DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
1 September 2005
SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S - 825/PJ.33/2005
TENTANG
HASIL RAPAT PEMBAHASAN DRAFT PERATURAN MENTERI KEUANGAN
TENTANG PENUNDAAN PEMBAYARAN PIUTANG NEGARA DALAM RANGKA IMPOR
DI DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sehubungan telah diselenggarakannya rapat antara Direktorat Jenderal Pajak dengan pihak Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada tanggal 21 Juli 2005 tentang
Pembahasan Draft Peraturan Menteri Keuangan tentang Penundaan Pembayaran Piutang Negara Dalam
Rangka Impor, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :
A. Dalam rapat tersebut antara lain dikemukakan :
1. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berencana akan membuat Rancangan Peraturan Menteri
Keuangan (RPMK) tentang Penundaan Pembayaran Piutang Negara Dalam Rangka Impor yang
akan mengatur masalah penundaan Bea Masuk, Cukai dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI)
serta admininstrasi.
2. Pihak Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) berkeinginan masalah PDRI juga termasuk
yang akan diatur dalam RPMK tersebut dengan argumen bahwa secara administrasi PDRI ini
masih di bawah kewenagan DJBC, meskipun dari segi penerimaan PDRI ini dicatat oleh
Direktorat Jenderal (DJP).
B. Dasar hukum masalah Angsuran atau Penundaan Pajak dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan sebagai berikut :
1. Pasal 9 ayat (4) UU Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun
2000 (UU KUP) menyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak
dapat memberikan peretujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk
kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) paling lama 12 (dua belas)
bulan, yang pelaksanaannya ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
2. Pasal 18 ayat (1) UU KUP menyatakan bahwa Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak
yang harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak.
3. Pasal 1 ayat (4) Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 541/KMK.04/2000 tanggal 22
Desember 2000 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran Pajak, Tempat
Pembayaran Pajak, Tata Cara Pembayaran, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak, Serta Tata
Cara Pemberian Angsuran atau Penundaan Pembayaran Pajak, menyatakan bahwa Pajak
Penghasilan Pasal 22, Pajak Pertambahan Nilai, dan pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas
impor, harus dilunasi sendiri oleh Wajib Pajak bersamaan dengan saat pembayaran bea Masuk,
dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, Pajak Penghasilan Pasal 22,
Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas impor, harus dilunasi
pada saat penyelesaian dokumen impor.
4. Pasal 4 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 254/KMK.03/2001 tanggal 30 April 2001
tentang Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan Serta
Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 236/KMK.03/2003 menyatakan bahwa Dalam
hal pembayaran Bea Masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir1 ditunda atau
dibebaskan, maka Pajak Penghasilan Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian
dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB).
5. Pasal 1 ayat (1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-325/PJ./2001 tanggal 30
April 2001 tentang Tata Cara Pemberian Angsuran atau Penundaan Pembayaran Pajak
menyatakan bahwa Wajib Pajak dapat mengajukan secara tertulis untuk mengangsur atau
menunda pembayaran :
- pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputuan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan jumlah
pajak yang harus dibayar bertambah;
- kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 17 TAHUN 2000, kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, apabila Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas
atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya, sehingga tidak dapat memenuhi
kewajiban pajaknya pada waktunya, dengan menggunakan formulir sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran I Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini.
6. Angka 2 huruf a angka 1 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-219/PJ./1998
tanggal 12 Oktober 1998 tentang perlakuan Terhadap Hasil Pemeriksaan Tim Pemeriksa
Bersama DJP-DJBC atas PPh Pasal 22, PPN dan PPn BM yang Belum dibayar Pada Saat Impor,
menyatakan bahwa Perlakuan/tindak lanjut atas hasil pemeriksaan tahun berjalan, apabila
berdasarkan hasil perhitungan pemeriksa ternyata tanggal jatuh tempo atau jangka waktu
pembayarannya akan melampaui akhir tahun pajak yang bersangkutan, maka terhadap PPh
Pasal 22 impor yang tidak/belum dibayar tersebut tidak dapat diusulkan untuk diterbitkan STP.
7. Angka 2 huruf b angka 1 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-219/PJ./1998
tanggal 12 Oktober 1998 tentang Perlakuan Terhadap Hasil Pemeriksaan Tim Pemeriksa
Bersama DJP-DJBC atas PPh Pasal 22, PPN dan PPn BM yang Belum dibayar Pada Saat Impor,
menyatakan bahwa perlakuan/tindak lanjut atas hasil pemeriksaan tahun lalu terhadap PPh
Pasal 22 impor ternyata belum/tidak dibayar, tidak dapat diusulkan untuk diterbitkan STP.
C. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disampaikan bahwa :
1. Pengaturan PDRI oleh DJBC, akan menyebabkan terganggunya penerimaan negara dari
sektor Pajak Dalam Rangka Impor.
2. Direktorat Jenderal Pajak telah mengatur masalah angsuran atau penundaan pembayaran
pajak dalam peraturan perundang-undang perpajakannya sebagaimana telah dijelaskan pada
huruf B di atas.
3. Adanya perbedaan perlakuan daslam proses penundaan/angsuran pajak antara DJP dan DJBC
yaitu DJP akan memproses permohonan Wajjib Pajak untuk mengangsur atau menunda
pembayaran pajak yang masih harus dibayar yang tercantum dalam surat ketetapan pajak
(Ps 18 ayat (1) UU KUP dan SPT PPh (PPh Ps 29 UU PPh). Sementara sarana untuk membayar
PDRI yang dipungut oleh DJBC adalah dalam bentuk Surat Pemberitahuan Kekurangan
Pembayaran Bea Masuk, Cukai, Denda Administrasi, Bunga, dan Pajak dalam rangka impor
(SPKPBM) atau Surat Pemberitahuan Piutang Pajak dalam rangka impor bagi Wajib Pajak yang
belum melunasi kewajibannya. SPKPBM dan Surat Pemberitahuan Piutang Pajak ini menurut
ketentuan perundang-undangan perpajakan bukan merupakan surat ketetapan pajak yang
berlaku sebagai dasar bagi Kantor Pelayanan Pajak untuk melakukan penagihan.
4. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-219/PJ./1998 telah mengatur bahwa PPh
Pasal 22 hanya dapat ditagih pada tahun pajhak yang bersangkutan. Sehingga apabila
dikabulkannya permohonan penundaan Wajib Pajak oleh DJBC dan batas waktu penundaan
pembayaran tersebut melampaui akhir tahun pajak yang bersangkutan, maka wajib utang
pajak atas PPh Ps 22 tersebut tidak dapat ditagih oleh DJP.
5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 541/KMK.04/2000 telah menegaskan bahwa apabila
pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka Pajak Penghasilan Pasal 22, Pajak
Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas impor, harus dilunasi pada
saat penyelesaian dokumen impor.
6. Kami mengusulkan agar masalah PDRI yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
tidak diatur dalam Rancangan Peraturan menteri Keuangan tersebut.
Demikian untuk dimamlumi.
Direktur Jenderal,
ttd.
Hadi Poernomo
NIP 0600027375
Tembusan :
1. Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan;
2. Kepala Biro Hukum Departemen Keuangan.