KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 87/KMK.03/2002
TENTANG
PEMBERIAN PENGURANGAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ÂÂÂ
Menimbang :
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 20 ayat (2) Undang-undang Nomor 21 TAHUN 1997
tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 20 TAHUN 2000, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Pemberian Pengurangan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 21 TAHUN 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3688) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 TAHUN 2000
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3988);
2. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERIAN PENGURANGAN BEA
PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN.
Pasal 1
Atas permohonan Wajib Pajak, dapat diberikan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
dalam hal:
a. Kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan Obyek Pajak yaitu:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak baru melalui program pemerintah di bidang
pertanahan dan tidak mempunyai kemampuan secara ekonomis;
2. Wajib Pajak badan yang memperoleh hak baru selain Hak Pengelolaan dan telah menguasai
tanah dan atau bangunan secara fisik lebih dari 20 tahun yang dibuktikan dengan surat
pernyataan Wajib Pajak dan keterangan dari Pejabat Pemerintah Daerah setempat;
3. Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan Rumah
Sederhana (RS), dan Rumah Susun Sederhana serta Rumah Sangat Sederhana (RSS) yang
diperoleh langsung dari Pengembang dan dibayar secara angsuran;
4. Wajib Pajak orang pribadi yang menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai
hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu
derajat ke bawah.
b. Kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu yaitu:
1. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi
pemerintah yang nilai ganti ruginya dibawah Nilai Jual Objek Pajak;
2. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah yang dibebaskan
oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus;
3. Wajib Pajak Badan yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas
pada kehidupan perekonomian nasional sehingga Wajib Pajak harus melakukan
restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah;
4. Wajib Pajak Bank Mandiri yang memperoleh hak atas tanah yang berasal dari Bank Bumi
Daya, Bank Dagang Negara, Bank Pembangunan Indonesia, dan Bank Ekspor Impor dalam
rangkaian proses penggabungan usaha (merger);
5. Wajib Pajak Badan yang melakukan Penggabungan Usaha (merger) atau Peleburan Usaha
(konsolidasi) dengan atau tanpa terlebih dahulu mengadakan likuidasi dan telah memperoleh
keputusan persetujuan penggunaan Nilai Buku dalam rangka penggabungan atau peleburan
usaha dari Direktur Jenderal Pajak;
6. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak berfungsi lagi
seperti semula disebabkan bencana alam atau sebab-sebab lainnya seperti kebakaran, banjir,
tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, dan huru-hara yang terjadi dalam jangka waktu
paling lama 3 (tiga) bulan sejak penandatanganan akta;
7. Wajib Pajak orang pribadi Veteran, Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia
(TNI), Polisi Republik Indonesia (POLRI), Pensiunan PNS, Purnawirawan TNI, Purnawirawan
POLRI atau janda/duda-nya yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan rumah
dinas Pemerintah.
c. Tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata
tidak untuk mencari keuntungan antara lain untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu,
sekolah yang tidak ditujukan mencari keuntungan, rumah sakit swasta milik institusi pelayanan sosial
masyarakat.
Pasal 2
Besarnya pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan sebagai berikut:
a. sebesar 25% (duapuluh lima persen) dari pajak yang terutang untuk Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 3;
b. sebesar 50% (limapuluh persen) dari pajak yang terutang untuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 huruf a angka 2, angka 4, huruf b angka 1, angka 2, angka 5, dan angka 6 serta huruf
c;
c. sebesar 75% (tujuhpuluh lima persen) dari pajak yang terutang untuk Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 1, huruf b angka 3 dan angka 7;
d. sebesar 100% (seratus persen) dari pajak yang terutang untuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 huruf b angka 4.
Pasal 3
(1) Wajib Pajak dapat menghitung sendiri besarnya pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan sebelum melakukan pembayaran dan membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan terutang sebesar perhitungan setelah pengurangan.
(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas wajib mengajukan permohonan
pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5).
Pasal 4
(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atas nama Menteri Keuangan berwenang
memberikan Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, dan huruf b angka 1, angka 2, angka 6, dan angka 7
serta huruf c dalam hal pajak yang terutang paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus
juta rupiah).
(2) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan berwenang
memberikan Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, dan huruf b angka 1, angka 2, angka 6, dan angka 7
serta huruf c dalam hal pajak yang terutang lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta
rupiah) sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(3) Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan berwenang memberikan Keputusan Pemberian
Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan selain dimaksud dalam ayat (1) dan (2).
Pasal 5
(1) Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang wilayah kerjanya meliputi letak
tanah dan atau bangunan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, dan huruf b angka
1, angka 2, angka 6 dan angka 7 serta huruf c.
(2) Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
kepada Direktur Jenderal Pajak dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b angka 3,
angka 4, dan angka 5.
(3) Dalam hal kewenangan memberikan Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan berada pada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan meneruskan
permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan kepada Kepala Kantor
wilayah Direktorat Jenderal Pajak atasannya dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari
sejak tanggal diterimanya surat permohonan.
(4) Dalam hal kewenangan memberikan Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan berada pada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan meneruskan permohonan pengurangan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu
paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya surat permohonan.
(5) Permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan yang jelas
dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak saat terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
(6) Permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan yang jelas
dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak saat pembayaran.
Pasal 6
(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2), dalam
waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya surat permohonan harus memberikan
keputusan atas permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang
diajukan Wajib Pajak.
(2) Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3),
dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya surat permohonan harus
memberikan keputusan atas permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
yang diajukan Wajib Pajak.
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) berupa mengabulkan sebagian, atau
mengabulkan seluruhnya, atau menolak.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) telah lewat dan Kepala
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
atau Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengurangan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang diajukan dianggap dikabulkan dengan mengacu kepada
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Pasal 7
Permohonan Wajib Pajak yang diajukan sebelum ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan ini dan belum
diterbitkan keputusan pengurangan, diproses berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan ini.
Pasal 8
Ketentuan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Kepututsan Menteri Keuangan ini diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 9
Pada saat Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor
518/KMK.04/2000 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 10
Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Maret 2002
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BOEDIONO