DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 27 April 2004 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 313/PJ.313/2004 TENTANG PERMINTAAN PENJELASAN MENGENAI PPh DAN PPN DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan surat Saudara Nomor XXX tanggal 8 Januari 2004 perihal tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut: 1. Dalam surat tersebut pada intinya Saudara mengemukakan permasalahan bahwa: a. Bank Indonesia telah melakukan kerja sama dengan perusahaan swasta untuk melakukan peleburan uang logam (apkir). Dalam rangka kerja sama dengan perusahaan swasta tersebut telah disepakati antara lain: 1). Perusahaan tersebut akan melakukan peleburan uang logam milik Bank Indonesia dan atas jasa dimaksud Bank Indonesia membayar upah sebesar Rp. X/kg; 2). Hasil peleburan uang logam dimaksud dijual oleh Bank Indonesia kepada perusahaan tersebut sebesar Rp y/kg. b. Saudara mohon penegasan atas hal-hal sebagai berikut: 1). Apakah upah jasa peleburan uang logam tidak termasuk sebagai objek pemotongan PPh Pasal 23 sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 170/PJ./2002; 2). Apakah hasil penjualan peleburan uang logam yang diterima Bank Indonesia tidak dipungut PPh Pasal 22 mengingat perusahaan yang bersangkutan bukan merupakan badan-badan yang ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 sebagaimana ketentuan Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 236/KMK.03/2003; 3). Apakah hasil penjualan uang logam yang diterima Bank Indonesia tersebut juga tidak dipungut PPN mengingat sampai saat ini Bank Indonesia adalah bukan Pengusaha Kena Pajak. Pajak Penghasilan 2. Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- undang Nomor 17 TAHUN 2000 (UU PPh), diatur antara lain bahwa: a. Pasal 22 ayat (1): Menteri Keuangan dapat menetapkan bendaharawan pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badan- badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain; b. Pasal 23 ayat (1) huruf c: atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto. 3. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 tentang Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan Serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 236/KMK.03/2003 diatur antara lain: a. Pasal 1 angka 4: Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UU PPh adalah antara lain Bank Indonesia (BI), Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, Pertamina, dan Bank- bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun non-APBN; b. Pasal 2 ayat (1) huruf b: atas pembelian barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 2, 3 dan 4 dipungut PPh Pasal 22 sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian. 4. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 170/PJ./2002 tentang Jenis Jasa lain dan Perkiraan Penghasilan Neto Sebagaimana dimaksud Dalam Pasal 23 ayat (1) Huruf c Undang-undang PPh, dalam daftar Lampiran I dan lampiran II tidak tercantum jenis jasa lain berupa jasa peleburan uang logam, kecuali apabila jasa tersebut pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (lampiran II angka 5 huruf c) maka dalam hal ini dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 dan besarnya perkiraan penghasilan neto yang menjadi dasar pemotongan pajak adalah sebesar 10% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. Pajak Pertambahan Nilai 5. Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 TAHUN 2000, antara lain diatur bahwa: a. Pasal 1 angka 14: Pengusaha adalah orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam angka 13 yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean; b. Pasal 1 angka 15: Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha sebagaimana dimaksud dalam angka 14 yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. c. Pasal 3A ayat (1): Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, huruf c, atau huruf f, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) yang terutang; d. Pasal 4 huruf a: PPN dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. 6. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 552/KMK.04/2000 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai, antara lain diatur bahwa: a. Pasal 1: yang dimaksud dengan Pengusaha Kecil adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan: - Barang Kena Pajak dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp 360.000.000,- (tiga ratus enam puluh juta rupiah); - Jasa Kena Pajak dengan jumlah penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 180.000.000,- - Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak, dengan jumlah peredaran bruto dan penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 360.000.000 (tiga ratus enam puluh juta rupiah) jika peredaran Barang Kena Pajak lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh peredaran bruto; - Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak, dengan jumlah peredaran bruto dan penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 180.000.000 (seratus delapan puluh juta rupiah) jika peredaran Jasa Kena Pajak lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh peredaran bruto. b. Pasal 2: Atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kecil tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai; c. Pasal 3: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan Pasal 2 tidak berlaku apabila Pengusaha Kecil memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; d. Pasal 4 ayat (1): Pengusaha Kecil wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku, jumlah peredaran brutonya melebihi batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1; e. Pasal 4 ayat (2): Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak paling lambat pada akhir bulan berikutnya. 7. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 552/KMK.04/2000 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 571/KMK.03/2003, antara lain diatur bahwa: a. Pasal I: Pengusaha Kecil adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp. 600.000.000 (enam ratus juta rupiah); b. Pasal II: Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2004. 8. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003 tentang Penunjukan Bendaharawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Beserta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan diatur bahwa: a. Pasal 2 ayat (1): Bendaharawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara ditetapkan sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai; b. Pasal 10 ayat (1): Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 547/KMK.04/2000 tentang Penunjukan Bendaharawan Pemerintah, Badan-badan Tertentu, Instansi Pemerintah Tertentu untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang dilakukan sampai dengan tanggal 31 Desember 2003, tetap dipungut oleh Badan-badan Tertentu sepanjang Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak tersebut diterbitkan sebelum tanggal 31 Januari 2004; c. Pasal 10 ayat (2): Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disetorkan oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lambat tanggal 31 Januari 2004. 9. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini kami tegaskan: Pajak Penghasilan a. Jasa peleburan uang logam milik Bank Indonesia tidak termasuk jenis jasa yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 23, sepanjang sumber dananya bukan dari APBN; b. Atas penjualan hasil peleburan uang logam tersebut pada huruf a tidak dikenakan pemungutan PPh Pasal 22, karena Bank Indonesia berada pada posisi sebagai penjual, dan sepanjang perusahaan swasta yang membeli tidak termasuk badan-badan yang ditunjuk untuk melakukan pemungutan PPh Pasal 22. Pajak Pertambahan Nilai c. Atas penyerahan jasa peleburan uang logam kepada Bank Indonesia oleh perusahaan swasta dikenakan Pajak Pertambahan Nilai; d. Atas Penyerahan jasa peleburan uang logam yang dilakukan perusahaan swasta yang terjadi sebelum 1 Januari 2004, PPN yang terutang dipungut oleh BI selaku Pemungut PPN. Namun, dalam hal transaksi tersebut dilakukan setelah tanggal 1 Januari 2004, maka PPN yang terutang dipungut oleh perusahaan swasta yang bersangkutan, mengingat berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003 ditetapkan bahwa Bank Indonesia bukan merupakan Pemungut PPN lagi sejak 1 Januari 2004; e. Atas penyerahan hasil peleburan uang logam tersebut oleh Bank Indonesia kepada perusahaan swasta dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena itu, Bank Indonesia wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dengan memperhatikan batasan Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud dalam butir 6 dan butir 7. Demikian penegasan kami harap maklum. A.n DIREKTUR JENDERAL DIREKTUR, ttd SURJOTAMTOMO SOEDIRDJO