DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 20 Nopember 2006 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 1078/PJ.33/2006 TENTANG PELANGGARAN/ PENYIMPANGAN TERHADAP PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1985 SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1994 DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan surat dari Sdri. SA tanpa nomor dan tanggal perihal dimaksud di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut : 1. Dalam surat tersebut antara lain dikemukakan : a. Terjadi adanya tumpang tindih antara Undang-undang Nomor 12 TAHUN 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 TAHUN 1994 (UU PUB), Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1007/KMK.04/1985 tanggal 28 Desember 1985 tentang Pelimpahan Wewenang Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan kepada Gubernur Kepala Daerah Tk. I dan/atau Bupati Walikotamadya Kepala Daerah Tk. II, dengan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 973/3216/PUOD tanggal 14 Juli 1998 perihal Intensifikasi Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-48/PJ.6/1998 tanggal 23 November 1998 hal Koordinasi Tindak Lanjut Surat Menteri Dalam Negeri. b. Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 973/3216/PUOD tanggal 14 Juli 1998 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-48/PJ.6/1998 tanggal 23 November 1998 tidak selaras dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1007/KMK.04/1985 tanggal 23 Desember 1985 dianggap merupakan pelanggaran/penyimpangan terhadap UU PBB terutama pelanggaran/ penyimpangan terhadap Pasal 14-nya. Surat Menteri Dalam Negeri dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tersebut perlu ditinjau/ direvisi kembali karena aturan ini jelas-jelas bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi kedudukannya. Dengan keluarnya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tersebut di atas berarti Direktur PBB A.n. Direktur Jenderal Pajak telah melampaui wewenang Menteri Keuangan, karena Surat Menteri Dalam Negeri ditanggapi atau ditindaklanjuti langsung oleh Direktur PBB atas nama Direktur Jenderal Pajak yang level/ tingkatannya di bawah Menteri, seyogyanya ditanggapi terlebih dahulu oleh Menteri Keuangan baru ditindaklanjuti oleh Direktur Jenderal Pajak. c. Menyarankan : Pada butir b Surat Menteri Dalam Negeri tersebut ditambahkan : ........ Kepada Daerah Tingkat II, karena pendataan obyek pajak menjadi kewenangan Menteri Keuangan agar Sdr. Gubernur Kepala Daerah Tk. I dan Sdr. Bupati/Walikotamadya Kepala Dati II diminta untuk berkoordinasi dan menyerahkan pelaksanaan pendataanya kepada Menteri Keuangan dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak. d. Direktur Jenderal Pajak seharusnya tidak menerbitkan SE-48/PJ.6/1998 tanggal 23 November 1998 terlebih dahulu, sebelum ada tanggapan atau ada surat dari Menteri Keuangan atas Surat Menteri Dalam Negeri tersebut karena Surat Mendagri tersebut tembusannya kepada Menteri Keuangan jadi Menteri Keuanganlah yang harus menanggapi terlebih dahulu. e. Sesuai Kepdirjen Pajak Nomor KEP-533/PJ./2000 tanggal 20 Desember 2000 sebagaimana telah diubah dengan KEP-115/PJ./2002 tanggal 4 Maret 2002 : Pasal 3 Ayat (1) : Pendataan Objek Pajak dan Subjek Pajak Bumi dan Bangunan dilakukan oleh KP PBB; Pasal 8 Ayat (2) : Pendataan dan penilaian objek dan subjek pajak Bumi dan Bangunan dalam rangka Pembentukan dan atau pemeliharaan basis data SISMIOP dapat dilakukan oleh Pihak Ketiga yang memenuhi persyaratan teknis yang ditentukan dan ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak. f. Berdasarkan Surat Menteri Dalam Negeri, pembaharuan data dilakukan oleh pihak ke-3 yang dibiayai dengan APBD dan hasilnya langsung disampaikan dan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk dasar penghitungan PBB. Sedangkan data tersebut tidak selalu tepat dan dan bahkan merusak data yang ada sehingga DJP harus membetulkan dengan biaya yang mahal. Jadi biaya berlipat ganda karena pihak ke-3 tidak bertanggung jawab kepada DJP. Kalau hal ini didiamkan/dibiarkan terus akan menimbulkan preseden buruk dikemudian hari, data PBB akan hancur dan fatal dimana pihak ketiga yang ditunjuk Pemda untuk melaksanakan pendataan PBB secara struktural tidak punya beban moral karena bertanggung jawab kepada Pemda yang menunjuk bukan kepada DJP. 2. Undang-undang Nomor 12 TAHUN 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 TAHUN 1994 (UU PBB) antara lain mengatur : - Pasal 10 ayat (1) : Berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 1, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang. - Pasal 14 : Menteri Keuangan dapat melimpahkan kewenangan penagihan pajak kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan/ atau Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II. Memori Penjelasan : Pelimpahan kewenangan penagihan Pajak kepada Gubernur Kepala Daerah Tk. I dan/atau Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tk. II, bukanlah pelimpahan urusan penagihan, tetapi hanya sebagai pemungut pajak, sedangkan pendataan objek Pajak dan penetapan pajak yang terhutang tetap menjadi kewenangan Menteri Keuangan. 3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1007/KMK.04/1985 tanggal 28 Desember 1985 tentang pelimpahan wewenang penagihan Pajak Bumi dan Bangunan kepada Gubernur Kepala Daerah Tk. I dan/atau Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tk. II. - Pasal 1 : Wewenang penagihan Pajak Bumi dan Bangunan, dengan Keputusan ini; dilimpahkan untuk masing-masing Daerah Kepada ; a. Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau pejabat lain yang ditunjuk untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta; b. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II atau pejabat lain yang ditunjuk, untuk Daerah lainnya. - Pasal 2 : Pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud Pasal 1, tidak meliputi penagihan Pajak Bumi dan Bangunan untuk Wajib Pajak Perkebunan, Kehutanan dan Pertambangan. 4. Kepdirjen Pajak Nomor KEP-533/PJ./2000 tanggal 20 Desember 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran, Pendataan dan Penilaian Objek Pajak dan Subjek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Dalam rangka Pembentukan dan atau pemeliharaan Basis Data Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak (SISMIOP) sebagaimana telah diubah dengan KEP-115/PJ./2002 tanggal 4 Maret 2002 : - Pasal 3 ayat (1) Pendataan objek pajak dan subjek pajak Bumi dan Bangunan dilakukan oleh KP PBB dengan menuangkan hasilnya dalam formulir SPOP. - Pasal 8 ayat (2) : Pendataan objek pajak dan subjek pajak Bumi dan Bangunan dalam rangka pembentukan dan atau pemeliharaan basis data SISMIOP dapat dilakukan oleh Pihak Ketiga yang memenuhi persyaratan teknis yang ditentukan dan ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak. 5. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, bersama ini kami sampaikan bahwa : a. Pada dasarnya masukan yang disampaikan oleh Saudari SA (Penulis) merupakan masukan yang baik dan berguna bagi Direktorat Jenderal Pajak. b. Mengenai saran dari Saudari SA agar surat Menteri Dalam Negeri diperbaiki, kami berpendapat bahwa Departemen Keuangan tidak berwenang melakukan perubahan surat dimaksud. c. Surat Ederan Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-48/PJ.6/1998 tanggal 23 November 1998 menurut hemat kami adalah inisiatif yang baik dalam rangka bekerjasama dengan Departemen Dalam Negeri. Namun demikian, untuk menyikapi masalah yang ada dalam pendataan, seharusnya pihak ketiga yang melakukan pendataan dan penilaian objek pajak dan subjek pajak Bumi dan Bangunan adalah pihak yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pajak. Dengan demikian, diperlukan adanya kerjasama antara Pemda dengan DJP dalam melaksanakan penunjukan pihak ke-3. Selain itu perlu pula diusulkan agar pihak ke-3 yang melaksanakan pendataan mempunyai kewajiban bertanggung jawab kepada DJP. Demikian disampaikan pendapat. Direktur Jenderal Pajak ttd. Darmin Nasution NIP 130605098