{{/tkb/admin/user_images/images/logo%20djp.jpg?86x85}} KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA\\ DIREKTORAT JENDERAL PAJAK\\ \\ JALAN JENDERAL GATOT SUBROTO 40-42 JAKARTA 12190, KOTAK POS 124\\ TELEPON (021) 5250208, 5251609, 5262880; FAKSIMILE (021) 5732062; HOME PAGE http:%%//%%www.pajak.go.id\\ LAYANAN INFORMASI DAN KELUHAN KRING PAJAK (021) 1500200;\\ EMAIL pengaduan@pajak.go.id ---- Nomor : S-393/PJ.02/2016 26 April 2016 Sifat : Sangat Segera   Hal : Penegasan Saat Dimulainya Kewajiban Perpajakan               Yth. 1. Para Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak     2. Para Kepala Kantor Pelayanan Pajak   di seluruh Indonesia                   Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi, dan pertanyaan dari beberapa Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdapat permasalahan yang berkaitan dengan perbedaan perlakuan saat dimulainya kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) antara secara jabatan dengan secara permohonan. Untuk memberikan kepastian hukum dan menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik maka perlu diberikan penegasan atas permasalahan tersebut. A. Dasar Hukum dan Pertimbangan Hukum   1. Undang-Undang Nomor [[view.php?id=45c48cce2e2d7fbdea1afc51c7c6ad26|**6 TAHUN 1983**]] tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor [[view.php?id=82743f31779d2167a2fb3a7e7ec979bc|**16 TAHUN 2009**]] (selanjutnya disebut Undang-Undang KUP), antara lain:     a. Dalam Pasal 1 angka 6, diatur bahwa:       Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.     b. Dalam Pasal 2 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (4a), diatur bahwa:       Ayat (1)       Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.       Ayat (2)       Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.       Ayat (4)       Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2).       Ayat (4a)       Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.     c. Dalam Pasal 12 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), diatur bahwa:       Ayat (1)       Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.       Ayat (2)       Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.       Ayat (3)       Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.     d. Dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (4), diatur bahwa:       Ayat (1)       Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut...       Ayat (4)       Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan menjadi pasti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, tidak diterbitkan surat ketetapan pajak.   2. Undang-Undang Nomor [[view.php?id=6512bd43d9caa6e02c990b0a82652dca|**8 TAHUN 1983**]] tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor [[view.php?id=7b16a52cf3727c22984590c4f4c36039|**42 TAHUN 2009**]] (selanjutnya disebut Undang-Undang PPN), antara lain:     a. Dalam Pasal 3A ayat (1) dan ayat (1 a), diatur bahwa:       Ayat (1)       Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.       Ayat (1a)       Pengusaha Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.     b. Dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan penjelasannya, diatur bahwa:       Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.       Penjelasannya:       Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak meliputi baik Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan.   3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor [[view.php?id=7d3f2fed7faf3501554970cd3c0d724e|**68/PMK.03/2010**]] tentang Batasan Pengusaha Kecil Pengusaha Kena Pajak sebagaima telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor [[view.php?id=fcc5b727bd30570766d15fb2d4e4ccd5|**197/PMK.03/2013**]], dalam Pasal 1 ayat (1) diatur bahwa Pengusaha kecil merupakan pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).   4. Berdasarkan sistem self assessment, Indonesia menganut ajaran material dimana pajak yang terutang timbul karena terpenuhinya syarat subjektif dan objektif berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal ini berbeda dengan ajaran formal, dimana Wajib Pajak akan membayar pajak menggantungkan adanya surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh fiskus. Syarat objektif adanya pajak yang terutang berdasarkan undang-undang ditentukan oleh Tatbestand yaitu perbuatan, keadaan, atau peristiwa yang menimbulkan adanya pajak yang terutang.   5. Dalam Undang-Undang KUP dan Undang-Undang PPN, penerbitan NPWP dan/atau Pengukuhan PKP merupakan proses administrasi yang tidak menentukan timbulnya pajak yang terutang. NPWP digunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya antara lain untuk membayar atau menyetor, dan melaporkan Surat Pemberitahuan. Surat Pengukuhan PKP digunakan sebagai sarana administrasi agar dapat menerbitkan Faktur Pajak.   6. Bahwa pengaturan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (4a) Undang-Undang KUP **merupakan konsekuensi logis** dari ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang KUP, apabila Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak tidak memenuhi kewajibannya untuk mendaftarkan diri atau melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak padahal telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan.   7. Bahwa pengaturan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (4a) Undang-Undang KUP yang menyatakan bahwa kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi kewajiban subjektif dan objektif paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkannya sebagai PKP dimaksudkan untuk **menegaskan dan memberikan kepastian hukum adanya ketentuan daluwarsa penetapan pajak 5 (lima) tahun sebagaimana** dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang KUP.   8. Pendapat yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (4a) Undang-Undang KUP mengenai kewajiban perpajakan diberlakukan mundur 5 (lima) tahun **tidak berlaku** bagi Wajib Pajak yang diterbitkan NPWP dan/atau yang dikukuhkan sebagai PKP berdasarkan permohonan merupakan penafsiran yang bersifat //a contrario//. Ketentuan Pasal 2 ayat (4a) Undang-Undang KUP **tidak dapat** ditafsirkan secara //a contrario//. Dalam hukum pajak, penafsiran //a contrario// dan penafsiran //analogy// tidak dapat diterapkan karena dapat memperluas atau mempersempit dasar pengenaan dan penetapan pajak yang terutang. B. Penegasan terkait Permasalahan   Berdasarkan permasalahan, dasar hukum dan pertimbangan hukum yang diuraikan diatas, kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:   1. Saat dimulainya kewajiban perpajakan adalah saat terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan sehubungan adanya perbuatan, keadaan, atau peristiwa yang menimbulkan adanya pajak yang terutang dalam suatu Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak.   2. Ketentuan dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (4a) Undang-Undang KUP seharusnya dibaca dan ditafsirkan secara utuh dan satu kesatuan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang KUP. Kewajiban perpajakannya dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkannya sebagai PKP, berlaku bagi:     a. Wajib Pajak yang diterbitkan NPWP dan/atau yang dikukuhkan sebagai PKP secara jabatan; atau     b. Wajib Pajak yang diterbitkan NPWP dan/atau yang dikukuhkan sebagai PKP berdasarkan permohonan.   3. Dalam hal diperoleh data dan informasi atas kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang menimbulkan adanya pajak yang terutang sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkannya sebagai PKP, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menerbitkan surat ketetapan pajak sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan, apabila Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak atas kewajiban perpajakan tersebut belum melewati daluwarsa penetapan pajak.   4. Sesuai prinsip self assessment, Wajib Pajak dapat diberikan kesempatan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar atau menyetor, dan melaporkan dalam Surat Pemberitahuan atas kewajiban perpajakan sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkannya sebagai PKP, sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan.       Demikian disampaikan untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.                                               Direktur Jenderal             Direktur Peraturan Perpajakan I                           Irawan             NIP 19670822 198803 1 001               Tembusan:     1. Direktur Jenderal Pajak\\ 2. Para Staf Ahli Bidang Perpajakan, Kementerian Keuangan\\ 3. Para Pejabat Eselon II di Lingkungan Kantor Pusat DJP\\ 4. Kepala Kantor Layanan Informasi dan Pengaduan.