PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31/M-DAG/PER/7/2007
TENTANG
ANGKA PENGENAL IMPORTIR (API)
MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa Angka Pengenal Importir atau API, sebagai tanda pengenal yang harus dimiliki oleh importir
dalam melakukan kegiatan importasi barang, merupakan salah satu instrumen yang digunakan oleh
Pemerintah dalam rangka penataan pelaksanaan kebijakan perdagangan luar negeri di bidang impor;
b. bahwa ketentuan mengenai API yang ada saat ini, belum mencakup seluruh kegiatan importasi barang
yang dilakukan untuk beberapa kegiatan usaha tertentu seperti kegiatan usaha hulu minyak dan gas
bumi, kegiatan usaha di bidang industri jasa yang memerlukan barang modal dan peralatan untuk
mendukung kegiatan usahanya;
c. bahwa kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi merupakan kegiatan spesifik yang didasarkan pada
kontrak kerjasama antara Pemerintah dengan Kontraktor Kontrak Kerjasama, sehingga dalam rangka
kelancaran kegiatan importasi barang untuk keperluan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi oleh
Kontraktor Kontrak Kerjasama dipandang perlu adanya pengaturan penerbitan API yang bersifat
khusus;
d. bahwa untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan ketentuan API perlu dilakukan penyesuaian dan
mencabut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 40/MPP/Kep/1/2003 tentang
Angka Pengenal Importir (API);
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d,
perlu menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan.
Mengingat :
1. Bedrijfsreglementerings Ordonantie 1934 (Staatsblad tahun 1938 Nomor 86) sebagaimana telah
diubah dan ditambah;
2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (Lembaran Negara Tahun 1982
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3214);
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade
Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), (Lembaran Negara Tahun
1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564);
4. Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 75,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor
17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Nomor 136
Tahun 2001, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4152);
6. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak
Dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4216);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara
Nomor 82 Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737);
9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 260 Tahun 1967 tentang Penegasan Tugas dan
Tanggung Jawab Menteri Perdagangan dalam Bidang Perdagangan Luar Negeri;
10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2005 tentang Pembentukan Kabinet
Gotong Royong sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 171/M Tahun 2005;
11. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2006;
12. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas
Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2007;
13. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 229/MPP/Kep/7/97 tentang Ketentuan
Umum di Bidang Impor;
14. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 230/MPP/Kep/7/97 tentang Barang Yang
Diatur Tata Niaga Impornya sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 789/MPP/Kep/12/2002;
15. Keputusan Menteri Perindustrian dan perdagangan Nomor 12/MPP/Kep/1/98 tentang Penyelenggaraan
Wajib Daftar Perusahaan (WDP);
16. Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
527/KMK.04/2002 dan Nomor 819/MPP/Kep/12/2002 tentang Tertib Adminitrasi Importir;
17. Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 366/M-DAG/KEP/12/2005 tentang
Pedoman Administrasi Umum Departemen Perdagangan;
18. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 01/M-DAG/PER/3/2005 tentang organisasi dan Tata Kerja
Departemen Perdagangan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 22/M-DAG/PER/5/2007;
19. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 09/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan Standar Pemberian
Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP).
MEMUTUSKAN :
Mencabut :
1. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 40/MPP/Kep/1/2003 tentangh Angka
Pengenal Importir (API);
2. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 414/MPP/Kep/6/2003 tentang Pemberian
Kuasa Untuk Penerbitan Persetujuan Impor Barang Tanpa API,
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG ANGKA PENGENAL IMPORTIR (API).
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean Indonesia.
2. Angka Pengenal Importir disingkat API adalah tanda pengenal sebagai importir yang harus dimiliki
setiap perusahaan yang melakukan perdagangan Impor.
3. Importir adalah perusahaan pemilik API yang melakukan kegiatan impor barang.
4. Perusahaan dagang adalah badan usaha, baik yang berbentuk perorangan atau persekutuan, baik
dalam bentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang berkedudukan di Indonesia dan
melakukan kegiatan usaha perdagangan barang atau jasa.
5. Perusahaan industri adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang usaha industri.
6. Kontraktor Kontrak Kerja Sama, selanjutnya disebut Kontraktor KKS adalah badan usaha dan bentuk
usaha tetap yang diberikan wewenang untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu
wilayah kerja berdasarkan kontrak kerja sama dengan badan pelaksana.
7. Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut Badan
pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu
di bidang minyak dan gas bumi.
8. Cabang perusahaan adalah perusahaan yang merupakan unit atau bagian dari perusahaan induknya
yang dapat berkedudukan di tempat yang berlainan dan dapat bersifat berdiri sendiri atau bertugas
melaksanakan sebagian tugas dari perusahaan induknya.
9. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang perdagangan.
10. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri.
11. Dinas Propinsi adalah instansi pada Pemerintah Propinsi yang bertanggung jawab di bidang
perdagangan.
12. Dinas Kabupaten/Kota adalah instansi pada Pemerintah Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di
bidang perdagangan.
Pasal 2
Impor hanya dapat dilaksanakan oleh perusahaan dagang, perusahaan industri, Kontraktor KKS atau
perusahaan penanaman modal yang telah memiliki API.
Pasal 3
(1) Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat dilaksanakan tanpa API untuk :
a. barang pindahan;
b. Barang impor sementara;
c. barang promosi;
d. barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
e. barang kiriman, hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, kebudayaan atau untuk
kepentingan penanggulangan bencana alam;
f. obat-obatan yang menggunakan anggaran pemerintah yang diperuntukkan bagi kepentingan
masyarakat;
g. barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan penggujian;
h. barang ekspor yang ditolak oleh pembeli di luar negeri kemudian diimpor kembali dalam
kuantitas yang sama dengan kuantitas pada saat diekspor;
i. barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia
berdasarkan asas timbal balik;
j. barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia;
atau
k. barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan.
(2) Impor dapat dilaksanakan tanpa API apabila :
a. impor tidak dilakukan secara terus menerus dan yang tidak dimaksudkan untuk
diperdagangkan atau yang tidak dimaksudkan untuk dipindahtangankan; dan
b. barang yang diimpor adalah barang untuk keperluan lainnya yang berupa alat penunjang
kelancaran produksi atau alat pembangunan infrastruktur.
Pasal 4
Impor Tanpa API sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib memperoleh Persetujuan Impor yang
ditandatangani Direktur Impor.
Pasal 5
(1) API terdiri dari :
a. Angka Pengenal Importir Umum (API-U);
b. Angka Pengenal Importir Produsen (API-P);
c. Angka Pengenal Importir Terbatas (API-T);
d. Angka Pengenal Importir Khusus (API-K).
(2) API berlaku untuk setiap kegiatan impor di seluruh daerah pabean Indonesia.
(3) API-U, API-P dan API-T berlaku untuk kantor pusat dan seluruh kantor cabangnya.
(4) API-K berlaku untuk setiap kontrak yang dimiliki oleh Kontraktor KKS.
Pasal 6
(1) API-U wajib dimiliki oleh setiap perusahaan dagang yang melakukan impor.
(2) API-P wajib dimiliki oleh setiap perusahaan industri yang melakukan impor.
(3) API-T wajib dimiliki oleh setiap perusahaan penanaman modal yang melakukan impor.
(4) API-K wajib dimiliki oleh setiap Kontraktor KKS yang melakukan impor.
Pasal 7
API-P diberikan kepada perusahaan industri yang mengimpor barang modal dan bahan baku atau penolong
untuk keperluan proses produksinya sendiri, atau barang lainnya sepanjang digunakan untuk keperluan
perusahaan industri yang bersangkutan.
Pasal 8
API atau Persetujuan Impor Tanpa API merupakan syarat untuk :
a. Pengimporan barang melalui pembukaan L/C pada bank devisa dan/atau dengan cara pembayaran
lain yang lazim berlaku dalam traksaksi perdagangan internasional; dan/atau
b. penerbitan Pemberitahuan Impor Barang (PIB).
Pasal 9
Pemilik API dan pemilik Persetujuan Impor Tanpa API bertanggungjawab sepenuhnya terhadap pelaksanaan
impor yang dilakukan dengan menggunakan API dan Persetujuan Impor Tanpa APIyang dimilikinya
Pasal 10
(1) API-U dan API-P diterbitkan atas nama Menteri oleh Kepala Dinas Propinsi dimana kantor pusat
perusahaan berdomisili.
(2) API-K diterbitkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.
Pasal 11
(1) Setiap perusahaan dagang hanya boleh memiliki 1 (satu) API-U dan tidak boleh memiliki jenis API
lainnya.
(2) Setiap perusahaan industri hanya boleh memiliki 1 (satu) API-P dan tidak boleh memiliki jenis API
lainnya.
(3) Setiap Kontraktor KKS hanya boleh memiliki 1 (satu) API-K dan tidak boleh memiliki jenis API lainnya.
Pasal 12
(1) Perusahaan dagang yang akan memiliki API-U wajib mengajukan permohonan dengan mengisi
Formulir Isian sebagaimana contoh dalam Lampiran I Peraturan ini, kepada Kepala Dinas Propinsi
dengan Tembusan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota di tempat kedudukan Kantor Pusat
perusahaan dengan melampirkan :
a. Fotokopi Akte Notaris Pendirian Perusahaan dan perubahannya;
b. Nama dan susunan pengurus/direksi perusahaan (asli);
c. Fotokopi surat keterangan domisili kantor pusat perusahaan yang masih berlaku dari kantor
kelurahan setempat atau fotokopi perjanjian sewa/kontrak tempat berusaha;
d. Fotokopi Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)/ijin yang setara dari instansi terkait;
e. Fotokopi Tanda Daftar Perusahaan (TDP);
f. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perusahaan atau perseorangan dan Penanggung
Jawab Perusahaan;
g. Referensi dari bank devisa;
h. Pasfoto berwarna masing-masing Pengurus/Direksi Perusahaan 2 (dua) lembar ukuran 3 X 4;
dan
i. Fotokopi Paspor/KTP dari Pengurus/Direksi.
(2) Perusahaan industri yang akan memiliki API-P wajib mengajukan permohonan dengan mengisi
Formulir Isian sebagaimana contoh dalam Lampiran I Peraturan ini kepada Kepala Dinas Propinsi,
dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota di tempat Kantor Pusat perusahaan
berdomisili dengan melampirkan :
a. Fotokopi Akte Notaris Pendirian Perusahaan dan perubahannya;
b. Nama dan susunan pengurus/direksi perusahaan (asli);
c. Fotokopi surat keterangan domisili kantor pusat perusahaan yang masih berlaku dari kantor
kelurahan setempat/fotokopi perjanjian sewa/kontrak tempat berusaha;
d. Fotokopi izin usaha industri/ijin yang setara dari instansi terkait;
e. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perusahaan sesuai dengan domisilinya;
f. Fotokopi Tanda Daftar Perusahaan (TDP);
g. Referensi dari bank devisa;
h. Pasfoto berwarna masing-masing pengurus 2 (dua) lembar ukuran 3 X 4; dan
i. Fotokopi Paspor/KTP dari Pengurus/Direksi.
(3) Penyampaian permohonan dan tembusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dapat
dilakukan :
a. melalui jasa pengiriman; atau
b. disampaikan secara langsung kepada Kepala Dinas Propinsi dan Kepala Dinas Kabupaten/
Kota.
(4) Kontraktor KKS yang akan memiliki API-K, wajib mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal
dengan mengisi Formulir Isian sebagaimana contoh dalam Lampiran II Peraturan ini, dengan
melampirkan:
a. Salinan Kontrak Kerjasama antara Kontraktor KKS dengan Pemerintah/Badan Pelaksana;
b. Rekomendasi dari Badan Pelaksana;
c. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Kontraktor KKS;
d. Pasfoto berwarna masing-masing penanggung jawab Kontraktor KKS, 2 (dua) lembar ukuran
3x4; dan
e. Fotokopi bukti identitas/paspor masing-masing penanggung jawab di Kontraktor KKS.
Pasal 13
(1) Kepala Dinas Kabupaten/Kota, berdasarkan tembusan permohonan API sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (1) dan (2) melakukan pemeriksaan dilapangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak
tembusan permohonan API diterima.
(2) Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diselesaikan pada
waktunya, Dinas Propinsi dapat melakukan pemeriksaan di lapangan yang diselesaikan paling lambat
10 (sepuluh) hari kerja sejak permohonan diterima.
(3) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksa
(BAP) dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran III-a Peraturan ini dan ditandatangani
oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota serta pegawai Dinas Kabupaten/Kota yang melakukan
pemeriksaan di lapangan.
(4) Kepala Dinas Kabupaten/Kota menyampaikan BAP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada
Kepala Dinas Propinsi, paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak BAP ditandatangani.
Pasal 14
(1) Dalam hal diperlukan pemeriksaan ke lapangan untuk memastikan kebenaran dokumen yang
diajukan oleh Pemohonan API-K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), Direktur Jenderal
dapat menugaskan pegawai dilingkungan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen
Perdagangan.
(2) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan
(BAP) dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran III-b Peraturan ini dan ditandatangani
oleh Direktur Impor atas nama Direktur Jenderal serta pegawai yang melakukan pemeriksaan di
lapangan.
Pasal 15
(1) Bentuk API-U, API-P dan API-K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran IV, Lampiran V dan Lampiran VI Peraturan ini.
(2) API-U berwarna biru, API-P berwarna hijau muda dan API-K berwarna kuning muda.
Pasal 16
(1) Kepala Dinas Propinsi menerbitkan API-U/ API-P atau menolak permohonan API-U/ API-P
sebagaimana di maksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan (2) paling lambat dalam waktu 3 (tiga) hari kerja
terhitung sejak diterima BAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3).
(2) Kepala Dinas Propinsi menyampaikan tembusan API-U/ API-P kepada Direktur Impor dan Kepala
Dinas Kabupaten/ Kota pembuat BAP.
(3) Surat penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pemohon dengan
tembusan kepada Kepala Dinas Kabupaten/ Kota pembuat BAP.
(4) Contoh surat penolakan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana tercantum
dalam lampiran VII-a Peraturan ini.
Pasal 17
(1) Direktur Jenderal menerbitkan API-K atau menolak permohonan API-K sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (3) paling lambat dalam waktu 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diterima permohonan
penerbitan API-K.
(2) Dalam hal diperlukan pemeriksaan ke lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, persetujuan
atau penolakan permohonan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (4) diterbitkan paling lambat
3 (tiga) hari kerja terhitung sejak selesainya pemeriksaan dimaksud.
(3) Direktur Jenderal menyampaikan tembusan API-K kepada Kepala Badan Pelaksana dalam waktu 3
(tiga) hari kerja sejak tanggal diterbitkan.
(4) Surat penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pemohon dengan
tembusan kepada Kepala Badan Pelaksana dan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai Departemen
Keuangan.
(5) Contoh surat penolakan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana tercantum
dalam lampiran VII-b Peraturan ini.
Pasal 18
Masa berlaku API-U, API-P dan API-K selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal diterbitkan dan dapat
diperpanjang.
Pasal 19
(1) Perusahaan pemilik API-U dan API-P wajib melaporkan realisasi impor dalam hal ada/tidak ada impor,
sekali dalam 3 (tiga) bulan kepada Kepala Dinas Propinsi dengan tembusan kepada Kepala Dinas
Kabupaten/kota dimana perusahaan berdomisili.
(2) Kontraktor KKS pemilik API-K wajib melaporkan rekapitulasi realisasi impornya sekali dalam 6 (enam)
bulan kepada Direktur Nomor : 31/M-DAG/PER/7/2007 Jenderal dalam hal ini Direktur Impor.
(3) Kepala Dinas Propinsi menyampaikan laporan rekapitulasi realisasi impor masing-masing perusahaan
pemilik API-U dan API-P, sekali dalam 1 (satu) tahun kepada Direktur Jenderal.
Pasal 20
(1) Perusahaan pemilik API-U dan API-P wajib melaporkan setiap perubahan yang berkaitan dengan
perusahaannya paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terjadinya perubahan kepada Kepala
Dinas Propinsi dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota dilokasi perusahaan yang
bersangkutan berdomisili.
(2) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. setiap perubahan bentuk badan usaha, susunan pengurus/direksi, alamat perusahaan, Surat
Izin Usaha Perdagangan (SIUP), surat ijin yang setara dari instansi terkait, dan atau Tanda
Daftar Perusahaan (TDP), untuk perusahaan pemilik API-U.
b. setiap perubahan bentuk badan usaha, perubahan jenis usaha industri, susunan pengurus/
direksi, alamat perusahaan dan atau Tanda Daftar Perusahaan (TDP), untuk perusahaan
pemilik API-P.
(3) Contoh laporan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sebagaimana tercantum
dalam Lampiran VIII-a dan Lampiran VIII-b Peraturan ini.
(4) Contoh laporan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b sebagaimana tercantum
dalam lampiran VIII-a dan lampiran VIII-b Peraturan ini.
(5) Laporan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dalam 2 (dua) rangkap dan harus
ditandasahkan oleh Kepala Dinas Propinsi, dengan tembusan disampaikan kepada Direktur Impor.
(6) Kepala Dinas Propinsi menyampaikan laporan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
masing-masing kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota dilokasi perusahaan berdomisili dan kepada
perusahaan yang bersangkutan.
(7) Laporan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dari API perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 21
(1) Kontraktor KKS pemilik API-K wajib melaporkan setiap perubahan yang berkaitan dengan identitas
dan atau hal lain yang berkaitan dengan kontraktor KKS paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak terjadinyaperubahan kepada Direktur Jenderal melalui Kepala Badan Pelaksana.
(2) Kepala Badan Pelaksana atau pejabat yang ditunjuk menyampaikan setiap laporan perubahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal paling lambat 5 (lima) hari setelah
diterima dari kontraktor KKS.
(3) Contoh laporan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana tercantum dalam
Lampiran VIII-c dan Lampiran VIII-d dalam Peraturan ini.
(4) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam 2 (dua) rangkap dan ditandasahkan
oleh Direktur Impor atas nama Direktur Jenderal, dengan tembusan disampaikan kepada Badan
Pelaksana.
(5) Direktur Impor menyampaikan laporan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada
Kontraktor KKS.
(6) Laporan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dari API-K Kontraktor KKS.
Pasal 22
(1) API dapat dibekukan apabila perusahaan pemilik API dan/atau Pengurus/Direksi perusahaan pemilik
API/penanggung jawab Kontraktor KKS pemilik API-K :
a. sedang diperiksa oleh penyidik yang berwenang karena diduga melakukan tindak pidana yang
berkaitan dengan penyalahgunaan API;
b. diduga menyampaikan informasi atau data yang tidak benar pada saat pengajuan
permohonan API;
c. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada Pasal 19, Pasal 20 dan atau
Pasal 21; atau
d. diduga melanggar ketentuan yang berlaku dibidang impor.
(2) Contoh surat pembekuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana tercantum dalam
Lampiran IX-a dan Lampiran IX-b Peraturan ini.
Pasal 23
(1) API yang telah dibekukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dapat diaktifkan kembali apabila:
a. telah dikeluarkan perintah penghentian penyidikan oleh penyidik dan/atau dinyatakan tidak
bersalah/dibebaskan dari segala tuntutan hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap dengan melampirkan amar pengadilan;
b. tidak terbukti menyampaikan informasi atau data yang tidak benar pada saat pengajuan API
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b;
c. telah melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20 dan
Pasal 21; atau
d. tidak terbukti melanggar ketentuan dibidang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
huruf d.
(2) Contoh surat pengaktifan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana tercantum
dalam Lampiran X-a dan Lampiran X-b Peraturan ini.
Pasal 24
(1) API dicabut apabila perusahaan pemilik API dan/atau Pengurus/Direksi perusahaan pemilik API/
penanggung jawab Kontraktor KKS:
a. mengalami pembekuan API sebanyak 2 (dua) kali;
b. tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada Pasal 19, Pasal 20 dan Pasal
21 paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pembekuan;
c. terbukti melanggar ketentuan tata niaga impor yang berlaku;
d. memalsukan dan/atau menyalahgunakan dokumen impor dan surat-surat yang berkaitan
dengan impor; atau
e. dinyatakan bersalah oleh pengadilan atas tindak pidana yang berkaitan dengan
penyalahgunaan API dan telah mempunyai kekuatan hukum yang kuat.
(2) Contoh surat pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana tercantum dalam
Lampiran XI-a dan Lampiran XI-b Peraturan ini.
Pasal 25
(1) Dalam hal API dicabut sebagaimana dimaksud pada Pasal 24 huruf a dan/atau huruf b, maka
perusahaan hanya dapat mengajukan permohonan API baru setelah 1 (satu) tahun sejak tanggal
pencabutan API tersebut.
(2) Dalam hal API dicabut sebagaimana dimaksud pada Pasal 24 huruf c, huruf d dan/atau huruf e, maka
perusahaan hanya dapat mengajukan permohonan API baru setelah 5 (lima) tahun sejak tanggal
pencabutan API tersebut.
(3) Dalam hal API-K dicabut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, maka Kontraktor KKS hanya dapat
mengajukan permohonan API-K baru setelah mendapatkan rekomendasi dari Kepala Badan Pelaksana
yang menyatakan kredibilitas Kontraktor KKS.
(4) Pemohon API sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diwajibkan:
a. memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Peraturan ini; dan
b. mengembalikan API asli yang telah dicabut.
Pasal 26
(1) Pembekuan, pengaktifan kembali, dan pencabutan API-U dan API-P sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24, dilakukan atas nama Menteri oleh Kepala Dinas Propinsi yang
menerbitkan API.
(2) Pembekuan, pengaktifan kembali, dan pencabutan API-K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,
Pasal 23, dan Pasal 24, dilakukan atas nama Menteri oleh Direktur Jenderal.
(3) Kepala Dinas Propinsi menyampaikan surat pembekuan, pengaktifan kembali, dan pencabutan API-U
dan API-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 kepada perusahaan yang
bersangkutan dengan tembusan kepada Direktur Impor dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota dilokasi
perusahaan berdomisili.
(4) Salinan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Direktur
Jenderal Bea dan Cukai untuk keperluan tatalaksana kepabeanan dibidang impor.
Pasal 27
(1) Setiap API-U dan API-P yang diterbitkan diberi nomor yang terdiri dari 9 (sembilan) digit sebagaimana
contoh dalam Lampiran XII Peraturan ini, yang terdiri dari:
a. 2 (dua) digit pertama untuk nomor kode propinsi yang ditetapkan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran XIII peraturan ini;
b. 2 (dua) digit berikutnya untuk nomor kode Kabupaten/Kota sesuai dengan nomor kode yang
ditetapkan di propinsi yang bersangkutan;
c. 5 (lima) digit terakhir untuk nomor urut API yang diterbitkan.
(2) Dalam hal terjadi perubahan terhadap jumlah wilayah sehingga menyebabkan terjadinya perubahan
nomor kode propinsi, maka nomor kode yang baru ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
(3) Setiap API-K yang diterbitkan diberikan nomor yang sesuai dengan ketentuan dalam pedoman
administrasi umum Departemen Perdagangan.
Pasal 28
Ketentuan mengenai API-T sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d diatur terpisah melalui
Peraturan Menteri.
Pasal 29
Ketentuan Pelaksanaan peraturan ini dapat diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
Pasal 30
API-U dan API-P yang diterbitkan sebelum ditetapkannya Peraturan ini dinyatakan tetap berlaku sampai habis
masa lakunya dan tunduk pada ketentuan dalam Peraturan ini.
Pasal 31
Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Juli 2007
MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA
ttd
MARI ELKA PANGESTU