAL 22 ATAS IMPOR SOFWARE

                        DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 8 Nopember 2002 perihal sebagaimana disebut di atas, 
dengan ini disampaikan beberapa hal sebagai berikut :

1.  Dalam surat tersebut Saudara mengemukakan bahwa:
    a.  PT XYZ bergerak di bidang perdagangan barang dan jasa komputer termasuk penjualan/
        licensing software yang diimpor dengan menggunakan media disket, tape dan CD. Harga 
        Impor yang tercantum dalam faktur adalah harga dari media tanpa nilai software yang 
        kemudian akan menjadi dasar perhitungan Bea Masuk, PPN Impor, dan PPh Pasal 22;

    b.  Pada saat PT XYZ menandatangani kontrak jual beli Software dengan pelanggan, nilai kontrak 
        akan menjadi penghasilan PT XYZ dan terutang Software License Fee (SLF) sebesar 60% 
        kepada ABC (sesuai Software License Agreement antara PT XYZ dengan ABC). Atas 
        pembayaran SLF, PT XYZ membayar PPN Jasa Luar Negeri dan PPh Pasal 26;

    c.  Pada saat dilakukan post-audit, Ditjen Bea dan Cukai menganggap pembayaran SLF termasuk 
        dalam nilai impor software, sehingga dikenakan tambahan pembayaran pembayaran PPN dan 
        PPh Pasal 22. Saudara berpendapat hal tersebut mengakibatkan pajak berganda;

    d.  Saudara mohon penegasan atas masalah tersebut.

2.  Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah 
    diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2000 (UU PPh), antara lain diatur:
    a.  Pasal 22 butir (1), Menteri Keuangan dapat menetapkan bendaharawan pemerintah untuk 
        memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badan-
        badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang 
        impor atau kegiatan usaha di bidang lain.

    b.  Pasal 26 butir (1), atas penghasilan royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan 
        penggunaan harta, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang 
        terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk 
        usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri 
        selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari 
        jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan.

3.  Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa 
    dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan 
    Undang-undang Nomor 18 TAHUN 2000 (UU PPN), antara lain diatur:
    a.  Pasal 1 angka 9, impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean 
        ke dalam Daerah Pabean;
    b.  Pasal 1 angka 10, pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean 
        adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah 
        Pabean di dalam Daerah Pabean;
    c.  Pasal 4, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan antara lain atas:
        1)  impor Barang Kena Pajak;
        2)  pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam 
            Daerah Pabean.

4.  Berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia-Amerika dan Protokol P3B 
    Indonesia-Amerika, antara lain diatur:
    a.  Pasal 7 ayat (3), Royalti, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 13 ayat (3), sehubungan 
        dengan penggunaan, atau hak untuk menggunakan, barang atau hak-hak untuk menggunakan, 
        barang atau hak-hak sebagaimana disebutkan dalam ayat tadi yang berada di suatu Negara 
        Pihak pada Perjanjian akan diperlakukan sebagai penghasilan yang bersumber di Negara 
        Pihak pada Perjanjian tersebut.

    b.  Pasal 13:
        (i) Ayat (1), Royalti yang bersumber di salah satu Negara Pihak pada Perjanjian yang 
            diperoleh penduduk Negara lainnya pada Perjanjian dapat dikenakan pajak oleh 
            kedua Negara tersebut.

        (ii)    Ayat (2), Tarif pajak yang dikenakan oleh suatu Negara Pihak pada Perjanjian atas 
            royalti yang bersumber di Negara Pihak pada Perjanjian tersebut dan dimiliki oleh 
            Pihak yang menikmati royalti tersebut yang merupakan penduduk Negara Pihak 
            lainnya pada Perjanjian tidak akan melebihi 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto 
            royalti sebagaimana dijelaskan dalam ayat (3).

        (iii)   Ayat (3) huruf a, istilah "royalti" yang digunakan dalam Pasal ini berarti segala bentuk 
            pembayaran yang dibuat sehubungan dengan penggunaan, atau hak menggunakan, 
            hak cipta atas karya sastra, kesenian, atau karya ilmiah (termasuk hak cipta atas 
            gambar bergerak, film, pita rekaman, atau alat reproduksi lainnya yang digunakan 
            untuk penyiaran radio atau televisi), paten, desain, model, rencana, formula atau 
            proses rahasia, merek dagang atau informasi mengenai pengalaman di bidang 
            industri, perniagaan, atau ilmu pengetahuan. Royalti juga mencakup keuntungan yang 
            diperoleh dari penjualan, pertukaran, atau bentuk lain pengalihan harta tidak 
            berwujud atau hak-hak tersebut sepanjang jumlah yang direalisasi dari penjualan, 
            pertukaran, atau bentuk pengalihan lainnya tersebut bergantung kepada produktifitas, 
            penggunaan atau pengalihan harta tidak berwujud atau hak-hak tersebut.

        (iv)    Ayat (3) huruf b, istilah "royalti" yang digunakan dalam Pasal ini juga mencakup 
            pembayaran-pembayaran oleh penduduk salah satu Negara Pihak pada Perjanjian 
            sehubungan dengan penggunaan, atau hak untuk menggunakan, perlengkapan 
            industri, perdagangan, atau ilmu pengetahuan, namun tidak termasuk kapal, pesawat 
            udara, atau petikemas yang penghasilan darinya dikecualikan dari pajak oleh Negara 
            Pihak lainnya pada Perjanjian berdasarkan Pasal 9 (Pelayaran dan Penerbangan)."

5.  Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 tentang Penunjukan Pemungut 
    Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan serta Tata Cara Penyetora dan Pelaporannya 
    sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 392/KMK.03/2001 beserta 
    peraturan pelaksanaannya dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 417/PJ./2001, antara lain 
    diatur:
    a.  Pasal 1 butir (1), pemungut pajak atas impor barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 
        Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah 
        terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2000 adalah Bank Devisa dan Direktorat 
        Jenderal Bea dan Cukai.

    b.  Pasal 2:
        (1) Besarnya Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor ditetapkan sebagai 
            berikut:
            (a) yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 2,5% (dua 
                setengah persen) dari nilai impor;
            (b) yang tidak menggunakan API, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari 
                nilai impor;
            (c) yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual 
                lelang.
        (2) Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk 
            yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan 
            lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan 
            pabean di bidang impor.

    c.  Pasal 5 butir (1) : Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang terutang dan dilunasi 
        bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk.

6.  Berdasarkan Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 568/KMK.04/2000 tentang Tata Cara 
    Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan 
    Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean diatur 
    bahwa:
    (1) Saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak 
        dari luar Daerah Pabean atas Pajak Pertambahan Nilai terutang yang dipungut oleh orang 
        pribadi atau badan adalah saat yang diketahui terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa 
        di bawah ini:
        a.  saat Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak tersebut secara 
            nyata digunakan oleh pihak yang memanfaatkannya;
        b.  saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak 
            tersebut dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;
        c.  saat harga jual Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau penggantian Jasa Kena 
            Pajak tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau
        d.  saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak 
            tersebut dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang memanfaatkannya;

    (2) Dalam hal saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa 
        Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diketahui, 
        maka saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena 
        Pajak dari luar Daerah Pabean adalah tanggal ditandatanganinya kontrak atau perjanjian 
        atau saat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

7.  Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut:
    a.  Pajak Penghasilan:
        (i) Atas impor media komputer yang berisi software yang dilakukan oleh PT XYZ, yang 
            menjadi objek pemungutan PPh Pasal 22 Impor hanyalah nilai impor media 
            komputernya saja;
        (ii)    Atas pembayaran Software License Fee (SLF) oleh PT XYZ kepada ABC (Amerika) 
            merupakan objek pemotongan PPh Pasal 26 atas royalti dengan tarif sesuai P3B 
            yang berlaku sebesar 10% dari jumlah bruto.

    b.  Pajak Pertambahan Nilai:
        Penjualan software di Indonesia oleh PT XYZ dan pembayaran SLF kepada ABC merupakan 
        kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam 
        Daerah Pabean yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena itu pembayaran SLF 
        atas pemanfaatan software tersebut bukan merupakan kegiatan Impor Barang Kena Pajak, 
        sehingga tidak termasuk dalam (menambah) nilai transaksi impor software tersebut. Atas 
        pemanfaatan software dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean terutang pada saat 
        dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari 
        luar Daerah Pabean sebagaimana tersebut pada butir 6 di atas.

Demikian penegasan kami harap maklum.




A.n. DIREKTUR JENDERAL
DIREKTUR,

ttd

IGN MAYUN WINANGUN