UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR **14 TAHUN 1985**
TENTANG MAHKAMAH AGUNG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
Mengingat :
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG- UNDANG NOMOR **14 TAHUN 1985** TENTANG MAHKAMAH AGUNG.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor **14 TAHUN 1985** tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor **5 TAHUN 2004** tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor **14 TAHUN 1985** tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359), diubah sebagai berikut:
Pasal 6A
Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.
Pasal 6B
<HTML><ol start=“2”></HTML> <HTML><li></HTML><HTML><ol></HTML> <HTML><li></HTML>Calon hakim agung berasal dari hakim karier.<HTML></li></HTML> <HTML><li></HTML>Selain calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon hakim agung juga berasal dari nonkarier.<HTML></li></HTML><HTML></ol></HTML> <HTML></li></HTML> <HTML><li></HTML>Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:<HTML></li></HTML><HTML></ol></HTML>
Pasal 7
Untuk dapat diangkat menjadi hakim agung, calon hakim agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6B harus memenuhi syarat:
3. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:.
Pasal 8
4. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 9
atau janji menurut agamanya yang berbunyi sebagai berikut:
“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Agung dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”.
“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Agung dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”.
“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim agung atau Ketua Muda Mahkamah Agung dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”.
“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban hakim agung atau Ketua Muda Mahkamah Agung dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,
memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”.
5. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 11
Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda Mahkamah Agung, dan hakim agung diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya oleh Presiden atas usul Mahkamah Agung karena:
dengan surat keterangan dokter; atau
6. Di antara Pasal 11 dan Pasal 12 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 11A, yang berbunyi sebagai
berikut:
“Pasal 11A
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
bulan;
Agung kepada Presiden.
Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial.
huruf e diajukan oleh Mahkamah Agung.
Komisi Yudisial.
alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), hakim agung mempunyai hak
untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.
(empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya usul pemberhentian.
a. 3 (tiga) orang hakim agung; dan
b. 4 (empat) orang anggota Komisi Yudisial.
belas) hari kerja terhitung sejak tanggal pembentukan Majelis Kehormatan Hakim.
menyampaikan keputusan usul pemberhentian kepada Ketua Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal pemeriksaan selesai.
(10) kepada Presiden paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
keputusan usul pemberhentian dari Majelis Kehormatan Hakim.
ditetapkan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya usul
pemberhentian dari Ketua Mahkamah Agung.
Majelis Kehormatan Hakim diatur bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.”
7. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 12
hormat dari jabatannya sebagai Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda Mahkamah Agung karena
alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c, tidak dengan sendirinya berhenti dari
jabatan sebagai hakim agung.
Pasal 11A menduduki jabatan sebagai Ketua, Wakil Ketua, atau Ketua Muda Mahkamah Agung,
dengan sendirinya berhenti dari jabatan sebagai Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda Mahkamah
Agung.”
8. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 13
Hakim agung sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A dan Pasal 12 ayat (2) dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Presiden atas usul Mahkamah Agung.”
9. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 20
atau sebagai ketua atau wakil ketua pengadilan tingkat banding.
syarat:
dan
memenuhi syarat:
dan
pertama.”
10. Pasal 31 ayat (5) di hapus.
11. Ketentuan Pasal 31A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 31A
undang-undang diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung dan
dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undangundang,
yaitu:
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undangundang;
atau
bahwa:
undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi; dan/atau
berlaku; dan
paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan.
syarat, amar putusan menyatakan permohonan tidak diterima.
menyatakan permohonan dikabulkan.
menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan perundangundangan
di bawah undang-undang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
harus dimuat dalam Berita Negara atau Berita Daerah paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal putusan diucapkan.
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau tidak bertentangan dalam
pembentukannya, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung.”
12. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 32
semua badan peradilan yang berada di bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan
kehakiman.
pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan.
dengan teknis peradilan dari semua badan peradilan yang berada di bawahnya.
semua badan peradilan yang berada di bawahnya.
(4) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.”
13. Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 32A dan Pasal 32B, yang berbunyi
sebagai berikut:
“Pasal 32A
pedoman perilaku hakim.
Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
Pasal 32B
Mahkamah Agung harus memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai:
a. putusan Mahkamah Agung; dan/atau
b. biaya dalam proses pengadilan.”
14. Pasal 38 dihapus.
15. Ketentuan Pasal 80C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 80C
Jabatan kepaniteraan Mahkamah Agung harus disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.”
16. Di antara ketentuan Pasal 80C dan Pasal 81 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 80D yang berbunyi
sebagai berikut:
“Pasal 80D
Sebelum kode etik dan pedoman perilaku hakim dibentuk berdasarkan Undang-Undang ini, kode etik dan pedoman perilaku hakim yang sudah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.”
17. Ketentuan Pasal 81A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 81A
pendapatan dan belanja negara.
dan biaya proses penyelesaian perkara perdata, baik di lingkungan peradilan umum, peradilan
agama, maupun penyelesaian perkara tata usaha negara.
ayat (2), biaya kepaniteraan dan biaya proses penyelesaian perkara dibebankan kepada pihak atau
para pihak yang berperkara.
pajak yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(1), ayat (4), dan ayat (5) diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.”
18. Di antara Pasal 81A dan Pasal 82 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 81B dan Pasal 81C yang berbunyi
sebagai berikut:
“Pasal 81B
Kode etik dan pedoman perilaku hakim harus sudah ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan sejak Undang - Undang ini diundangkan.
Pasal 81C
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan sejak
Undang-Undang ini diundangkan.”
Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 12 Januari 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 12 Januari 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 3
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR **14 TAHUN 1985** TENTANG MAHKAMAH AGUNG
I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 24 menegaskan bahwa
kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
yang membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara.
Undang-Undang ini adalah Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor **14 TAHUN 1985** sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor **5 TAHUN 2004**. Perubahan dilakukan karena Undang-
Undang Nomor **14 TAHUN 1985** sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor **5 TAHUN 2004**,
khususnya yang menyangkut pengawasan, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan
hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang berada di
bawahnya. Oleh karena itu, Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap badan
peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
dan lingkungan peradilan tata usaha negara. Akan tetapi, Mahkamah Agung bukan satu-satunya lembaga
yang melakukan pengawasan karena ada pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial.
Berdasarkan Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Komisi Yudisial
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Oleh karena itu,
diperlukan kejelasan tentang pengawasan yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung dan
pengawasan yang menjadi kewenangan Komisi Yudisial. Pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah
Agung meliputi pelaksanaan tugas yudisial, administrasi, dan keuangan, sedangkan pengawasan yang
menjadi kewenangan Komisi Yudisial adalah pengawasan atas perilaku hakim, termasuk hakim agung.
Dalam rangka pengawasan diperlukan adanya kerja sama yang harmonis antara Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 6A
Cukup jelas.
Pasal 6B
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “calon hakim agung yang berasal dari hakim karier” adalah calon hakim agung
yang berstatus aktif sebagai hakim pada badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang
dicalonkan oleh Mahkamah Agung.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “calon hakim agung yang juga berasal dari nonkarier” adalah calon hakim agung
yang berasal dari luar lingkungan badan peradilan.
Angka 2
Pasal 7
Huruf a
angka 1
Cukup jelas.
angka 2
Cukup jelas.
angka 3
Yang dimaksud dengan “magister di bidang hukum” adalah gelar akademis pada tingkat strata 2
dalam bidang ilmu hukum, termasuk magister ilmu syari’ah atau magister ilmu kepolisian.
angka 4
Cukup jelas.
angka 5
Cukup jelas.
angka 6
Cukup jelas.
angka 7
Cukup jelas.
Huruf b
angka 1
Cukup jelas.
angka 2
Yang dimaksud dengan “profesi hukum” adalah bidang pekerjaan seseorang yang dilandasi
pendidikan keahlian di bidang hukum atau perundang-undangan, antara lain, advokat, penasihat
hukum, notaris, penegak hukum, akademisi dalam bidang hukum, dan pegawai yang berkecimpung
di bidang hukum atau peraturan perundang-undangan.
angka 3
Cukup jelas.
angka 4
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 8
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 9
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 11
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 11A
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan tercela” adalah apabila hakim agung yang
bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan tindakannya baik di dalam maupun di luar pengadilan
merendahkan martabat hakim agung.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Pembentukan Majelis Kehormatan Hakim yang dimaksud dalam ketentuan ini bersifat ad hoc (kasus per
kasus).
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Ayat (12)
Cukup jelas.
Ayat (13)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 12
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 13
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 20
Cukup jelas.
Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 31A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perorangan” adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 32
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 32A
Ayat (1)
Pengawasan internal atas tingkah laku hakim agung masih diperlukan meskipun sudah ada pengawasan
eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Hal ini dimaksudkan agar pengawasan lebih komprehensif
sehingga diharapkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim betul-betul dapat terjaga.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 32B
Akses kepada masyarakat dimaksudkan untuk mendapatkan putusan Mahkamah Agung diberikan melalui
Sistem Informasi Mahkamah Agung Republik Indonesia (SIMARI).
Angka 14
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 80C
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 80D
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 81A
Ayat (1)
Berdasarkan ketentuan ini Mahkamah Agung menyusun kegiatan dan anggaran tahunan, termasuk
anggaran untuk penyelenggaraan tugas kepaniteraan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 81B
Cukup jelas.
Pasal 81C
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4958