{{/tkb/admin/user_images/images/logo%20djp.jpg}}\\ **DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA\\ DIREKTORAT JENDERAL PAJAK** JALAN JEND. GATOT SUBROTO NO.40-42 JAKARTA 12190\\ TROMOL POS NO.124 - JAKARTA 10002 |TELEPON: 5225138, 5225139 |FAX: 584792| TELEX: 62324 KPDJP IA| ----   |NOMOR |:|SE-10/PJ.42/1994 | Jakarta, 22 Maret 1994| |SIFAT |:|  |  | |LAMPIRAN|:|  |  | |PERIHAL |:|Perlakuan PPh dan PPN terhadap perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi yang berakhir menjadi lebih singkat dari masa sewa guna usaha yang disyaratkan dalam Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor [[view.php?id=5b69b9cb83065d403869739ae7f0995e|**1169/KMK.01/1991**]]|  | | |  | | |Kepada Yth: | | |1. Para Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pajak;\\ 2. Para Kepala kantor Pelayanan Pajak;\\ 3. Para Kepala Karikpa;\\ 4. Para Kepala Kantor Penyuluhan Pajak,\\ di-\\      Seluruh Indonesia| | |  | Bersama ini disampaikan kepada Saudara penegasan tentang pelaksanaan perihal tersebut di atas sebagai berikut: 1. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 huruf b Keputusan Menteri Keuangan Nomor: [[view.php?id=5b69b9cb83065d403869739ae7f0995e|**1169/KMK.01/1991**]] masa SGU ditetapkan sekurang-kurangnya:   •\\ •\\ • 2 tahun untuk barang modal Golongan I;\\ 3 tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan\\ 7 tahun untuk barang modal Golongan Bangunan. 2. Dalam pelaksanaannya suatu perjanjian SGU dengan hak opsi kadang-kadang terputus, sehingga masa sewa guna usaha menjadi lebih pendek dari masa yang semula disepakati. Hal ini dapat terjadi karena beberapa hal:   a. //force majeur//, yaitu putusnya transaksi SGU karena bencana alam seperti kebakaran dan lain-lain, sehingga barang modal yang diperoleh secara //finance lease// mengalami rusak berat dan tidak dapat dipakai lagi.   b. //default//, yaitu terputusnya transaksi SGU karena //lessee// tidak dapat memenuhi pembayaran //lease payment// serta kewajiban lainnya sehingga kontrak //finance lease// berakhir lebih cepat.   c. sebab ekonomis, yaitu //lessee// mengakhiri masa //lease// sebelum waktunya karena pertimbangan ekonomis semata-mata, dengan membayar sekaligus kewajiban yang tersisa. 3. a. Berdasarkan Ketentuan Pasal 14 huruf c Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 1169/KMK.01/1991, dinyatakan apabila masa SGU dengan hak opsi ternyata lebih pendek dari masa SGU menurut Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan dimaksud, maka Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pengakuan penghasilan pihak //lessor//.   b. Berdasarkan Ketentuan Pasal 16 huruf d Keputusan Menteri Keuangan Nomor: [[view.php?id=5b69b9cb83065d403869739ae7f0995e|**1169/KMK.01/1991**]], dinyatakan apabila masa SGU dengan hak opsi ternyata lebih pendek dari masa SGU menurut Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan dimaksud, maka Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pembebanan biaya SGU.     **A.** **PAJAK PENGHASILAN (PPh)**   A.1. Berdasarkan penegasan dalam butir 8 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. [[view.php?id=66e8ba8216a1e152d72653d99a4f03ab|**SE-29/PJ.42/1992**]] tanggal 19 Desember 1992 bahwa dalam hal perjanjian //finance lease// menyatakan jangka waktu yang lebih pendek atau pada pelaksanaannya berakhir dalam jangka waktu yang lebih pendek dari jangka waktu minimum yang disyaratkan perlakuan perpajakannya disamakan dengan //operating lease//.   A.2. Berkenaan dengan hal yang tersebut pada butir 1 maka pelaksanaan butir 8 Surat Edaran Nomor: [[view.php?id=66e8ba8216a1e152d72653d99a4f03ab|**SE-29/PJ.42/1992**]] tersebut diatur kembali menjadi sebagai berikut:     2.1. Butir 8 [[view.php?id=66e8ba8216a1e152d72653d99a4f03ab|**SE-29/PJ.42/1992**]] mengenai perubahan perlakuan perpajakan yang semula sebagai //finance lease// menjadi //operating lease// hanya diberlakukan apabila terdapat hubungan antara //lessor// dan //lessee//, kecuali dalam hal //force majeur//.     2.2. Dalam hal masa SGU //finance lease// lebih pendek daripada masa SGU berdasarkan Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor : [[view.php?id=5b69b9cb83065d403869739ae7f0995e|**1169/KMK.01/1991**]] yang disebabkan karena //force majeur// (bencana alam seperti kebakaran dan lain-lain), //default// (//lessee// tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran //lease payment//) ataupun karena pertimbangan ekonomis tertentu yang dilakukan secara wajar tanpa motif untuk menghindarkan atau memperkecil besarnya pengenaan pajak terutang serta dilakukan oleh masing-masing pihak yang tidak terdapat hubungan istimewa, maka tidak perlu mengubah perlakuan perpajakan dari //finance lease// menjadi //operating lease// akan tetapi tetap diperlakukan sebagai //finance lease//. Dengan adanya perubahan masa SGU, maka besarnya penghasilan bagi //lessor// serta besarnya biaya bagi //lessee// dengan sendirinya berubah atau berbeda dibandingkan apabila tidak terjadi perubahan masa SGU.       Berdasarkan Pasal 14 huruf c Keputusan Menteri Keuangan No. [[view.php?id=5b69b9cb83065d403869739ae7f0995e|**1169/KMK.01/1991**]], maka pihak //lessor// harus membukukan penghasilannya berdasarkan keadaan yang sebenarnya sebagai akibat adanya SGU yang diperpendek/dipersingkat tersebut.\\ Sedangkan berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf d Keputusan Menteri Keuangan No.[[view.php?id=5b69b9cb83065d403869739ae7f0995e|**1169/KMK.01/1991**]], pihak //lessee// harus membukukan/membebankan biaya berdasarkan keadaan sebenarnya dikeluarkan oleh perusahaan sebagai akibat adanya masa SGU yang diperpendek/dipersingkat tersebut.       Pengakuan penghasilan dan pembebanan biaya bagi //lessor// dan //lessee// diatur sebagai berikut:       a. Alasan //force majeur//:         Pemutusan SGU //finance lease// karena //force majeur// dimana sebagian atau seluruh aktiva perusahaan (termasuk barang modal //finance lease//) rusak berat dan //lessor// menderita kerugian besar, apabila barang modal tersebut diasuransikan oleh //lessor//, maka penggantian asuransi yang diterima merupakan penghasilan, sedangkan barang modal yang rusak dimasukkan sebagai kerugian sebesar harga perolehan barang modal tersebut dikurangi dengan jumlah angsuran pokok pembiayaan //(principal)// SGU yang telah diterima. Kemudian atas hasil penjualan barang modal yang rusak, merupakan penghasilan bagi //lessor// dalam tahun pajak dimana transaksi penjualan terjadi.\\ Bagi //lessee//, apabila kegiatan usaha dihentikan setelah terjadinya //force majeur//, maka kewajiban-kewajiban yang masih belum dilunaskan atas transaksi //finance lease// sampai saat terjadinya //force majeur// dianggap sebagai utang perusahaan atau ditiadakan tergantung pada perjanjian yang telah disetujui.       b. Alasan //default//:         Pemutusan SGU //finance lease// karena //default//, maka barang modal akan ditarik kembali oleh //lessor//. Tagihan berupa //lease payment// sampai dengan saat terjadinya //default// yang belum diterima pelunasannya oleh //lessor//, dimasukkan dalam pembukuan sebagai piutang.\\ Apabila setelah dilakukan upaya terakhir penagihan piutang ternyata tidak dapat ditagih lagi, maka piutang tersebut dihapuskan dan dimasukkan sebagai kerugian perusahaan. Untuk menghindari penyalahgunaan baik oleh //lessor// maupun //lessee//, pemutusan kontrak SGU karena //default// hanya dapat dibenarkan dalam  hal //lessor// sudah melakukan upaya hukum sesuai dengan perjanjian //leasing//. Dalam hal upaya hukum tersebut belum dilakukan maka pemutusan kontrak SGU karena alasan //default// tidak dapat dibenarkan dan SGU dianggap tetap berjalan sebagaimana biasa seolah-olah tidak terjadi //default//. Bagi //lessee//, apabila kegiatan usaha setelah pemutusan SGU //finance lease// masih dilanjutkan, kewajiban yang belum dilunaskan atas transaksi //finance lease// harus dibukukan sebagai utang perusahaan.       c. Alasan ekonomis;         Pemutusan //finance lease// karena sebab ekonomis harus terdapat kesepakatan dari kedua belah pihak yaitu dari //lessor// dan //lessee//.\\ Bagi //lessor// akan timbul akumulasi penerimaan //lease payment// yang terdiri dari angsuran pokok pembiayaan dan imbalan jasa SGU //(lease fee)//. Pelunasan pembelian barang modal karena //lessee// menggunakan hak opsi juga akan diterima lebih cepat oleh //lessor//. Keuntungan fiskal yang diperoleh //lessor// dihitung berdasarkan akumulasi imbalan jasa SGU //(lease fee)// yang diterima pada tahun yang bersangkutan ditambah penalti yang dibebankan //lessor// kepada //lease// akibat dipercepatnya masa SGU.\\ Sebaliknya bagi //lessee//, atas peristiwa yang sama akan terjadi pengeluaran sekaligus berupa akumulasi sisa angsuran SGU, penalti akibat dipercepatnya masa SGU dan harga (nilai) residu yang harus dibayar apabila //lessee// menggunakan hak opsinya untuk membeli barang modal yang bersangkutan. Seluruh pengeluaran atau pembebanan tersebut harus diperhitungkan sebagai harga perolehan barang modal yang bersangkutan.\\ Penyusutannya dilakukan sejak tahun pajak diputusnya //finance lease//, dengan tarif sesuai dengan tarif golongan harta yang berkenaan.         Contoh : Masa SGU harta golongan III (berdasarkan kontrak) 8 tahun (ketentuan minimal 3 tahun). Tahun ke 5 terjadi pemutusan kontrak karena sebab ekonomis.\\ Pembayaran sewa guna usaha (//lease payment//) tahun ke 6 sampai dengan tahun ke 8 (3 tahun) tidak dapat dibebankan sekaligus dalam tahun ke 6, tetapi setelah ditambah dengan penalti dan harga residu yang harus dibayar, merupakan harga perolehan dari barang modal tersebut. Penyusutan dilakukan sejak tahun ke 6 dan dasar penyusutannya adalah harga perolehan tersebut. Berdasarkan contoh di atas, karena SGU tersebut berkenaan dengan harta golongan III, maka harus disusutkan dengan tarif 10%.     2.3. Dalam hal pihak //lessor// dan pihak //lessee// terdapat hubungan istimewa, atas terjadinya keputusan perubahan masa //finance lease// menjadi lebih singkat dari ketentuan yang berlaku, kecuali terjadi karena //force majeur//, maka ketentuan perpajakan atas kontrak //finance lease// tersebut harus diubah dan diperlakukan sebagai //operating lease//.       2.3.1. //Finance Lease// dengan masa yang lebih singkat karena //default//.         a. Pihak //lessor// maupun pihak //lessee// harus membetulkan SPT Tahunan yang telah dimasukkan dengan melakukan pembetulan atas penghasilan atau biaya sebagai akibat perubahan perlakuan dari SGU //finance lease// menjadi SGU //operating lease//.         b. Pihak //lessor// melakukan penyusutan atas harta yang di//leasing//kan. Pihak //lessee// tidak boleh melakukan penyusutan.         c. Atas masa SGU yang telah lewat, //lessee// harus memotong PPh Pasal 23 sebesar pembayaran bruto berupa sewa (//lease payment//).       2.3.2. //Finance Lease// dengan masa yang lebih singkat karena sebab ekonomis.         a. Pihak //lessor// maupun pihak //lessee// harus membetulkan SPT Tahunan yang telah dimasukkan dengan melakukan pembetulan atas penghasilan atau biaya sebagai akibat perubahan perlakuan dari SGU //finance lease// menjadi SGU //operating lease//, sampai dengan saat opsi dilaksanakan. Perlakuan PPh atas pelaksanaan opsi adalah sama dengan perlakuan atas jual-beli aktiva biasa.         b. Pihak //lessor// melakukan penyusutan atas harta yang di//leasing//kan sampai dengan opsi dilakukan oleh //lessee//. Pihak //lessee// melakukan penyusutan atas harta tersebut sejak opsi dilakukan dan dasar penyusutan adalah nilai perolehan yang terdiri dari akumulasi sisa angsuran, penalti dan harga residu yang harus dibayar.         c. Atas masa SGU yang telah lewat, //lessee// harus memotong PPh Pasal 23 sebesar pembayaran bruto berupa sewa (//lease payment//).     **B.** **PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)**   Kegiatan SGU dapat dilakukan dalam bentuk SGU dengan hak opsi (//Finance Lease//) atau SGU tanpa hak opsi (//Operating Lease//). Perlakuan PPN terhadap kedua jenis kegiatan SGU tersebut tidak sama sehingga perlu diberikan petunjuk lebih lanjut sebagai berikut:   B.1. Perlakuan PPN terhadap SGU dengan hak opsi (//Finance Lease//) dalam hal tidak terdapat hubungan istimewa:     1.1. Dalam suatu kegiatan SGU dengan hak opsi pada hakekatnya terdapat 2 macam penyerahan, yaitu penyerahan jasa dan penyerahan barang modal. Ketentuan yang berlaku sehubungan dengan kedua jenis penyerahan tersebut adalah:       1.1.1. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 huruf d Peraturan Pemerintah No. [[view.php?id=54229abfcfa5649e7003b83dd4755294|**28 TAHUN 1988**]] jo. Pasal 15 Keputusan Menteri Keuangan No. [[view.php?id=5b69b9cb83065d403869739ae7f0995e|**1169/KMK.01/1991**]], atas penyerahan jasa dalam transaksi SGU dengan hak opsi dari //lessor// kepada //lessee// merupakan jasa financial leasing yang dikecualikan dari pengenaan PPN, dengan demikian //lessor// bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP).       1.1.2. Berdasarkan Pasal 1 huruf d angka 1) huruf b) Undang-undang PPN 1984, pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian SGU, termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang terutang PPN. Penyerahan barang dianggap telah terjadi pada saat barang (barang modal) dipindahkan penguasaannya dari penjual (//supplier//) atau //lessor// kepada pembeli atau //lessee//, walaupun belum diikuti dengan penyerahan hak kepemilikan atas barang yang disewa guna usaha tersebut kepada //lessee//.       1.1.3. Dengan demikian dalam hal //lessee// adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP), PPN yang dibayar atas perolehan barang yang disewa guna usaha dengan hak opsi tersebut, merupakan PPN Pajak Masukan bagi //lessee//. Untuk keperluan pengkreditannya, oleh //supplier// barang yang disewa guna usahakan dibuat Faktur Pajak atas nama //lessor// untuk dan atas nama (qq) //lessee//, dengan mencantumkan identitas //lessor// maupun //lessee// (Nama NPWP dan alamat).     1.2. Pembayaran kembali Pajak Masukan:       Dalam pelaksanaannya suatu perjanjian SGU dengan hak opsi (//finance lease//) kadang-kadang berakhir lebih cepat yaitu karena //force majeur//, default atau karena sebab ekonomis sehingga masa SGU menjadi lebih pendek dari masa yang semula disepakati atau bahkan lebih pendek dari masa menurut Pasal 3 huruf b Keputusan Menteri Keuangan No. [[view.php?id=5b69b9cb83065d403869739ae7f0995e|**1169/KMK.01/1991**]]. Dalam hal demikian, maka perlakuan atas Pajak Masukan yang telah dikreditkan oleh //lessee// diatur sebagai berikut:       1.2.1. Dalam hal terjadi //force majeur//, maka Pajak Masukan yang telah dikreditkan oleh //lessee// tidak wajib dibayar kembali oleh //lessee//. Apabila barang tersebut diasuransikan dan penggantian asuransi berupa uang tunai, maka Pajak Masukan yang telah dikreditkan oleh //lessee// wajib dibayar kembali, kecuali penggantian asuransi tersebut berupa barang modal baru atau bagian barang modal baru, maka Pajak Masukan yang telah dikreditkan dari barang modal lama tidak wajib dibayar kembali dan Pajak Masukan dari barang modal baru atau bagian dari barang modal baru tersebut tidak dapat dikreditkan.       1.2.2. Dalam hal terjadi //default,// maka Pajak Masukan yang telah dikreditkan oleh //lessee// harus dibayar kembali sebagian oleh //lessee//. Pajak Masukan yang harus dibayar kembali oleh lessee dalam butir 1.2.1. dan 1.2.2. dihitung berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan No. [[view.php?id=26337353b7962f533d78c762373b3318|**1441b/KMK.04/1989**]] dengan rumus:         P x PM         dimana:         |P |=|adalah prosentase harga sisa buku (prosentase sisa manfaat berdasarkan Undang-undang No. [[view.php?id=d3d9446802a44259755d38e6d163e820|**7 TAHUN 1983**]]) pada awal  tahun pajak terjadinya pemutusan transaksi SGU.| |PM|=|adalah jumlah Pajak Masukan yang telah dikreditkan. |         Contoh: Mesin seharga Rp. 100.000.000,- disewa guna usahakan pada tanggal 1 Nopember 1992 untuk masa sewa guna usaha 4 tahun. PPN Pajak Masukan yang dibayar Rp. 10.000.000,- dan telah dikreditkan pada SPT Masa Nopember 1992. Pemutusan transaksi sewa guna usaha terjadi pada Oktober 1994. Mesin tersebut termasuk golongan I Keputusan Menteri Keuangan No. [[view.php?id=1a638db8311430c6c018bf21e1a0b7fb|**826/KMK.04/1984**]], sehingga atas mesin tersebut telah disusutkan selama 2 (dua) tahun.\\ Prosentase sisa buku pada awal tahun 1994 adalah 25%.\\ PPN Pajak Masukan yang harus dibayar kembali adalah:\\ 25% x Rp. 10.000.000,- = Rp. 2.500.00,-         Keterangan : Dalam hal penghentian SGU terjadi dalam jangka waktu kurang dari 1 (satu) tahun sejak dimulai SGU, maka seluruh Pajak Masukan atas Barang Modal yang telah dikreditkan oleh //lessee// harus dibayar kembali. Pembayaran kembali Pajak Masukan tidak perlu dilakukan, jika jumlah Pajak Masukan yang harus dibayar kembali kurang dari Rp. 100.000,00,- (seratus ribu rupiah). Pembayaran kembali Pajak Masukan dimaksud harus dilakukan bersamaan dengan saat penyampaian atau selambat-lambatnya pada saat jatuh tempo penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan PPh tahun pajak yang bersangkutan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Pembayaran kembali Pajak Masukan (Formulir 1435 PM). Dalam hal tidak dibayar, maka KPP yang bersangkutan harus menagih utang Pajak tersebut dengan cara menerbitkan Surat Ketetapan Pajak ditambah sanksi administrasi sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.       1.2.3. Dalam hal terjadi "sebab ekonomis" maka Pajak Masukan yang telah dikreditkan tidak wajib dibayar kembali oleh //lessee//.     1.3. Dalam suatu perjanjian SGU yang berakhir sesuai dengan masa SGU yang disepakati, namun //lessee// ternyata tidak menggunakan hak opsinya, maka Pajak Masukan yang telah dikreditkan oleh //lessee// harus dibayar kembali sebagian dengan perhitungan seperti tersebut pada butir 1.2.2. di atas.     1.4. Sesuai dengan Ketentuan Pasal 4 ayat (4) Keputusan Menteri Keuangan No. [[view.php?id=26337353b7962f533d78c762373b3318|**1441b/KMK.04/1989**]], dalam rangka perjanjian //Sale and Lease Back//, tidak termasuk pengertian pemindahtanganan barang dari //lessee// kepada //lessor//, dengan syarat Barang Modal tersebut masih digunakan oleh //lessee// sebagai PKP dalam kegiatan usahanya. Dalam hal terjadi pemutusan SGU lebih pendek dari masa SGU yang semula disepakati atau bahkan lebih pendek dari masa SGU yang semula disepakati atau bahkan lebih pendek dari masa menurut Pasal 3 huruf b Keputusan Menteri Keuangan No. [[view.php?id=5b69b9cb83065d403869739ae7f0995e|**1169/KMK.01/1991**]], maka Pajak Masukan yang telah dikreditkan oleh lessee harus dibayar kembali sebagian oleh lessee dengan perhitungan seperti tersebut pada butir 1.2.2.   **B.2.** **Perlakuan PPN terhadap SGU dengan hak opsi //(finance lease)// dalam hal terdapat hubungan istimewa.**     Dalam hal antara //lessor// dan //lessee// terdapat hubungan istimewa membuat perjanjian SGU dengan hak opsi (//finance lease//), perlakuan PPN-nya sama dengan seperti diuraikan pada butir B1. Apabila terjadi perubahan masa SGU menjadi lebih pendek dari masa yang semula disepakati, maka perlakuan PPN-nya adalah sebagai berikut:     2.1. Apabila masa SGU menjadi lebih pendek dari masa yang telah disepakati namun masih dalam batas sebagaimana dimaksud Pasal 3 huruf b Keputusan Menteri Keuangan No. [[view.php?id=5b69b9cb83065d403869739ae7f0995e|**1169/KMK.01/1991**]], perlakuan PPN tetap sama tidak perlu diubah menjadi diperlakukan sebagai //operating lease//.     2.2. Kecuali terjadi karena force majeur, apabila masa SGU menjadi lebih pendek dari masa yang telah disepakati sehingga tidak memenuhi Pasal 3 huruf b Keputusan Menteri Keuangan Nomor: [[view.php?id=5b69b9cb83065d403869739ae7f0995e|**1169/KMK.01/1991**]], maka perlakuan PPN yang telah diberikan terhadap SGU dengan hak opsi (//finance lease//) tersebut harus diubah menjadi atau diperlakukan sebagai SGU tanpa hak opsi (//operating lease//), yang diatur sebagai berikut:       2.2.1. Pihak //lease// harus membayar kembali Pajak Masukan yang telah dikreditkan bersamaan dengan saat penyampaian atau selambat-lambatnya pada saat jatuh tempo penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan PPh tahun pajak yang bersangkutan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Pembayaran Kembali Pajak Masukan (Formulir 1485 PM).       2.2.2. Dalam hal tidak dibayar, KPP menerbitkan Surat Ketetapan Pajak ditambah sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.       2.2.3. Atas masa SGU yang telah dijalani diperlakukan sebagai telah terjadi persewaan barang sehingga terutang PPN. Oleh karena itu KPP harus menagih PPN yang terutang tersebut dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) atas nama //lessor// sebesar PPN yang terutang tersebut dengan DPP sebesar pembayaran bruto berupa sewa guna usaha (//lease payment//) yang telah diterima ditambah sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.       2.2.4. Pihak //lessor// selanjutnya wajib mengenakan PPN atas Jasa Persewaan Barang yang masih tersisa dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) sebesar pembayaran bruto sewa guna usaha (//lease payment//) yang masih dilakukan //lessee//.   B.3. Perlakuan PPN terhadap SGU dengan hak opsi (//finance lease//) yang masanya tidak memenuhi ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: [[view.php?id=5b69b9cb83065d403869739ae7f0995e|**1169/KMK.01/1991**]].      Dalam hal //lessor// dan //lessee// membuat perjanjian SGU dengan hak opsi (//Finance Lease//) namun masanya tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 huruf b Keputusan Menteri Keuangan Nomor: [[view.php?id=5b69b9cb83065d403869739ae7f0995e|**1169/KMK.01/1991**]] tanggal 27 Nopember 1991, maka perlakuan PPN yang diberikan terhadap perjanjian tersebut sama dengan perlakuan PPN terhadap perjanjian SGU tanpa hak opsi (//operating lease//).   B.4. Perlakuan PPN terhadap SGU tanpa hak opsi (//operating lease//).     4.1. Perlakuan PPN atas transaksi SGU tanpa hak opsi:       4.1.1. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. [[view.php?id=54229abfcfa5649e7003b83dd4755294|**28 TAHUN 1988**]] jis huruf d dan Pengumuman Dirjen Pajak No. [[view.php?id=caaeb10544b465034f389991efc90877|**PENG-139/PJ.63/1989**]] dan Pasal 1 angka 4 dan 5 Keputusan Dirjen Pajak Nomor: [[view.php?id=7a674153c63cff1ad7f0e261c369ab2c|**KEP-05/PJ./1994**]], penyerahan jasa dalam transaksi SGU tanpa hak opsi dari //lessor// kepada //lessee// adalah penyerahan jasa yang terutang PPN, karena //lessor// sebagai perusahaan jasa persewaan barang dengan demikian merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP).       4.1.2. Pengalihan barang dalam transaksi SGU tanpa hak opsi bukan merupakan penyerahan Barang Kena Pajak karena pengalihan barang tersebut adalah dalam rangka persewaan biasa.       4.1.3. Besarnya PPN yang terutang adalah 10% dari Nilai Penggantian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf p Undang-undang PPN 1984.       4.1.4. PPN sebagaimana dimaksud pada butir 4.1.3. merupakan PPN Pajak Keluaran bagi //lessor// dan merupakan PPN Pajak Masukan bagi //lessee// dalam hal //lessee// adalah PKP. PPN yang dibayar atas perolehan BKP yang disewa guna usahakan merupakan PPN Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan PPN Pajak Keluaran //lessor//.     4.2. Dalam hal transaksi //Sale and Lease Back// tanpa hak opsi, PPN Pajak Masukan atas perolehan barang yang telah dikreditkan oleh //lessee// harus dibayar kembali seperti halnya pembayaran kembali dalam pemindahtanganan barang modal sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No.[[view.php?id=26337353b7962f533d78c762373b3318|**1441b/KMK.04/1989**]].       Dalam hal //lessee// kemudian menyewa guna usaha kembali (//leased back//) barang tersebut, maka //lessor// harus mengenakan PPN yang terutang atas jasa persewaan barang yang dilakukannya dengan pengaturan seperti tersebut pada butir 4.1.   Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal ditandatangani dan berlaku surat terhitung sejak tanggal 19 Januari 1991. Demikian untuk dapat disebarluaskan kepada para Wajib Pajak.               DIREKTUR JENDERAL PAJAK,   ttd   FUAD BAWAZIER\\ NIP 060041162             Tembusan Kepada Yth.:\\ 1. Para Direktur/Kapus Ditjen Pajak;\\ 2. Sdr. Kepala Biro Hukum dan Humas Departemen Keuangan.