DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 27 Maret 1997 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 39/PJ.313/1997 TENTANG PENEGASAN MENGENAI PENYUSUTAN AKTIVA TETAP BANGUNAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan surat Saudara tanggal 14 Pebruari 1997 perihal tersebut di atas dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut : 1. Dalam surat Saudara dijelaskan bahwa PT XYZ membangun gedung termasuk semua peralatan dan perlengkapan untuk dipergunakan oleh PT ABC yang bergerak dalam bidang industri pharmasi. Bangunan tersebut dicatat sebagai aktiva tetap bangunan pada PT XYZ, sedangkan IMB (Ijin Mendirikan Bangunan) atas nama PT ABC. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Saudara menanyakan hal-hal sebagai berikut : - apakah PT XYZ diperkenankan melakukan penyusutan atas bangunan tersebut. Dalam hal ini PT ABC tidak membayar sewa atas penggunaan bangunan dan nantinya bangunan tersebut akan dibeli oleh PT ABC ?; - apakah PT XYZ diperkenankan melakukan penyusutan atas bangunan tersebut jika dipungut sewa atas penggunaan bangunan tersebut ? 2. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994 disebutkan bahwa penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut. Dalam penjelasannya antara lain disebutkan bahwa pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan cara mengalokasian pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta tersebut melalui penyusutan. 3. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 jo. Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 29 TAHUN 1996 antara lain disebutkan bahwa atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dari persewaan tanah dan/atau bangunan, wajib dibayar Pajak Penghasilan sebesar 6% (enam persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan dan bersifat final. 4. Ketentuan Pasal 2 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 47 TAHUN 1994 antara lain mengatur bahwa untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri tidak boleh dikurangkan penghasilan bruto berupa biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final. 5. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa yang dapat melakukan penyusutan terhadap bangunan adalah pihak yang memiliki dan mempergunakan bangunan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun. Oleh karena PT XYZ hanya memiliki dan tidak memanfaatkan gedung untuk mendapatkan, memperoleh dan memelihara penghasilan, maka atas aktiva yang dimiliki berupa gedung tersebut tidak dapat disusutkan. Apabila antara PT XYZ dengan PT ABC terdapat hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dan (4) Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 TAHUN 1994, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak baik bagi PT XYZ maupun PT ABC, sebagai pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Demikian pula dalam hal PT XYZ memungut sewa atas bangunan tersebut, oleh karena atas penghasilan dari persewaan itu dipotong PPh yang bersifat final, maka atas aktiva berupa gedung yang dimiliki oleh PT XYZ tersebut juga tidak dapat disusutkan. Demikian untuk dimaklumi. DIREKTUR ttd Drs. DJONIFAR AF, MA