DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 31 Agustus 1995 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 1738/PJ.53/1995 TENTANG PPN ATAS JASA DRILLING DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan surat Saudara Nomor --- tanggal 11 Juli 1995 perihal tersebut pada pokok surat, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut : 1. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 huruf l UU PPN 1984 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 11 TAHUN 1994, Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP. 2. Dalam penjelasan Pasal 13 ayat (5) UU Nomor 8 TAHUN 1983 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 11 TAHUN 1994, disebutkan bahwa Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Pengisian Faktur Pajak yang tidak sesuai ketentuan dapat mengakibatkan PPN yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan. 3. Perlakuan PPN jika dua badan usaha atau lebih bergabung membentuk Joint Operation (JO) adalah sebagai berikut : a. Apabila JO atas namanya sendiri melakukan transaksi dengan pihak lain, maka JO merupakan badan yang berdiri sendiri dan merupakan subyek PPN (PKP) yang wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP, menyetor, dan melaporkan PPN terutang. b. Sebaliknya apabila transaksi tersebut dilakukan oleh masing-masing anggota JO yang terpisah sama sekali satu dengan lainnya dan setiap anggota bebas berbuat dan bertanggungjawab, maka masing-masing anggota JO wajib dikukuhkan menjadi PKP sedangkan JO bukan PKP. 4. Berdasarkan ketentuan tersebut pada butir 1 s.d. 3 di atas dan keadaan yang Saudara gambarkan dalam perjanjian antara PT. XYZ dengan ABC. (ABC), ternyata bahwa pihak kedua/kontraktor (PT. XYZ) sama sekali tidak mempunyai sarana untuk melaksanakan kegiatan drilling, sehingga secara tehnis seluruh kegiatan drilling dilaksanakan oleh sub kontraktor (ABC). Hal ini terjadi karena adanya ketentuan yang mengharuskan PQR/STU untuk mengikat kontrak hanya dengan Badan Usaha Dalam Negeri (PT. XYZ). Oleh karena antara PT. XYZ dengan ABC tidak ada penyerahan Jasa Kena Pajak, maka pada saat kontraktor (PT. XYZ) mengajukan tagihan kepada PQR, atas pekerjaan yang diselesaikan oleh ABC, pada Faktur Pajak dan SSP-nya supaya dicantumkan identitas (nama, alamat dan NPWP) PT. XYZ sebagai kontraktor qq. identias (nama, alamat dan NPWP) ABC untuk bagian ABC, sedangkan terhadap bagian PT. XYZ, pada Faktur Pajak dan SSP-nya hanya dicantumkan identitas (nama, alamat dan NPWP) PT. XYZ sehingga dengan demikian : 4.1. ABC dapat mengklaim Pajak Keluaran yang dipungut PQR sebagai Pajak Keluaran yang dibayarnya. 4.2. PT. XYZ tidak berhak mengklaim Pajak Keluaran sebagaimana disebut pada angka 4.1. sebagai Pajak Keluarannya, dan dengan demikian tidak mempunyai Pajak Masukan dari ABC. 4.3. Dalam hal PT. XYZ membebankan semacam jasa/penggantian (fee) kepada ABC, maka PT. XYZ wajib memungut PPN atas jasa tersebut. Demikian agar Saudara maklum. DIREKTUR JENDERAL PAJAK ttd FUAD BAWAZIER