DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
31 Juli 1995ÂÂÂ
SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S - 109/PJ.31/1995
TENTANG
GROSS-UP PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN ATAS CHARTER KAPAL SEBELUM TAHUN 1995
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sehubungan dengan surat Deputi Kepala BPKP Bidang Pengawasan Khusus Nomor XXX tanggal
16 Nopember 1993, perihal penegasan perhitungan gross-up PPh atas penyewaan tangker LNG/LPG oleh XYZ,
dan surat Direktur Utama XYZ tanggal 15 Oktober 1992 dan 1 Pebruari 1994 perihal gross-up atas PPh Pasal
23/26, Pasal 25 atas sewa kapal Bonny, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :
1. ketentuan yang berlaku :
1.1. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 982/KMK.04/1983 tanggal 31 Desember
1983 ditetapkan bahwa penghasilan neto dari kegiatan usaha Pelayaran dan Penerbangan
oleh Bentuk Usaha tetap (BUT) dihitung dengan Norma Penghitungan Khusus, yaitu sebesar
5% dari penerimaan brutonya.
1.2. Sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE-34/PJ.22/1984 tanggal 20 Agustus 1984
dijelaskan bahwa charter kapal dari luar negeri senantiasa diperlukan adanya agen di
Indonesia, maka secara nyata perusahaan luar negeri itu mempunyai BUT di Indonesia.
Penghasilan neto yang diterima atau diperoleh baik BUT maupun Wajib Pajak dalam negeri
lainnya adalah sebesar 5% dari penerimaan bruto. Pelunasan Pajak Penghasilan dari
penghasilan atas charter kapal dilakukan melalui pemotongan oleh pihak yang melakukan
pembayaran.
1.3. Berdasarkan surat Kepala Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing (BADORA) Nomor :
87/WPJ.06/KP.0304/1990 tanggal 2 Maret 1990 kepada perusahaan Pelayaran Nasional
selaku agen pelayaran asing, diberikan pedoman penghitungan sekaligus PPh Badan dan PPh
Pasal 26 huruf e bagi BUT perusahaan pelayaran asing yang beroperasi di Indonesia dengan
tarif efektif sebesar 2,4% dari penerimaan bruto.
2. Sesuai dengan temuan pemeriksaan oleh Tim Pemeriksa BPKP-Departemen Keuangan terhadap
KPS-XYZ, adalah :
a. Atas pembayaran sewa kapal kepada perusahaan pelayaran luar negeri (BUT Pelayaran di
Indonesia), XYZ telah memotong PPh Pasal 25 dan memotong PPh Pasal 26 huruf e sebesar
2,46% yaitu dengan cara melakukan gross-up menjadi :
( 100 )
----------- x 2,4% = 2,46%.
100 - 2,4
b. Atas pembayaran charter kapal kepada perusahaan pelayaran nasional (WP dalam negeri
bukan BUT), XYZ telah memotong PPh Pasal 25 sebesar 1,27% yaitu dengan cara melakukan
gross-up menjadi :
( 100 )
------------ x 1,25% = 1,27%.
100 - 1,25
3. Tim Pemeriksa BPKP-Departemen Keuangan berpendapat, karena PPh atas charter kapal Bonny
ditanggung oleh pemberi hasil (XYZ) maka besarnya gross-up atas pemotongan PPh yang harus
dilakukan oleh XYZ adalah :
( 100 )
---------- x 2,4% = 4,62% dari jumlah sewa bruto.
100 - 48
4. Ketentuan tentang penggunaan metode gross-up
a. Selama berlakunya UU Nomor 7 TAHUN 1983 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7
Tahun 1991 perlakuan tarif gross-up belum pernah diatur, kecuali untuk pemotongan PPh
Pasal 26 atas bunga sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tanggal 19 Januari
1989 Nomor : SE-03/PJ.22/1989.
b. Sesuai dengan Pasal 2 huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 47 TAHUN 1994 yang berlaku
mulai 1 Januari 1995 penghitungan dengan cara gross-up hanya diperbolehkan terhadap
pemotongan PPh Pasal 26 ayat (1) tidak termasuk deviden.
5. Sehubungan dengan hal-hal diatas, pemotongan Pajak Penghasilan atas sewa kapal Bonny dan sewa
kapal dalam negeri adalah sebagai berikut :
a. Pemotongan PPh atas sewa kapal Bonny (BUT perusahaan pelayaran asing) sebesar
2,4% dari jumlah sewa bruto pada hakekatnya merupakan pelunasan atas kewajiban :
- PPh Badan BUT sebesar : 35% x 5% = 1,75%
- PPh Pasal 26 huruf e : 20% x (5%-1,75%) = 0,65%
-------
Jumlah PPh yang dipotong = 2,4%
b. Pemotongan PPh yang semestinya sebesar 2,4% di atas tidak dapat dibebankan sebagai
biaya operasi dan penghitungannya tidak dapat dilakukan dengan cara gross-up menjadi
sebesar 4,62% karena tidak sesuai dengan ketentuan seperti dimaksud pada butir 4.a.
Dalam hal kenyataannya PPh yang dipotong adalah sebesar 2,46% dan pajaknya ditanggung
oleh XYZ, maka atas pemotongan PPh sebesar 2,46% tersebut tidak dapat dibebankan
sebagai biaya melainkan dikurangkan dari sisa laba setelah Pajak Penghasilan. Bagi BUT yang
bersangkutan sepanjang tidak ada penghasilan lain, harus melaporkan pada Surat
Pemberitahuan Tahunan PPh-nya bahwa pajak terutang sama besarnya dengan jumlah yang
telah dipotong sebesar 2,46%.
c. Apabila charter kapal dilakukan dengan perusahaan pelayaran nasional yang tidak
menggunakan kapal asing, PPh yang harus dipotong tidak dapat dilakukan gross-up.
PPh yang telah dipotong oleh Pertamina sebesar 1,27% yang seharusnya 1,25%, tidak perlu
diperbaiki karena jumlah pemotongan tersebut merupakan Kredit Pajak bagi Wajib Pajak
dalam negeri yang dapat diperhitungkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh-nya.
6. Untuk pemotongan PPh atas charter kapal, dapat kiranya diingatkan mengenai ketentuan sebagai
berikut :
a. Sesuai dengan ketentuan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut bahwa perusahaan pelayaran
asing yang mengadakan perjanjian charter dengan perusahaan di Indonesia harus menunjuk
agennya di Indonesia, sehingga pelayaran asing tersebut mempunyai BUT di Indonesia dan
telah terdaftar sebagai Wajib Pajak di KPP BADORA Jakarta.
b. Pemotongan PPh atas charter kapal mulai tahun 1995 agar berpedoman pada Keputusan
Menteri Keuangan Nomor : 181/KMK.04/1995 dan SE Direktur Jenderal Pajak tanggal
12 Mei 1995 Nomor : SE-27/PJ.4/1995.
Demikian untuk dimaklumi.
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
FUAD BAWAZIER