DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK ___________________________________________________________________________________________ 2 April 1997 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 40/PJ.32/1997 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENGALIHAN SELURUH AKTIVA DI PULAU BINTAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan surat Saudara tanggal 13 Mei 1996 dan 18 Desember 1996 perihal tersebut di atas, bersama ini disampaikan hal-hal sebagai berikut : 1. Dalam surat tersebut, Saudara menjelaskan : a. Kegiatan usaha PT XYZ di Pulau Bintan adalah mempersiapkan lahan yang semula berupa hutan karet menjadi lahan siap bangun yang akan dijual kepada pra investor untuk dijadikan sarana wisata. b. Untuk menarik investor agar menanamkan modalnya di Pulau Bintan, PT XYZ pada tahap awal telah membangun sarana penunjang bungalow dan fasilitasnya yaitu " XX Beach Resort" dan " XX Beach Club" dan telah mendapat izin tempat usaha sesuai dengan Surat Izin Tempat Usaha (SITU) Nomor XXX/XX/XXXX/XX tanggal 18 Oktober 1994 yang diperpanjang dengan Nomor XXX/XX/XXXX/XX tanggal 28 Mei 1996. c. Pada awal pembangunan dan sejak beroperasinya kedua sarana tersebut di tahun 1995, PT XYZ tidak mempunyai niat untuk menjualnya kepada pihak ketiga. Namun dengan sudah berkembang dan banyaknya investor yang menanamkan modalnya di Pulau Bintan dan mengingat bahwa PT XYZ tidak berpengalaman dalam mengelola bungalow dan sarana rekreasi, maka PT XYZ bermaksud untuk mengalihkan seluruh aktiva tersebut kepada PT ABC yang didirikan khusus mengelola bidang wisata. d. Penghasilan yang diperoleh sehubungan dengan pengoperasian kedua sarana tersebut telah dilaporkan dalam SPT Tahunan PT XYZ serta aktiva "XXX Beach Resort" dan "XX Beach Club" dicatat sebagai aktiva tetap dalam buku PT XYZ dan telah disusutkan sejak awal selesainya pembangunan kedua sarana tersebut. e. Sehubungan hal tersebut di atas, Saudara menanyakan bagaimana perlakuan pajaknya. 2. Bidang Pajak Pertambahan Nilai 2.1. Sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (5) Undang-undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang PPN dan PPnBM sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 TAHUN 1994, apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak (PKP) disamping melakukan penyerahan yang terutang PPN juga melakukan penyerahan yang tidak terutang PPN, sepanjang bagian penyerahan yang terutang PPN dapat diketahui dengan pasti pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang PPN. 2.2. Sesuai dengan ketentuan Pasal 16D Undang-undang Nomor 11 TAHUN 1994, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan atas penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan. 2.3. Sesuai dengan ketentuan Pasal 9 angka 11 Peraturan Pemerintah Nomor 50 TAHUN 1994, jasa di bidang perhotelan merupakan jenis jasa yang tidak dikenakan PPN. 2.4. Sesuai dengan ketentuan dalam Instruksi Presiden RI Nomor 6 Tahun 1993 tanggal 28 Desember 1993 jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-41/PJ.53/1993 tanggal 31 Desember 1993 tentang Pemungutan Pajak Pembangunan I dan Restitusi Izin Membangun Hotel di Daerah Tujuan Wisata, dinyatakan bahwa objek Pajak Pembangunan I, meliputi : a. Pembayaran atas pembelian makanan atau minuman termasuk tambahan di rumah makan/restoran; dan atau b. Pembayaran atas penyewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen dan hostel; dan atau c. Pembayaran atas penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen dan hostel. 2.5. Berdasarkan uraian di atas, maka disampaikan penegasan sebagai berikut : a. Dalam kegiatannya, PT XYZ selain melakukan penyerahan yang terutang PPN (usaha penyiapan lahan) juga melakukan penyerahan yang tidak terutang PPN (usaha penyiapan lahan) juga melakukan penyerahan yang tidak terutang PPN (usaha perhotelan/bungalow) sebagaimana diuraikan pada butir 2.3 di atas. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (5) Undang-undang Nomor 11 TAHUN 1994 sebagaimana diuraikan pada butir 2.1, jumlah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang PPN dan dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya dapat dikreditkan. Dengan demikian apabila Pajak Masukan tidak berkenaan dengan penyerahan yang terutang PPN maka Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan. Karena jasa di bidang perhotelan merupakan jasa yang tidak dikenakan PPN sebagai akibat sudah dikenakan Pajak Pembangunan I sebagaimana diuraikan pada butir 2.4 di atas, maka Pajak Masukan atas kegiatan membangun hotel tidak dapat dikreditkan sepanjang pembukuannya dapat diketahui dengan pasti. Oleh karena itu pengalihan aktiva yang berhubungan dengan usaha perhotelan dari PT XYZ kepada PT ABC sesuai dengan Pasal 16D Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994, tidak dikenakan PPN. b. Dalam hal PT XYZ telah terlanjur mengkreditkan PPN atas usaha perhotelan maka PPN tersebut harus dibayar kembali karena pada dasarnya PPN yang telah dibayar atas usaha perhotelan tidak dapat dikreditkan. 3. Bidang Pajak Penghasilan 3.1. Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan. Dalam penjelasannya antara lain disebutkan bahwa selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dialihkan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak. 3.2. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 48 TAHUN 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 TAHUN 1996, antara lain diatur bahwa badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib membayar sendiri Pajak Penghasilan (PPh) yang terutang sebesar 5 % (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Bagi Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dalam hal melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan bukan sebagai barang dagangan, maka pembayaran PPh sebesar 5 % (lima persen) merupakan pembayaran PPh Pasal 25 yang dapat diperhitungkan dengan PPh yang terutang dalam tahun pajak yang bersangkutan. 3.3. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat diberikan penjelasan sebagai berikut : a. Bahwa selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku dari aktiva bungalow dan sarana rekreasi yang dialihkan kepada PT XYZ, merupakan penghasilan bagi PT XYZ. b. Mengingat bahwa : b.1. XX Beach Resort dan XX Beach Club yang sejak selesai pembangunannya telah dioperasikan oleh PT XYZ sebagaimana mestinya; b.2. penghasilan yang diperoleh sehubungan dengan pengoperasian kedua sarana tersebut telah dilaporkan dalam SPT Tahunan PT XYZ dan aktiva kedua sarana tersebut dicatat sebagai aktiva tetap PT XYZ serta telah disusutkan, maka atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT XYZ dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut terutang PPh sebesar 5 % (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan dan bersifat tidak final oleh karena kedua aktiva yang dialihkan tersebut bukan merupakan barang dagangan. Dengan demikian, pembayaran PPh tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh yang terutang dalam tahun pajak yang bersangkutan. Demikian untuk dimaklumi. DIREKTUR JENDERAL ttd DR. FUAD BAWAZIER