PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51/PMK.02/2005 TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PEMBAYARAN SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) TAHUN ANGGARAN 2005 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005, dianggarkan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang bertujuan untuk meringankan beban masyarakat; b. bahwa untuk memperlancar penyaluran subsidi BBM, diperlukan tata cara penghitungan dan pembayarannya; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penghitungan dan Pembayaran Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) Tahun Anggaran 2005; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152); 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Anggaran 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 130; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 442); 4. Undang-Undagn Nomor 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Republik Indonesia Tahun Anggaran 2005 (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 130; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4442); 5. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 73; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4214) sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 92; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4418); 6. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004; 7. Peraturan Presiden Nomor 22 TAHUN 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri; 8. Keputusan Bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dan Menteri Keuangan Nomor 31K/20/MEM/2003 dan Nomor 31/KMK.01/2003 tentang Pedoman Penetapan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri oleh Pertamina; 9. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 153/KMK.012/1982 tentang Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar Amerika Yang Berlaku Bagi Perusahaan-Perusahaan Minyak Dan Gas Bumi; 10. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 302/KMK.01/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 426/KMK.01/2004; 11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 606/PMK.06/2004 tentang Pedoman Pembayaran dalam Pelaksanaan Angaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2005; 12. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 08/PMK.02/2005 tentang Pengelolaan Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan; 13. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.06/2005 tentang Bagan Perkiraan Standar; Memperhatikan : Surat Anggota/Pembina Auditama Keuangan Negara II Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 01/S/IV-XII/01/2004 tentang Penempatan Sisa Dana Subsidi dan PSO di Esrow Account; MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PEMBAYARAN SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) TAHUN ANGGARAN 2005 Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan : 1. Bahan Bakar Minyak yang selanjutnya disebut BBM adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari minyak bumi yang meliputi Premium, Minyak Tanah, Minyak Solar, Minyak Diesel dan Minyak Bakar. 2. Harga Jual Eceran BBM adalah harga jual eceran BBM dalam negeri yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Hasil penjualan bersih BBM adalah hasil perkalian volume penjualan BBM dalam negeri dengan harga jual dikurangi dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) dan Margin Pemegang Pompa Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU). 4. Biaya pengadaan BBM adalah biaya penyediaan minyak mentah dan produk BBM dikurangi dengan nilai produk Non BBM ditambah biaya operasi. 5. Nilai produk Non BBM adalah hasil penjualan produk Non BBM (produk sampingan) antara lain berupa hasil penjualan Avigas, Avtur, Pertamax, Pertamax Plus, LPG, Naptha, LSWR, HOMC, LOMC, Lube Base, Residu yang berasal dari hasil kilang BBM. 6. Biaya Operasi adalah biaya pengolahanm distribusi, angkutan laut, bunga, penyusutan dan biaya umum kantor pusat. 7. Subsidi BBM adalah pengeluaran negara yang dihitung dan selisih kurang antara hasil penjualan bersih BBM dengan biaya pengadaan BBM. 8. Laba Bersih Minyak (LBM) adalah penerimaan negara yang dihitung dari selisih lebih antara hasil penjualan bersih BBM dengan biaya pengadaan BBM. Pasal 2 (1) Subsidi BBM diberikan kepada konsumen BBM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. (2) Pemberian subsidi BBM kepada konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan Pemerintah melalui PT. Pertamina (Persero). Pasal 3 (1) Direktur Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan menerbitkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) atas belanja subsidi BBM yang besarnya mengacu pada jumlah pagu subsidi BBM yang tersedia dalam APBN Tahun Anggaran 2005 atau APBN-P Tahun Anggaran 2005. (2) DIPA atas belanja subsidi BBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Direktur Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan atas nama Menteri Keuangan dan selanjutnya disampaikan untuk mendapat pengesahan dari Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan. (3) DIPA yang telah mendapat pengesahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) merupakan pagu tertinggi dan sebagai dasar pelaksanan subsidi BBM. (4) Dalam hal pagu DIPA atas belanja subsidi BBM dalam Tahun Anggaran 2005 atau APBN-P Tahun Anggaran 2005 tidak mencukupi dari yang ditetapkan dalam APBN Tahun Anggaran 2005 atau APBN-P Tahun Anggaran 2005, DIPA atas belanja subsidi BBM tersebut dapat direvisi setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan. Pasal 4 Berdasarkan DIPA sebagaimana dimaksud pada Pasal 3, Direktur Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan selaku Kuasa Pengguna Anggaran menunjuk : a. Pejabat yang diberi kewenangan untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja; b. Pejabat yang diberi kewenangan untuk menandatangani Surat Perintah Membayar (SPM); Pasal 5 (1) Berdasarkan DIPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Direksi PT Pertamina (Persero) setiap bulan mengajukan permintaan pembayaran subsidi BBM kepada Menteri Keuangan cq. Direktur Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan. (2) Permintaan pembayaran subsidi BBM untuk suatu bulan dapat disampaikan pada tanggal 1 (satu) bulan berikutnya. Pasal 6 (1) Pengajuan permintaan pembayaran subsidi BBM bulan Desember, disampaikan paling lambat pada tanggal 15 (lima belas) Desember. (2) Dalam hal tanggal 15 (lima belas) Desember adalah hari libur, pengajuan permintaan pembayaran subsidi BBM disampaikan pada hari kerja berikutnya. Pasal 7 (1) Berdasarkan permintaan pembayaran subsidi BBM sebagaimana dimaksud pada Pasal 5, Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan cq. Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Badan Layanan Umum melakukan penelitian dan verifikasi. (2) Dalam melakukan penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan cq. Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Badan Layanan Umum dapat membentuk tim. Pasal 8 (1) Dalam rangka penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, PT. Pertamina (Persero) dan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) wajib menyampaikan data pendukung secara lengkap kepada Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan cq. Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Badan Layanan Umum. (2) Data Pendukung yang wajib disampaikan oleh PT. Pertamina (Persero) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya terdiri dari : a. Data pembelian minyak mentah dari dalam negeri dan luar negeri (impor); b. Data pembelian produk BBM dari dalam negeri dan luar negeri (impor); c. Data minyak mentah yang diolah kilang BBM Unit Pengolah I (satu) sampai dengan Unit Pengolahan V (lima) berupa Mothly Quantity Accounting Report (MQAR); d. Data biaya operasi berdasarkan Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) PT. Pertamina (Persero) yang terdiri dari biaya pengolahan, distribusi, angkutan laut, bunga, penyusutan dan biaya umum kantor pusat; e. Dalam hal pada data biaya operasi terdapat komponen biaya yang menggunakan valuta asing, data biaya operasi terlebih dahulu disesuaikan dengan nilai tukar pada bulan yang bersangkutan; f. Data Nilai produk non BBM (produk sampingan) yang berasal dari hasil kilang BBM UPI sampai dengan UP V; g. Data hasil penjualan BBM di dalam negeri dan ke luar negeri (ekspor); dan h. Data pendukung lainnya yang berkaitan dengan penghitungan subsidi BBM. (3) Data pendukung yang wajib disampaikan oleh BP Migas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah data pengiriman minyak mentah dan gas bagian Pemerintah dan bagian Kontraktor untuk diolah di kilang BBM. (4) Nilai tukar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, adalah nilai tukar yang didasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor 153/KMK.012/1982 tentang Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar Amerika Yang Berlaku Bagi Perusahaan-Perusahaan Minyak Dan Gas Bumi. Pasal 9 (1) Dalam rangka mempercepat proses penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 disampaikan kepada Direktur Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan cq. Direktur Penerimaan Negara dan Bukan Pajak dan Badan Layanan Umum paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal permintaan pembayaran subsidi BBM yang diajukan oleh PT. Pertamina (Persero) sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (2). (2) Dalam hal data yang disampaikan oleh PT. Pertamina (Persero) dan BP Migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 belum lengkap, Pejabat Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Badan Layanan Umum dapat melakukan penelitian langsung ke unit sumber data. Pasal 10 (1) Jumlah Subsidi BBM yang dapat dibayarkan untuk setiap bulannya sampai dengan bulan Nopember kepada PT. Pertamina (Persero) adalah : a. Paling tinggi 95% (sembilan puluh lima persen) dari hasil perhitungan verifikasi apabila harga rata-rata minyak mentah Indonesia lebih besar atau sama dengan USD 33/barrel; b. Paling tinggi 90% (sembilan puluh persen) dari hasil perhitungan verifikasi apabila harga rata-rata minyak mentah Indonesia lebih kecil dari USD 33/barrel. (2) Jumlah subsidi BBM bulan Desember yang dapat dibayarkan kepada PT. Pertamina (Persero) di bulan Desember adalah jumlah terendah dari estimasi kewajiban Nilai Lawan bulan Nopember atau sebesar persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari estimasi subsidi BBM bulan Desember yang telah diverifikasi. (3) Nilai Lawan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan nilai minyak mentah bagian Pemerintah yang digunakan oleh PT. Pertamina (Persero) dalam rangka pengadaan BBM dalam negeri. Pasal 11 (1) Berdasarkan hasil penelitian dan verifikasi atas permintaan pembayaran subsidi BBM PT. Pertamina (Persero) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan jumlah subsidi BBM yang dapat dibayarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan menerbitkan SPM kepada Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang jumlahnya secara keseluruhan tidak melebihi DIPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (3) Berdasarkan SPM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Direktorat Jenderal Perbendaharaan menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). Pasal 12 (1) Apabila terdapat koreksi terhadap jumlah subsidi BBM yang telah dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, PT. Pertamina (Persero) secara triwulan wajib menyampaikan permintaan pembayaran subsidi BBM kepada Menteri Keuangan cq. Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan. (2) Permintaan pembayaran subsidi BBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilengkapi data pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. (3) Berdasarkan permintaan pembayaran subsidi BBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan cq. Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Badan Layanan Umum melakukan penelitian dan verifikasi. (4) Hasil penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), digunakan sebagai dasar koreksi penelitian dan verifikasi. (5) Koreksi pembayaran subsidi BBM sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan. (6) Koreksi pembayaran subsidi BBM sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diperhitungkan pada pembayaran subsidi BBM berikutnya. (7) Pembayaran subsidi BBM berdasarkan perhitungan subsidi BBM yang telah dikoreksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), merupakan pembayaran 100% (seratus persen) (8) Pembayaran koreksi subsidi BBM yang diperhitungkan dengan pembayaran subsidi BBM berikutnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (6), dilakukan dengan mekanisme pembayaran subsidi BBM sebagaimana diatur dalam Pasal 11. Pasal 13 (1) Pembayaran subsidi BBM sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 ayat (1) dan (2) serta Pasal 12 ayat (7) bersifat sementara. (2) Besarnya subsidi BBM dalam satu tahun anggaran secara final ditetapkan berdasarkan laporan hasil audit yang disampaikan oleh auditor kepada Menteri Keuangan. (3) Auditor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah instansi yang berwenang melakuan auditor sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 14 (1) Pada akhir tahun anggaran, sisa subsidi BBM antara jumlah subsidi BBM yang dianggarkan dalam APBN-P dengan jumlah subsidi BBM yang dibayar, ditempatkan ke dalam rekening sementara (escrow account) PT. Pertamina (Persero). (2) Untuk penempatan sisa subsidi BBM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Direksi PT. Pertamina (Persero) wajib mengajukan surat permintaan tertulis kepada Menteri Keuangan dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan dan Direktur Jenderal Perbendaharaan. (3) Penempatan sisa subsidi BBM dalam rekening sementara (escrow account) PT. Pertamina (Persero) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan mekanisme pembayaran subsidi BBM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. (4) Pencairan sisa subsidi BBM dalam rekening sementara (escrow account) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan berdasarkan hasil audit. (5) Pelaksanaan pencairan sisa subsidi BBM dalam rekening sementara (escrow account) sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atas permintaan Direktur Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan. (6) Dalam hal hasil subsidi BBM yang harus dibayar lebih kecil dari sisa subsidi BBM yang tersedia direkening sementara ((escrow account), sisa kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak. (7) Dalam hal hasil audit subsidi BBM yang harus dibayar lebih besar dari sisa subsidi BBM yang tersedia di rekening sementara (escrow account), sisa kekurangan pembayaran subsidi BBM akan dibayarkan setelah dianggarkan. (8) Pembayaran sisa kekurangan pembayaran subsidi BBM sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dilakukan dengan mekanisme pembayaran subsidi BBM sebagaimana diatur dalam Pasal 11. Pasal 15 (1) Dalam hal terdapat penerimaan negara yang berasal dari Laba Bersih Minyak (LBM), PT. Pertamina (Persero) wajib menyetor LBM tersebus ke Kas Negara secara periodik (bulanan) (2) Penyetoran LBM ke Kas Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pasal 16 Apabila dalam Tahun Anggaran 2006 masih dianggarkaan subsidi BBM, Peraturan Menteri Keuangan ini masih berlaku sebagai acuan dalam pembayaran subsidi BBM Tahunn Anggaran 2006 sampai dengan ditetapkannya pengganti Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penghitungan dan Pembayaran Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) Tahun Anggaran 2005. Pasal 17 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak tanggal 1 Januari 2005 sampai dengan tanggal 31 Desember 2005. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2005 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd JUSUF ANWAR