DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
20 Juni 1995
SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S - 1069/PJ.51/1995
TENTANG
MASALAH KOPRA SEBAGAI BARANG KENA PAJAK DAN MASALAH TANGGUNGJAWAB RENTENG
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 11 Mei 1995 perihal tersebut di atas, dengan ini
diberikan penjelasan sebagai berikut :
1. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 huruf b dan huruf c Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 TAHUN 1994, Barang Kena Pajak adalah
barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak
bergerak maupun barang tidak berwujud, yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini.
Dalam memori penjelasan disebutkan bahwa pada dasarnya semua barang dikenakan pajak, kecuali
yang ditentukan lain oleh undang-undang ini.
2. Sesuai dengan ketentuan Pasal 4A Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 11 TAHUN 1994 jis Pasal 3 angka 1 dan Pasal 4 angka 2 huruf a
Peraturan Pemerintah Nomor 50 TAHUN 1994, termasuk dalam pengertian jenis barang yang tidak
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah barang hasil perkebunan yang dipetik langsung dari
sumbernya antara lain hasil tanaman perkebunan yang berupa buah seperti kelapa, kelapa sawit,
kopi, kakao, lada, pala, panili, kapuk, dan sejenisnya.
3. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, karena kopra meskipun berasal dari buah kelapa namun
sudah melalui proses pengeringan, jadi tidak termasuk dalam kategori "dipetik langsung dari
sumbernya", maka kopra tidak termasuk dalam jenis barang yang tidak dikenakan PPN, sehingga
kopra merupakan Barang Kena Pajak.
4. Mengenai masalah tanggungjawab renteng :
4.1. Berdasarkan ketentuan Pasal 33 Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 9 TAHUN 1994, pembeli atau penerima jasa
bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak sepanjang tidak dapat
menunjukkan bukti pembayaran pajak. Dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa
tanggung jawab renteng dimaksud sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk
PPN dan PPn BM yaitu pada pembeli/konsumen barang atau penerima jasa.
Dalam Pasal 1 huruf t Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 11 TAHUN 1994 ditetapkan bahwa Faktur Pajak adalah bukti pungutan
pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak karena penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa
Kena Pajak atau oleh Ditjen Bea dan Cukai karena impor Barang Kena Pajak.
4.2. Berdasarkan ketentuan di atas, apabila pembeli kopra tidak dapat menunjukkan Faktur Pajak
yang asli dan sah dari pihak penjual, maka kepada pembeli dapat diminta
mempertanggungjawabkan pembayaran PPN yang terutang.
4.3. Sehubungan dengan pembelian dari Pengusaha Kecil PPN, perlu diperhatikan bahwa
sebagaimana telah ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-05/PJ.5/1995 tanggal 15 Februari 1995, dalam hal Pengusaha Kecil tersebut memilih
dikukuhkan sebagai PKP, maka atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak terutang PPN. Oleh karena itu, atas pembelian kopra dari Pengusaha Kecil dimaksud,
pihak pembeli juga bertanggung jawab renteng atas pembayaran PPN yang terutang
berdasarkan ketentuan Pasal 33 Undang-undang Nomor 6 TAHUN 1983 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 9 TAHUN 1994. Dengan demikian pihak pembeli juga
harus mengetahui apakah atas penyerahan kopra oleh Pengusaha Kecil yang bersangkutan
terutang PPN atau tidak.
Demikian untuk dimaklumi.
A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK
DIREKTUR PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
DAN PAJAK TIDAK LANGSUNG LAINNYA
ttd
SAROYO ATMOSUDARMO