DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
                       DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
                                                      12 Mei 2006

                           SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
                        NOMOR S - 375/PJ.312/2006

                             TENTANG

                PERLAKUAN PERPAJAKAN TERHADAP PESERTA KONFERENSI FAO-RAPA 2006 DI JAKARTA

                        DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan surat Saudara Nomor xxx tanggal xxx perihal Konferensi FAO-RAPA 2006, di Jakarta, 
dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :

1.  Dalam surat tersebut disampaikan hal-hal sebagai berikut : 
    a.  Pemerintah Indonesia telah ditetapkan sebagai tuan rumah melalui Departemen Pertanian 
        untuk menyelenggarakan Konferensi ke-28 FAO Conference for Asia and the Pacific 
        (Konferensi ke-28 FAO-RAPA) tanggal 15-19 Mei 2006 di Jakarta. Konferensi akan dihadiri
        oleh Direktur Jenderal FAO, para menteri pertanian, kehutanan, dan perikanan negara anggota
        FAO di wilayah Asia dan Pasifik yang berjumlah 46 negara, organisasi pemerintah dan non 
        pemerintah, dan organisasi badang-badan PBB lainnya;
    b.  Sesuai dengan ketentuan badan PBB bahwa setiap negara anggota yang menghadiri 
        konferensi/sidang yang berada di bawah badan PBB tidak diperkenankan untuk dikenai bea 
        pajak (tercakup dalam Pedoman Persiapan Pelaksanaan Regional Conference Annex 4, 
        Halaman 3, Part II, Paragraf 7, yang berbunyi sebagai berikut :
        "The Host Government undertakes to accord, for the purpose of the Conference, to delegates,
        representatives and observers, and to FAO, its property, funds and assets, as well as to FAO 
        staff, all the privileges and immunities provided for in Article VIII, paragraph 4, and Article 
        XVI, paragraph 2 of the Constitution and Rule XXXVII-4 of the General Rules of the 
        Organization, and specified in the provisions of the Convention on the Privileges and 
        Immunities of the Specialized Agencies";
    c.  Sehubungan dengan hal tersebut, Saudara mohon agar seluruh delegasi yang menghadiri 
        Konferensi ke-28 FAO-RAPA dibebaskan dari ketentuan bea pajak selama menginap di hotel-
        hotel yang telah ditetapkan FAO selama berlangsungnya Konferensi tersebut, yaitu di 
        Shangri-La Hotel, Mandarin Oriental Hotel, dan Ibis Accor Hotels. 

2.  Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Amandemen 
    Keempat Tahun 2002, antara lain diatur sebagai berikut : 
    a.  Pasal 11 ayat (2), Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan
        akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan 
        negara, dan/atau menghasukan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan 
        persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
    b.  Pasal 23A, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur 
        dengan undang-undang.

3.  Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
    diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 TAHUN 2000, antara lain diatur sebagai berikut : 
    a.  Pasal 1, Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas Penghasilan yang diterima 
        atau diperolehnya dalam tahun pajak.
    b.  Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1) dan huruf b, yang menjadi Subjek Pajak adalah orang 
        pribadi dan badan.
    c.  Pasal 2 ayat (2), Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar 
        negeri.
        Dalam memori penjelasannya antara lain dijelaskan bahwa Subjek Pajak luar negeri sekaligus 
        menjadi Wajib Pajak sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan
        di Indonesia.
    d.  Pasal 2 ayat (4) huruf b, yang dimaksud dengan Subjek Pajak luar negeri adalah orang 
        pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 
        183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan 
        yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau 
        memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan 
        kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
    e.  Pasal 3, tidak termasuk Subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah : 
            1)  Huruf b, pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat 
            lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang 
            bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan 
            warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh 
            penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang 
            bersangkutan memberikan perlakuan timbal-balik;
            2)  Huruf c, organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan 
            Menteri Keuangan, dengan syarat :
                    i.  Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
                    ii. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan 
                dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya 
                berasal dari iuran pada anggota;
            3)  Huruf d, pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan 
            Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak
            menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan
            dari Indonesia.
    f.  Pasal 25 ayat (8), bagi Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri wajib membayar 
        pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
        Dalam memori penjelasannya antara lain dijelaskan bahwa berdasarkan pertimbangan 
        tertentu, misalnya kelaziman internasional, dengan Peraturan Pemerintah diatur tentang 
        pengecualian dari kewajiban membayar pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini. 
    g.  Pasal 26 ayat (1) huruf d atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam 
        bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang terutang oleh badang pemerintah, Subjek Pajak 
        dalam negeri, penyelenggaraan kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan 
        luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, 
        dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib 
        membayar imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan. 
    h.  Pasal 32A, Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain
        dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
        Dalam memori penjelasannya antara lain dijelaskan bahwa dalam rangka peningkatan 
        hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara lain diperlukan suatu perangkat hukum 
        yang berlaku khusus (lex-spesialis) yang mengatur hak-hak pemajakan dari dari masing-
        masing negara guna memberikan kepastian hukum dan menghindarkan pengenaan pajak 
        berganda serta mencegah pengelakan pajak.
    i.  Pasal 33A ayat (4), Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak 
        dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan kontrak bagi 
        hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih 
        berlaku pada saat berlakunya Undang-Undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan 
        dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan 
        pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjain kerjasama 
        dimaksud. 

5.  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 TAHUN 2000 tentang Perjanjian Internasional, antara lain diatur
    sebagai berikut : 
    a.  Pasal 1, dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
            1)  Huruf a, Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu,
            yang diatur dalam hukum inernasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan
            hak dan kewajiban di bidang hukum publik;
            2)  Huruf b, pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu 
            perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), 
            penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval);
            3)  Huruf g, Organisasi Internasional adalah oranisasi antar pemerintah yang diakui 
            sebagai subjek hukum internasional dan mempunyai kapasitas untuk membuat 
            perjanjian internasional.
    b.  Pasal 10, pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila 
        berkenaan dengan :
            1)  Huruf a, masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
            2)  Huruf b, perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
            3)  Huruf c, kedaulatan atau hak berdaulat negara;
            4)  Huruf d, hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
            5)  Huruf e, pembentukan kaidah hukum baru;
        6)  Huruf f, pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
    c.  Pasal 11 ayat (1), pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dilakukan dengan keputusan presiden.
        Dalam memori penjelasannya dijelaskan bahwa pengesahan perjanjian melalui keputusan 
        presiden dilakukan atas perjanjian yang mensyaratkan adanya pengesahan sebelum memulai
        berlakunya perjanjian, tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan 
        penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi peraturan perundang-undangan nasional.
        Jenis-jenis perjanjian yang termasuk dalam kategori ini, di antaranya adalah perjanjian induk
        yang menyangkut kerja sama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik, 
        perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, penghindaran pajak berganda, dan kerja sama 
        perlindungan penanaman modal, serta perjanjian-perjanjian yang bersifat teknis.
    d.  Pasal 11 ayat (2), Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusan 
        presiden yang megesahkan suatu perjanjian internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat
        untuk dievaluasi. 

6.  Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42 TAHUN 2000  tentang Pembayaran Pajak Penghasilan 
    Orang Pribadi yang akan Bertolak ke Luar Negeri sebagaimana telah diubah terkahir dengan Peraturan
    Pemerintah Nomor 41 TAHUN 2001, antara lain diatur sebagai berikut : 
    a.  Pasal 1, Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri diwajibkan membayar Pajak 
        Penghasilan.
    b.  Pasal 2 huruf a, besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dibayar oleh Orang Pribadi 
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah) untuk setiap 
        orang setiap kali bertolak ke luar negeri dengan menggunakan pesawat udara.
    c.  Pasal 3, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak berlaku terhadap :
            1)  Angka 1, anggota Korps Diplomatik, pegawai perwakilan negara asing, staf dari 
            badang-badang Perserikatan Bangsa-Bangsa, tenaga ahli dalam rangka kerja sama 
            teknik, dan staf dari Badan/Organisasi Internasional yang mendapat persetujuan 
            Pemerintah Republik Indonesia, sepanjang mereka bukan Warga Negara Indonesia 
            dan di samping jabatan resmi tidak melakukan pekerjaan lain atau kegiatan usaha 
            di Indonesia;
            2)  Angka 2, anggota keluarga dan pembantu rumah tangga yang bukan Warga Negara 
            Indonesia dari sebagaimana tersebut pada angka 1;
            3)  Angka 14, orang asing yang berada di Indonesia dengan visa turis, visa transit, visa 
            sosial budaya, visa kunjungan usaha dan tidak menerima atau memperoleh 
            penghasilan dari Indonesia, sepanjang tidak bertempat tinggal atau berada di 
            Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 
            12 (dua belas) bulan;
            4)  Angka 17, orang asing yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
            yang tidak bertempat tinggal atau tidak bermaksud menetap di Indonesia dan berada
            di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu
            12 (dua belas) bulan sepanjang atas penghasilan tersebut telah dipotong Pajak 
            Penghasilan Pasal 26 oleh pemberi penghasilan.

6.  Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 574/KMK.04/2000  
    tentang Organisasi-Organisasi Internasional dan Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional yang 
    Tidak Termasuk sebagai Subjek Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan 
    Keputusan Menteri Keuangan Nomor 601/KMK.03/2005, diatur bahwa organisasi-organisasi 
    internasional bukan merupakan Subjek Pajak Penghasilan apabila memenuhi syarat sebagai berikut : 
    a.  Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
    b.  tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia 
        selain pemberian pinjaman kepada Pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
        Dalam Lampiran Keputusan Menteri Keuangan tersebut, FAO tercantum sebagai organisasi 
        internasional yang bukan Subjek Pajak Penghasilan.

7.  Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 25/KMK.01/1998  
    tentang Pemberian Restitusi/Pembebasan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas 
    Barang Mewah kepada Perwakilan NegaraAsing/Badan Kena Pajak atau perolehan Jasa Kena Pajak 
    yang dilakukan oleh perwakilan negara asing dan atau badan internasional di Indonesia yang 
    memperoleh kekebalan diplomatik serta pejabat/tenaga ahlinya, dibebaskan Pajak Pertambahan Nilai 
    dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 

8.  Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut : 
    a.  Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Amandemen 
        Keempat Tahun 2002 diatur bahwa Presiden dalam membuat perjanjian internasional (seperti
        agreement, charter) yang terkait dengan beban keuangan negara harus dengan persetujuan 
        Dewan Perwakilan Rakyat dan sepanjang mengenai pajak harus diatur dengan persetujuan 
        Dewan Perwakilan Rakyat dan sepanjang mengenai pajak harus diatur dengan dan mengikuti/
        tunduk pada ketentuan undang-undang perpajakan;
    b.  Dalam hal perjanjian internasional tersebut tidak menyangkat masalah politik, perdamaian, 
        pertahanan, dan keamanan negara, perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara 
        Republik Indonesia, kedaulatan atau hak hukum baru, dan pinjaman dan/atau hibah luar 
        negeri, maka perjanjian internasional tersebut tidak disahkan/diratifikasi dengan undang-
        undang, melainkan hanya dengan keputusan Presiden. Perjanjian internasional yang dibuat/
        ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan disahkan/diratifikasi dengan undang-undang, 
        maka kekuatan hukum perjanjian inetrnasional tersebut berada di bawah undang-undang 
        sehingga harus tunduk pada undang-undang. Dengan demikian, perjanjian internasional 
        tersebut harus tunduk pada ketentuan undang-undang perpajakan;
    c.  Memperhatikan penegasan dalam huruf a dan huruf b di atas, pemberian kemudahan/fasilitas
        perpajakan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
    d.  Sesuai dengan ketentuan Pasal 32A dan Pasal 33A ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan,
        Undang-Udnang Pajak Penghasilan mengatur status lex spesialis hanya bagi Perjanjian 
        Penghindaran Pajak Bereganda (P3B) dan Kontrak Bagi Hasil/Kotnrak Karya. Dengan 
        demikian, agreement, charter, dan perjanjian internasional lain bukan merupakan lex 
        spesialis dari Undang-Udnang Pajak Penghasilan dan berlaku ketentuan umum Undang-Undang
        Pajak Penghasilan;
    e.  Sepanjang peserta Konferensi FAO-RAPA 2006 di Jakarta memenuhi ketentuan sebagaimana 
        diatur dalam butir 3 huruf e di atas, maka peserta tersebut tidak terutang Pajak Penghasilan 
        Orang Pribadi;
    f.  Sepanjang peserta tersebut memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam butir 5 huruf c di
        atas, maka peserta tersebut tidak wajib membayar Surat Keterangan Fiskal Luar Negeri 
        (SKFLN);
    g.  Sepanjang peserta Konferensi FAO-RAPA 2006 di Jakarta merupakan pejabat/tenaga ahli 
        badan internasional di Indonesia yang memperoleh kekebalan diplomatik maka atas pembelian
        Barang Kena Pajak dan perolehan Jasa Kena Pajak yang dilakukan tenaga ahli/pejabat 
        tersebut di atas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan
        atas Barang Mewah.

Demikian disampaikan.




Direktur Jenderal

ttd.

Darmin Nasution 
NIP 130605098

Tembusan :
1.  Menteri Pertanian; 
2.  Kepala Biro KTLN, Sekretariat Negara RI; 
3.  Direktur Peraturan Perpajakan; 
4.  Direktur Pajak Penghasilan.