DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 21 Desember 1984 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 2581/PJ.3/1984 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS APOTIK. (SERI PPN - 19) DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam berbagai pertemuan, penyuluhan dan penataran baik oleh calon Pengusaha Kena Pajak, Konsultan Pajak maupun oleh beberapa pejabat/petugas Direktorat Jenderal Pajak di daerah-daerah, diperoleh kesan bahwa selama ini belum ada keseragaman penafsiran mengenai kedudukan, Apotik dalam pelaksanaan UU PPN 1984. Untuk mempertimbangkan apakah Apotik dapat dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak atau tidak, kiranya perlu disampaikan penjelasan dan penegasan sebagai berikut : 1. Dalam melayanai konsumen obat, kegiatan penjualan oleh Apotik dapat dibagi menjadi : 1.1. Penjualan obat atas dasar resep dokter; 1.2. Penjualan obat secara bebas (tanpa resep dokter). 2. Dalam melayani penjualan obat dengan resep dokter, Apotik dapat menyediakan dan menyerahkan obat-obatan dengan cara : 2.1. Meramu/meracik sendiri obat-obatan yang diminta sesuai dengan petunjuk yang tercantum dalam resep dokter; 2.2. Menyerahkan obat yang sudah jadi/obat paten buatan pabrik obat lain sesuai dengan nama dan merek obat yang tercantum dalam resep dokter. 3. Dalam melayani penjualan secara bebas, Apotik dapat menyerahkan obat-obatan ataupun alat-alat untuk perawatan kesehatan (seperti kapas, pembalut dll.) yang berasal dari : 3.1. hasil produksi sendiri; 3.2. hasil produksi pabrik obat lain (obat paten yang boleh dijual bebas tanpa resep dokter). 4. Akhir-akhir ini penjualan obat dengan cara meracik sendiri oleh Apotik atas petunjuk dalam resep dokter sangat kecil bila dibandingkan dengan penyerahan obat yang sudah jadi (obat paten), karena pada umumnya dokter tidak banyak lagi yang menuliskan obat yang harus diramu Apotik, dan hanya mencantumkan nama dan merek obat jadi/obat paten dalam resep yang bersangkutan. Oleh karena kegiatan meramu/meracik obat oleh Apotik, sebagai dasar untuk pengukuhan menjadi Pengusaha Kena Pajak dalam Pelaksanaan UU PPN 1984, dapat dikesampingkan. 5. Apotik sebagai pedagang tingkat eceran tidak termasuk dalam pengertian Pengusaha Kena Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 1 huruf k juncto Pasal 4 ayat (1) UU PPN 1984. Dalam harga-harga obat yang sudah jadi/obat paten yang diserahkan oleh Apotik sesuai dengan resep dokter sudah termasuk PPN yang dipungut oleh pabrik obat atau penyalur utama saat penyerahan obat tersebut. 6. Penjualan secara bebas obat-obatan dan alat-alat kesehatan hasil produksi obat/industri farmasi lain oleh Apotik, masalahnya sama dengan penjualan obat jadi/obat paten dengan resep dokter tersebut diatas. Dalam kedudukan Apotik sebagai pedagang eceran, ia bukan Pengusaha Kena Pajak. Jika diketahui bahwa dalam penjualan bebas ini termasuk juga obat-obatan dan alat-alat kesehatan yang diproduksi sendiri oleh Apotik tersebut, maka sebagai pabrikan obat, Apotik yang bersangkutan adalah Pengusaha Kena Pajak. Untuk kepastian mengenai hal ini seyogyanya Saudara menghubungi instansi/Departemen teknis yang memberikan perizinan untuk industri farmasi dan perizinan untuk usaha Apotik, apakah usaha Apotik yang bersangkutan juga merangkap sebagai industri farmasi. 7 Sesuai dengan penjelasan tersebut di atas, maka dengan ini disampaikan penegasan sebagai berikut : 7.1. Dalam pelaksanaan UU PPN 1984, untuk sementara Apotik tidak dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. 7.2. Jika dari keterangan/penegasan instansi/Departemen teknis yang bersangkutan ternyata suatu Apotik disamping usaha Apotik juga membuat sendiri obat-obatan untuk dijual bebas, maka Apotik yang bersangkutan dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Demikian untuk menjadi perhatian Saudara. A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK DIREKTUR PAJAK TIDAK LANGSUNG, ttd. Drs. DJAFAR MAHFUD