DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 25 Juli 2006 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 613/PJ.312/2006 TENTANG PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS KEGIATAN JASA KONSTRUKSI MELALUI HIBAH YANG DILAKUKAN BRITISH RED CROSS DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan surat Saudari Nomor XXXXX tanggal 17 Februari 2006 perihal Rekomendasi Pembebasan PPh atas kegiatan jasa konstruksi melalui hibah, dengan ini disampaikan beberapa hal sebagai berikut : 1. Dalam surat tersebut disampaikan beberapa hal sebagai berikut : a. British Red Cross akan membangun perumahan bagi masyarakat Pulau Aceh, Calang, maupun Tounom, di NAD; b. Badan Pelaksana BRR NAD - Nias merekomendasikan agar British Red Cross diberikan pembebasan PPh atas kegiatan jasa konstruksi melalui hibah dari Pemerintah Kerajaan Belanda. 2. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Amandemen Keempat Tahun 2002, antara lain diatur sebagai berikut : a. Pasal 11 ayat (2), Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yaitu; terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang- undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. b. Pasal 23A, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. 3. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 TAHUN 2000 antara lain diatur sebagai berikut : a. Pasal 1, Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. b. Pasal 2 ayat (1) huruf b dan huruf c, yang menjadi Subjek Pajak adalah badan dan bentuk usaha tetap. c. Pasal 3 huruf c, tidak termasuk Subjek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat : 1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; 2) tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota. d. Pasal 4 : 1) Ayat (1) huruf c, yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk laba usaha. 2) Ayat (3) huruf a, yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah : 1) bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak; 2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. e. Pasal 21 ayat (1) huruf a dan huruf d, pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib dilakukan oleh pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai dan badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas. f. Pasal 22 ayat (1), Menteri Keuangan dapat menetapkan bendaharawan pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha bidang lain. g. Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2), atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. h. Pasal 26 ayat (1) huruf d, atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan. 4. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, antara lain diatur sebagai berikut : a. Pasal 10, pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan : 1) Huruf a, masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; 2) Huruf b, perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; 3) Huruf c, kedaulatan atau hak berdaulat negara; 4) Huruf d, hak asasi manusia dan lingkungan hidup; 5) Huruf e, pembentukan kaidah hukum baru; 6) Huruf f, pinjaman dan/atau hibah luar negeri. b. Pasal 11 : 1) Ayat (1), pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden. 2) Ayat (2), Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusan presiden yang mengesahkan suatu perjanjian internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dievaluasi. 5. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 48 TAHUN 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah an/atau Bangunan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 TAHUN 1999 antara lain diatur sebagai berikut : a. Pasal 1 ayat (2), pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : 1) Huruf a, penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah; 2) Huruf b, penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus. b. Pasal 4 : 1) Ayat (1), besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) adalah 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. 2) Ayat (2) huruf a, nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 TAHUN 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 TAHUN 1994, kecuali dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah adalah nilai berdasarkan keputusan pejabat yang bersangkutan. 3) Ayat (3), Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan tahun yang bersangkutan, atau dalam hal Surat Pemberitahuan Pajak Terutang dimaksud belum terbit, adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang tahun pajak sebelumnya. c. Pasal 5, dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) adalah : 1) Huruf a, orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf a dan huruf b yang jumlah brutonya kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta Rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah; 2) Huruf c, orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan sehubungan dengan hibah yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan kepada badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. 6. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 42 TAHUN 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2001, diatur bahwa Pajak Penghasilan yang terhutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh kontraktor, konsultan, dan pemasok (supplier) utama dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek-proyek Pemerintah yang dibiayai dengan dana hibah dan atau dana pinjaman luar negeri, ditanggung oleh Pemerintah. 7. Sesuai dengan ketentuan Pasal 7 Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2005 tentang Peran Serta Lembaga/Perorangan Asing dalam Rangka Hibah untuk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, antara lain diatur sebagai berikut : a. Ayat (1) huruf c, dalam pelaksanaan programnya, Lembaga/Perorangan Asing dapat memperoleh kemudahan fasilitas kepabeanan, cukai, dan perpajakan. b. Ayat (2), pemberian kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 8. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 574/KMK.04/2000 tentang Organisasi-Organisasi Internasional dan Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional yang Tidak Termasuk sebagai Subjek Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 601/KMK.03/2005, British Red Cross tidak tercantum dalam Lampiran Keputusan Menteri Keuangan tersebut sebagai organisasi internasional yang bukan Subjek Pajak Penghasilan. 9. Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf b angka 3) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 tentang Penunjukkan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat, dan Besarnya Pungutan serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 236/KMK.03/2003, diatur bahwa dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, atau kebudayaan. 10. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 609/KMK.03/2004 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Bantuan Kemanusiaan Bencana Alam di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, diatur bahwa sumbangan yang diberikan oleh Wajib Pajak dalam rangka bantuan kemanusiaan bencana alam di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara yang terjadi pada bulan Desember 2004 dapat dibiayakan. 11. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.03/2005 tentang Persyaratan Sumbangan serta Tata Cara Pendaftaran dan Pelaporan oleh Penampung, Penyalur, dan/atau Pengelola Sumbangan dalam Rangka Bantuan Kemanusiaan Bencana Alam di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, antara lain diatur sebagai berikut : a. Pasal 1 ayat (1), sumbangan yang diberikan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 609/PMK.03/2004 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Bantuan Kemanusiaan Bencana alam di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, dapat dibiayakan melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan. b. Pasal 2 ayat (1), sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1 ) harus ditampung, disalurkan, dan/atau dikelola oleh instansi pemerintah antara lain Kantor Wakil Presiden, Kantor Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Departemen Sosial, Departemen Kesehatan, dan Departemen Keuangan, serta pihak-pihak lain yang dapat dipertanggungjawabkan keberadaannya, termasuk Palang Merah Indonesia, media massa cetak dan elektronik, dan organisasi sosial dan/atau keagamaan. c. Pasal 3 : 1) Ayat (1), instansi pemerintah atau pihak-pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus mendaftarkan diri sebagai penampung, penyalur, dan/atau pengelola sumbangan kepada Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak. 2) Ayat (3), pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima paling lambat tanggal 31 Maret 2005. 12. Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 170/PJ./2002 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 17 TAHUN 2000 antara lain diatur sebagai berikut : a. Pasal 1 : 1) Ayat (1), dalam Keputusan ini, yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto khusus untuk jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian jasa dan pengadaan material/barangnya. 2) Ayat (2), yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan jasa catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak. b. Pasal 2 huruf b, penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, dan imbalan jasa yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto adalah imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.i ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21. c. Pasal 4, jenis jasa lain dan Perkiraan Penghasilan Neto atas jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 17 TAHUN 2000 adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini. Dalam Lampiran II Keputusan Direktur Jenderal Pajak tersebut, antara lain diatur sebagai berikut : 1) Butir 1 huruf b, jasa konsultan, kecuali konsultan konstruksi, perkiraan penghasilan neto-nya sebesar 50% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. 2) Butir 2 huruf a, jasa teknik dan jasa manajemen, perkiraan penghasilan neto-nya sebesar 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. 3) Butir 3, jasa pelaksanaan konstruksi, termasuk jasa perawatan/pemeliharaan/ perbaikan bangunan, jasa instalasi pemasangan mesin, listrik/telepon/air/gas/AC/TV kabel, sepanjang jasa tersebut dilakukan Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi, perkiraan penghasilan neto-nya sebesar 13 1/3% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. 4) Butir 4 huruf a dan huruf b, jasa perencanaan konstruksi clan jasa pengawasan konstruksi, perkiraan penghasilan neto-nya sebesar 26 2/3% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. 13. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dengan ini disampaikan beberapa hal sebagai berikut : a. Berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Amandemen Keempat Tahun 2002, Presiden dalam membuat perjanjian internasional (seperti agreement, charter) yang terkait dengan beban keuangan negara harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan sepanjang mengenai pajak harus diatur dengan dan mengikuti/tunduk pada ketentuan undang-undang perpajakan; b. Sesuai dengan ketentuan Pasal 32A dan Pasal 33A ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur status lex spesialis hanya bagi Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) clan Kontrak Bagi Hasil/Kontrak Karya. Dengan demikian, agreement, charter, dan perjanjian lain bukan merupakan lex spesialis dari Undang-Undang Pajak Penghasilan dan berlaku ketentuan umum Undang-Undang Pajak Penghasilan; c. Sepanjang perjanjian internasional (agreement, charter, dan perjanjian lainnya) yang dibentuk/ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda diratifikasi/ disahkan tidak dengan undang-undang, melainkan hanya dengan keputusan/peraturan Presiden, maka kekuatan hukum perjanjian internasional tersebut berada di bawah undang- undang dan tunduk pada undang-undang. DPR hanya mengevaluasi keputusan/peraturan Presiden tentang pengesahan perjanjian internasional dimaksud. Dengan demikian, perjanjian internasional tersebut tunduk pada ketentuan undang-undang perpajakan; d. Memperhatikan penegasan dalam huruf a hingga huruf c di atas dan sejalan dengan ketentuan Pasal 7 Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2005, pemberian kemudahan/fasilitas kepabeanan, cukai, dan perpajakan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; e. Mengingat British Red Cross tidak semata-mata memberikan pinjaman kepada Pemerintah Indonesia yang masuk ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/D) atau tidak memenuhi ketentuan Pasal 3 huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan dan British Red Cross tidak tercantum dalam Lampiran Keputusan Menteri Keuangan Nomor 574/KMK.04/2000 tentang Organisasi-Organisasi Internasional dan Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional yang Tidak Termasuk sebagai Subjek Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 601/KMK.03/2005, maka British Red Cross tidak termasuk sebagai organisasi internasional yang bukan Subjek Pajak Penghasilan. Dengan demikian, British Red Cross merupakan Subjek Pajak Penghasilan yang wajib memenuhi seluruh kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; f. Sepanjang pembangunan perumahan bagi masyarakat Pulau Aceh, Calang, maupun Teunom, di NAD merupakan pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek-proyek Pemerintah yang dibiayai dengan dana hibah dan atau dana pinjaman luar negeri, maka Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh kontraktor, konsultan, dan pemasok (supplier) "utama" dari pelaksanaan pembangunan tersebut, ditanggung oleh Pemerintah. Dalam hal pembangunan perumahan bagi masyarakat Pulau Aceh, Calang, maupun Teunom, di NAD bukan merupakan pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek-proyek Pemerintah yang dibiayai dengan dana hibah dan atau dana pinjaman luar negeri, maka Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh kontraktor (termasuk British Red Cross), konsultan, dan pemasok (supplier) wajib dibayar dan tidak ditanggung oleh Pemerintah; g. Mengingat pemberi hibah adalah Pemerintah Kerajaan Belanda dan pihak yang ditunjuk/ bertanggung jawab untuk melaksanakan pembangunan dengan dana hibah tersebut adalah British Red Cross, maka sepanjang terdapat laba usaha yang diterima atau diperoleh British Red Cross dari pelaksanaan pembangunan tersebut, terutang Pajak Penghasilan Badan oleh British Red Cross dan wajib dilaporkan British Red Cross dalam SPT PPh WP Badan British Red Cross; h. Dalam hal terjadi pengalihan hak atas tanah untuk pembangunan perumahan bagi masyarakat Pulau Aceh, Calang, maupun Teunom, di NAD kepada British Red Cross dari orang pribadi dengan jumlah bruto nilai tanah kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah, maka pengalihan hak atas tanah tersebut dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; i. Atas penghasilan sehubungan dengan pembangunan perumahan bagi masyarakat Pulau Aceh, Calang, maupun Teunom, di NAD yang diterima atau diperoleh sub-kontraktor (Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap) dari British Red Cross wajib dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 oleh British Red Cross, selaku pihak yang wajib membayarkan penghasilan tersebut, sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto sebagai berikut : 1) sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN atas imbalan sehubungan dengan jasa konsultan, kecuali konsultan konstruksi; 2) sebesar 40% (empat puluh person) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN atas imbalan sehubungan dengan jasa teknik dan jasa manajemen; 3) sebesar 13 1/3% (tiga belas satu per tiga persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN atas imbalan sehubungan dengan jasa pelaksanaan konstruksi, termasuk jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan, jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik/telepon/air/gas/AC/TV kabel, sepanjang jasa tersebut dilakukan Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi; 4) sebesar 26 2/3% (dua puluh enam dua per tiga persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN atas imbalan sehubungan dengan jasa perencanaan konstruksi dan/ atau jasa pengawasan konstruksi; j. Atas imbalan penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh oleh : 1) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, termasuk pegawai, bukan pegawai, dan/atau tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, wajib dipotong, disetor, dan dilaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh British Red Cross; 2) Wajib Pajak Orang Pribadi yang berasal dari Negara yang memiliki P3B yang bekerja sebagai pegawai di Indonesia apabila berada di Indonesia lebih dari time test yang ditentukan dalam P3B dimaksud, atau gajinya dibayar oleh perusahaan Indonesia atau gajinya dibebankan oleh suatu Bentuk Usaha Tetap (BUT) dari British Red Cross, maka British Red Cross harus memotong PPh Pasal 21 jika pegawai yang bersangkutan berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam 12 bulan atau Pasal 26 jika berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam 12 bulan; 3) Wajib Pajak Badan luar negeri yang merupakan penduduk dari negara yang memiliki P3B dengan Indonesia apabila pelaksanaan pekerjaan tersebut lebih dari time test untuk BUT maka wajib dipotong, disetor, dan dilaporkan PPh Pasal 23 dari jumlah bruto oleh British Red Cross. Dalam hal keberadaan badan tersebut di Indonesia tidak lebih dari time test untuk BUT maka British Red Cross tidak perlu memotong pajak karena hak pemajakan ada pada negara domisili; 4) Wajib Pajak Badan luar negeri dari Negara yang tidak memiliki P3B dengan Indonesia, selain BUT di Indonesia maka wajib dipotong, disetor, dan dilaporkan PPh Pasal 26 dari jumlah bruto oleh British Red Cross. 14. Atas permohonan pembebasan Pajak Penghasilan dari kegiatan jasa konstruksi melalui hibah dari Pemerintah Kerajaan Belanda sebagaimana direkomendasikan oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi, sepanjang British Red Cross tidak menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan Objek Pajak Penghasilan, maka tidak ada kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan Badan di Indonesia, namun demikian kewajiban selaku Pemotong/Pemungut tetap harus dilakukan oleh British Red Cross. Demikian kami sampaikan. Direktur Jenderal, ttd. Darmin Nasution NIP 130605098